lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

Catatan untuk RUU PT


Topik ini sudah cukup lama bergulir. Kurang lebih setahun, sejak pertama kali disosialisasikan oleh DPR. Hampir setahun juga RUU ini menuai kontroversi. Bagi saya yang saat ini tengah mengenyam pendidikan tinggi, tentu menjadi bahan yang wajib untuk diperhatikan, karena akan berdampak langsung dalam proses belajar kami saat ini.

Sekitar bulan April lalu Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) telah direvisi kembali dan disosialisasikan pada masyarakat. Secara garis besar Naskah RUU tersebut berisi otonomisasi perguruan tinggi, yang berarti Perguruan Tinggi di Indonesia akan berstatus tidak lagi tangani di bawah pemerintah langsung.


Latar Belakang
Permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan tinggi, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat, pendidikan tinggi merupakan fase pembentukan pola pikir, jati diri, dan kedewasaan dari individu untuk menjadi bagian langsung bagi masyarakat. Maka dari itu, baik-buruknya generasi akan sangat ditentukan pada masa pendidikan tinggi.

Menurut Samsul Bahri, ketua Pansus RUU PT, terdapat tiga masalah utama pendidikan tinggi saat ini yang mendorong dilahirkannya RUU PT. Yaitu, keterjangkauan pendidikan tinggi, daya tampung perguruan tinggi, relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja dan industri. Ditambahkan oleh Marzuki Alie, bahwa perguruan tinggi saat ini tidak mampu melahirkan generasi yang menjadi teladan dan berakhlak mulia. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah pendidikan tinggi di Indonesia, tidak hanya terletak pada kuantitas, tapi juga pada kualitas lulusan yang mampu dihasilkan.

Lalu jika ditinjau dari fakta yang terjadi dilapangan, maka seberapa besar strategi otonimsasi pendidikan tinggi ini akan memperoleh hasil? Mari kita tengok sejenak wajah pendidikan tinggi di Indonesia.

Data dan Fakta
Berdasarkan data harian KOMPAS edisi April 2012, saat ini, Ada sekitar 130 perguruan tinggi negeri serta sekitar 2.700 perguruan tinggi swasta tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah itu hanya bisa ditampung sekitar 1,1 juta mahasiswa baru. Padahal, jumlah lulusan SMA/SMK/MA sederajat sekitar 2,9 juta orang per tahun. Hal ini berarti ada lebih dari 1,8 juta lulusan SMA tidak mendapat tempat untuk mengikuti bangku kuliah. Pertambahan 200 PTS setiap tahunnya baru akan sebanding sekitar 3-5 tahun mendatang, mengingat daya tampung PTS yang relatif lebih sedikit.

Selain daya tampung, tingginya biaya pendidikan tinggi yang berkualitas juga menjadi fakta di Indonesia saat ini. Universitas Indonesia menerapkan tiga komponen biaya pendidikan yaitu, 1) BOP (Biaya Operasional Pendidikan) sebesar Rp 5 jt untuk S1 IPS dan Rp 7,5 jt untuk S1 IPA dibayar per semester, 2) DKFM (Dana Kesejahteraan Fasilitas Mahasiswa) sebesar Rp 100.000/semester, 3) UP (Uang Pangkal) sebesar Rp 5 jt, Rp 10 jt dan Rp 25 jt (berbeda tergantung fakultas) dibayar di semester I tahun I,  dan 4) DPP (Dana Pelengkap Pendidikan) sebesar Rp 600.000 dibayar pada semester I tahun I.

Jadi, dengan demikian total biaya pendidikan S1 sangat tergantung pada prodi yang dipilih, namun jika hendak dihitung secara kasar, kisarannya adalah  Rp 46,4 jt (asumsi uang SPP terendah dan uang pangkal Rp 5 jt) hingga Rp 86,4 jt (uang pangkal dan SPP max). Perhitungan ini adalah perhitungan dengan masa kuliah 4 tahun (8 semester), tanpa memperhitungkan adanya potongan untuk keluarga miskin. (sumber:http://murniramli.wordpress.com/2012/02/07/unifikasi-biaya-pendidikan-di-perguruan-tinggi-2/)

Otonomisasi Perguruan Tinggi
Pada naskah RUU PT tersebut, mandat pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi, 1) Perguruan tinggi dengan kemandirian penuh, artinya sistem akademik maupun non akademik menjadi wewenang PT, tanpa adanya campur tangan pemerintah 2) Perguruan tinggi dengan kemandirian sebagian, artinya ada campur tangan pemerintah dalam pengaturan akademik atau non-akademik perguruan tinggi. 3) perguruan tinggi yang sepenuhnya dibawah tanggung jawab pemerintah. Ketiga opsi ini akan menjadi status-status bagi perguruan tinggi. Kebijakan ini nantinya akan membagi perguruan tinggi berdasarkan status mandat yang ditentukan oleh kementerian pendidikan.

Lalu pertanyaannya seberapa besar pengaruh otonomisasi tersebut akan berdampak positif dalam menanggulangi masalah-masalah yang ada.

Dampak Otonomisasi PT
Pemberian otonomi untuk perguruan tinggi akan memperbesar kesempatan sebuah PT untuk mengatur kebijakan akademik maupun non akademik, hal ini karena terlepasnya PT dari pengaruh birokrasi yang diterapkan oleh pemerintah. Hal ini memperbesar PT-PT untuk bekerja sama dengan pihak-pihak swasta, baik dalam pemberian insentif dana, fasilitas, dan berbagai hal. Maka dari sini kemungkinan untuk peningkatan kualitas PT juga semakin dapat ditingkatkan.

Tapi di sisi lain, wewenang ini juga memberikan kesempatan yang lebh luas bagi PT dalam menetapkan kebijakan pembiayaan bagi mahasiswanya. Akibatnya jika akhirnya PT menetapkan standar pembiayaan yang cukup tinggi meskipun dengan jaminan kualitas yang baik, hal ini sama saja dengan semakin memperkecil kesempatan bagi mereka yang miskin untuk dapat memperoleh pendidikan di PT yang berkualitas. Pada akhirnya paradigma pendidikan berkualitas itu harus mahal, akan semakin berkembang di masyarakat.

Tidak Begitu Berpengaruh bagi PTS
Di lain pihak, sedikitnya jumlah PTN yang ada diimbangi dengan begitu banyaknya jumlah PTS yang berdiri, meskipun secara perhitungan sampai saat ini belum sebanding dengan jumlah siswa SMA yang lulus tiap tahunnya. Peran PTS sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan PTN, hal ini mengingat jumlahnya yang begitu banyak dan tersebar di seluruh penjuru nusantara. Seharusnya, dukungan yang besar juga diberikan oleh pemerintah bagi PTS-PTS yang kini sudah ada. Bukan hanya dalam hal birokrasi, tapi peningkatan kualitas PTS tersebut. Jumlah yang tinggi, terkadang mengabaikan faktor kualitas, hal ini juga bukanlah merupakan solusi yang tepat. Kualitas pendidikan yang buruk, pada akhirnya hanya menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah yang ada.

Lalu dengan adanya otonomisasi apakah akan mendukung PTS? Sepertinya tidak akan berpengaruh banyak. Karena, pada tanpa diberikan otonomisasi tersebut, pengelolaan PTS juga sudah mandiri. Artinya meskipun UU ini dibentuk, tidak akan memberi pengaruh yang cukup dalam peningkatan mutu pendidikan PTS tersebut. Pada akhirnya, tetap saja tingkat kualitas akan sangat ditentukan oleh pendanaan yang ada. Dan mahasiswalah yang menjadi korban.

Rekomendasi
Hal paling mendasar yang ditanamkan oleh pemerintah adalah bagaimana cara menekan biaya pendidikan tinggi serendah-rendahnya sehingga dapat diakses oleh masyarakat manapun. Ketika tujuan proses peningkatan kualitas pendidikan pada akhirnya juga berdampak pada kenaikan biaya pendidikan, maka hal itu tidak sesuai. Perlunya suatu jaminan hukum yang dibentuk untuk tetap mengawasi jalannya proses pendidikan tinggi. Sehingga bagi perguruan tinggi yang pada akhirnya hanya menambah beban mahasiswanya dengan dalih peningkatan sarana, dapat ditindak tegas secara hukum.

Untuk PTS-PTS yang ada, dukungan oleh pemerintah juga perlu ditingkatkan. Dengan cara pemberian kesempatan yang sama dengan PTN, sehingga secara nasional maupun internasional mereka juga dapat diakui. Hal ini akan berdampak positif bagi peningkatan mutu PTS yang ada.

Penggunaan sistem ini memang harus dikaji lebih rinci dan mendalam. Bukan hanya dari potensi peningkatan mutu, tapi juga aspek sosiologis dan kondisi faktual yang ada. Agar nantinya dana 2000 triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk pendidikan juga dapat dirasakan manfaatnya bagi peningkatan kualitas pendidikan rakyat miskin.

Sebenarnya masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian terkait RUU ini, baik dari segi tata kelola, aspek sosiologi, sampai pengaturan tenaga pendidikan terkait. Tapi berhubung kecerdasan saya belum sampai hal-hal tersebut, maka saya cukupkan sampai disini saja. Takutnya malah menjerumuskan.hehehe Semoga tulisan singkat ini mampu memberi manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar