lennon

lennon

Selasa, 10 September 2013

TEKNIK PERSIDANGAN

(Edisi Revisi)[1]

Oleh: Andy Wiyanto[2]


PENDAHULUAN

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) diselenggarakan dari kader, oleh kader dan untuk kader. Penekanan pengertian ini bukan dalam konteks penyelenggaraan kepengurusan IMM yang didasarkan prinsip demokrasi sebagaimana dirumuskan demikian oleh Abraham Lincoln[3] tersebut, namun lebih kepada kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial. Secara etimologi kepemimpinan yang kolektif kolegial berasal dari kata kolektif yang berarti secara bersama atau secara gabungan[4] dan kolegial yang berarti bersifat seperti teman sejawat atau akrab seperti teman sejawat[5].

Kepemimpinan yang kolektif kolegial secara terminologi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepemimpinan yang mana tiap-tiap anggotanya mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sama besar dalam mengemban amanat organisasi. Ketua hanya sebagai ujung corong yang sempit dan anggotanya sebagai bagian corong lain yang lebih lebar. Bila dianalogikan ibarat menuang minyak kedalam botol dengan corong, tanpa ujung corongnya yang sempit minyak akan tumpah, namun jika hanya ada ujung corongnya saja yang sempit itu maka sama saja dengan menuang tanpa corong yang pada akhirnya akan tumpah jua.[6]

Dalam membangun IMM perlu ada sinergisitas antara segenap kader yang ada, tidak bisa diserahkan kepada satu tangan saja. Selain karena sistem kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial, juga karena kekuasaan harus dibatasi agar terjadi mekanisme checks and balances dalam sebuah kepemimpinan dan adanya jaminan agar tidak terjadi absolutisme.[7]

Untuk mencapai kepemimpinan yang kolektif kolegial tersebut diperlukan pranata musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.[8] Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa mekanisme musyawarah mufakat sebagai local wisdom sudahlah tepat untuk diakomodir dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam IMM. Prinsip musyawarah mufakat ini juga menjadi keniscayaan untuk tetap menjadi pegangan dalam setiap persidangan.

Persidangan merupakan salah satu bagian dari permusyawaratan. Hasil-hasil persidangan sebagaimana hasil permusyawaratan lainnya digunakan sebagai titik tolak dalam menjalankan organisasi guna mencapai tujuan organisasi tersebut. Sudah semestinya kesepakatan-kesepakatan yang didapat dari persidangan dilaksanakan bersama dan dijiwai sepenuhnya sebagai tujuan bersama, sekalipun dalam prosesnya terjadi perdebatan yang panjang.

Penguasaan tata cara persidangan merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki oleh seorang organisatoris yang baik, karena persidanganlah yang akan menghasilkan keputusan-keputusan organisasi yang akan menentukan arah perkembangan organisasi tersebut. Urgensi sebuah persidangan yang baik terjadi ketika keputusan-keputusan dalam persidangan itu diarahkan kepada kepentingan organisasi dan kemanfaatan bersama, sehingga tidak bisa diposisikan sebagai hal yang biasa. Keputusan-keputusan organisasi tersebut yang akan menjadi hukum dalam berdemokrasi guna menjalankan roda organisasi. Sebagaimana dikatakan penulis yang meminjam perkataan Prof. Mahfud MD bahwa demokrasi Indonesia dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi.[9]

PENGGOLONGAN PERMUSYAWARATAN
A.    Permusyawaratan menurut Materi Muatan dan Jumlah Peserta
1.      Sidang Pleno
Yaitu sidang yang harus diikuti oleh seluruh peserta sidang yang terbagi menjadi beberapa materi/permasalahan yang harus diputuskan dan kemudian ditetapkan.

2.      Sidang Komisi
Yaitu sidang yang diikuti oleh sekelompok peserta yang konsentrasinya pada satu materi/permasalahan yang harus diputuskan dan kemudian ditetapkan.

3.      Sidang Paripurna
Yaitu sidang yang harus diikuti oleh seluruh peserta sidang yang pembahasannya adalah hasil-hasil sidang komisi untuk disampaikan kepada seluruh peserta sidang dan kemudian ditetapkan.
B.     Permusyawaratan menurut Jenjang Organisasi
1.      Muktamar
Ialah permusyawaratan tertinggi dalam organisasi yang diikuti oleh anggota Dewan Pimpinan Pusat, utusan-utusan Dewan Pimpinan Daerah, utusan-utusan Pimpinan Cabang.

2.      Tanwir[10]
Ialah permusyawaratan tertinggi dalam organisasi di bawah Muktamar yang diikuti oleh Dewan Pimpinan Pusat, utusan-utusan Dewan Pimpinan Daerah untuk membicarakan kepentingan-kepentingan organisasi yang tidak dapat ditangguhkan sampai berlangsung Muktamar, diadakan sekurang-kurangnya  1 (satu) kali dalam satu periode.

3.      Musyawarah Daerah
Ialah permusyawaratan tertinggi dalam Daerah, yang diikuti oleh anggota Dewan Pimpinan Daerah, utusan-utusan Pimpinan Cabang, dan utusan-utusan Pimpinan Komisariat diadakan 2 (dua) tahun sekali.

4.      Musyawarah Cabang
Ialah permusyawaratan tertinggi dalam Cabang yang diikuti oleh anggota Pimpinan Cabang dan Pimpinan Komisariat dan seluruh anggota, diadakan 1 (satu) tahun sekali.

5.      Musyawarah Komisariat
Ialah permusyawaratan tertinggi dalam Komisariat yang diikuti oleh Pimpinan Komisariat dan seluruh anggota, diadakan 1 (satu) tahun sekali.

6.      Musyawarah Luar Biasa
Ialah permusyawaratan yang dilaksanakan apabila organisasi dihadapkan pada situasi kepemimpinan yang tidak mendukung untuk berlanjutnya kepemimpinan karena hal-hal yang mendesak dan tidak bisa ditangguhkan dengan disepakati dalam rapat pleno yang dihadiri oleh ¾ pimpinan dibawahnya.

SYARAT-SYARAT/UNSUR-UNSUR PERSIDANGAN
A.    Tempat/Ruang Sidang
B.     Waktu Sidang
C.     Agenda Sidang
D.    Peserta Sidang
E.     Perlengkapan Sidang[11]
F.      Tata Tertib Sidang
G.    Pimpinan Sidang[12]
H.    Keputusan Sidang

PENGGUNAAN PALU SIDANG
A.    Satu kali (1x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.      Memutuskan suatu ketetapan yang merupakan bagian dari keseluruhan yang akan ditetapkan;
2.      Menskorsing dan mencabut kembali skorsing sidang dengan waktu 1x15 menit atau 1x30 menit;
3.      Memperingatkan peserta sidang;
4.      Mencabut kembali keputusan sidang yang telah dibahas untuk kemudian dibahas ulang karena diduga ada kekeliruan (peninjauan kembali);
5.      Menyerahkan dan menerima palu sidang antar pimpinan sidang (bila pimpinan sidang tidak lagi sanggup memimpin persidangan).

B.     Dua kali (2x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.      Memutuskan suatu ketetapan secara menyeluruh;
2.      Menskorsing dan mencabut kembali skorsing sidang dengan waktu 2x15 menit atau 2x30 menit.

C.     Tiga kali (3x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.      Membuka dan menutup sidang;
2.      Membuka dan menutup acara secara resmi.
     
JENIS-JENIS INTERUPSI
A.    Interupsi point of order
Interupsi ini digunakan untuk mengajukan usulan atau memotong pembicaraan yang dianggap menyimpang dari pokok permasalahan

B.     Interupsi point of information
Interupsi ini digunakan untuk memberi atau meminta penjelasan/informasi atas permasalahan yang dibahas, baik kepada pimpinan sidang mupun kepada peserta sidang.

C.     Interupsi point of clarification
Interupsi ini digunakan untuk meluruskan/mengklarifikasi suatu permasalahan atau usulan/pendapat. Interupsi ini juga digunakan untuk memperjelas masalah agar tidak terjadi persilangan pendapat yang menajam dalam persidangan.

D.    Interupsi point of personal prevelage
Interupsi ini digunakan untuk menyatakan ketidaksetujuan atas pendapat-pendapat yang menyudutkan dalam persidangan yang menyinggung masalah personal. Setelah peserta sidang menyatakan interupsi ini, jika yang dinyatakannya terbukti maka pimpinan sidang wajib memperingatkan peserta sidang yang menyinggung masalah personal tersebut.

MANAJEMEN FORUM
Secara etimologi kata manajemen berarti sebagai penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.[13] Sedangkan kata forum berarti sidang atau tempat pertemuan untuk bertukar pikiran secara bebas.[14] Sehingga manajemen forum dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran dalam sebuah persidangan. Tinggal kemudian ditentukan mengenai apakah yang menjadi sasaran dalam sebuah pertemuan.

Manajemen forum tidak hanya dapat diaplikasikan dalam persidangan, namun juga dapat dilakukan dalam kegiatan pertemuan lainnya misalnya saat seminar ataupun kegiatan pertemuan lainnya. Hal ini tentu juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam organisasi. Managemen forum yang dilakukan dalam pertemuan dengan peserta dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda juga dapat berfungsi sebagai media eksistensi organisasi.

Dalam memanifestasikan manajemen forum hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
A.    Pimpinan Sidang menjadi posisi yang strategis dalam menyelenggarakan sidang agar tujuan sidang dapat tercapai dengan paripurna. Sebab pimpinan sidang memiliki peranan yang besar dalam penyelenggaraan sidang. Agar persidangan dapat mencapai tujuannya, maka pimpinan sidang haruslah mengerti mengenai apa yang menjadi tujuan dari diadakannya sidang tersebut. Dalam persidangan yang diikuti oleh peserta dari berbagai macam organisasi, maka ketika yang menjadi pimpinan sidang adalah orang dari (misal) IMM, ketika itu kepentingan IMM akan relatif lebih terakomodir.
B.     Bagi pihak yang memiliki kepentingan untuk mewujudkan kepentingan organisasinya tersebut, maka dalam ruang sidang harus disusun sedemikian rupa agar orang-orang dalam pihak itu berada di segala penjuru ruang sidang. Misalnya dalam pembahasan tata tertib Pimpinan Komisariat berusaha untuk memasukkan poin larangan merokok, maka untuk memuluskan tujuan itu Pimpinan Komisariat tersebut memposisikan beberapa anggotanya yang pro terhadap usulan tersebut di segala penjuru ruang sidang. Pada posisinya masing-masing tersebut, mereka akan memperjuangkan hal itu dalam usulan-usulan peserta sidang. Hal ini akan memberikan kesan bahwa hampir seluruh peserta sidang memiliki pendapat yang sama bahwa dalam tata tertib haruslah dimuat mengenai ketentuan mengenai larangan merokok.
C.     Untuk manajemen forum yang dijalankan dalam rangka menunjukkan eksistensi organisasi dalam sebuah pertemuan dengan peserta dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda, maka untuk menguatkan eksistensi organisasi yang bersangkutan selain dalam setiap pembicaraan disebutkan latar belakang organisasi, juga disebutkan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam organisasi itu. Misalnya “ikhlas beramal dalam bakti” atau “berlomba-lomba dalam kebaikan”. Penguatan eksistensi tersebut juga dapat dilakukan dengan mengutip pendapat tokoh dalam organisasi tersebut yang relevan dengan pembahasan. Misalnya ketika rapat dengan Pimpinan Fakultas, kader IMM dapat mengutip perkataan Dahlan bahwa “janganlah engkau mencari hidup di Muhammadiyah, tapi hidup-hidupilah Muhammadiyah.”

PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Keputusan musyawarah diusahakan dengan suara bulat. Apabila terpaksa diadakan pemungutan suara, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak mutlak.[15] Hal ini harus ditafsirkan bahwa keputusan haruslah didasari spirit musyawarah mufakat berdasarkan kolektifitas sebagaimana kata pepatah “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena sepakat”, sehingga voting merupakan pintu terakhir dalam pengambilan keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadiya tirani mayoritas sebagai ekses dari penjewantahan demokrasi prosedural.[16]

Voting adalah pilihan yang maha terpaksa sehingga keputusannya diambil dengan suara terbanyak mutlak, yaitu setengah lebih satu (1/2+1) dari jumlah peserta yang memberikan hak suara.[17] Dalam variasi lainnya keputusan dapat pula dengan sistim suara terbanyak dua per tiga (2/3) atau tiga per empat (3/4) dari jumlah peserta yang memberikan suara. Hal yang menjadi ukuran dalam penentuan kisaran suara terbanyak tersebut adalah soal besar kecilnya masalah beserta pertimbangannya yang harus disepakati. Semakin besar masalah dan pertimbangannya, semakin besar pula kisaran suara terbanyaknya berikut dengan konsekuensinya masing-masing.

Voting umumnya diambil jika terjadi deadlock, yakni jalan buntu dalam pembicaraan antara dua pihak atau lebih yang saling berbeda pendapat. Sebelum terjadi deadlock lazimnya diawali dengan perbedaan pendapat yang menajam sehingga sidang harus di skorsing, yakni penundaan sidang untuk sementara atau dalam waktu tertentu.[18] Pada saat skorsing tersebutlah dua orang/pihak yang berbeda pendapat tersebut dapat melakukan lobying, yaitu pembicaraan informal baik antara pimpinan sidang dengan peserta sidang maupun sesama peserta sidang yang berbeda pendapat tersebut.[19] Jika proses ini optimal pengambilan keputusan tidak perlu dilakukan dengan jalan voting tentunya.

PENUTUP
Akhir kata, tiada kata yang lebih bijak dari menuntut ilmu adalah mulia, lebih mulia lagi ketika mengajarkan dan mengamalkannya untuk meringankan beban hidup sesama. Makalah pengantar ini akan menjadi sia-sia belaka tanpa ditindaklanjuti dengan menggali dan terus menggali tanpa henti, karena berhenti berarti mati. Pengalaman adalah guru terbaik dan belajar dari pengalaman orang lain adalah sesuatu yang bijak. Selamat berproses dan selamat bergabung dalam keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Semoga menjadi awal untuk terus mencari.
Demi Allah untuk kebenaran, berlomba-lomba dalam kebaikan.








DAFTAR PUSTAKA


Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hasil Muktamar di Kota Medan pada 28 April-2 Mei 2012.
Cahyawati, Dwi Putri, 2006. Teknis Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Jr., Chester E. Finn, et al, 1991. Apakah Demokrasi Itu?, terjemahan Budi Prayitno, Washington D.C.: United States Information Agency.
Latif, Yudi, 2009. “Islam, Indonesia dan Demokrasi”, Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society.
Madjid, Nurcholish, 2009. “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society.
Marzuki, Mohammad Laica, 2009. “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3, September 2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Sularto, St., 2003. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat, Jakarta: Kompas.
Tim Penyusun Kamus, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
Wiyanto, Andy, 2009. Paham Kedaulatan Rakyat dalam Bingkai Konstitusi Republik Indonesia, Makalah untuk mengikuti Workshop “Konstitusionalisme dan Republikanisme”, Tangerang Selatan: Pusat Studi Islam Kenegaraan-Indonesia, 11-12 Desember 2009.


























Lampiran

SURAT KEPUTUSAN PIMPINAN SIDANG SEMENTARA[20]
N o m o r :   I / A – 2 / I X / 2 0 1 3[21]
Tentang
PENGESAHAN TATA TERTIB MUSYAWARAH CABANG III
IMM CABANG LEBAK

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA
PIMPINAN SIDANG SEMENTARA,

Membaca:[22]
Hasil pembahasan tata tertib Musyawarah Cabang III Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Lebak.

Menimbang:[23]
a.       bahwa tata tertib musyawarah komisariat merupakan batasan-batasan bagi tiap orang yang mengikuti musyawarah komisariat agar pelaksanaannya tetib dan sekondusif mungkin;
b.      bahwa pembahasan dan pengesahan tata tertib musyawarah cabang telah hidup dan berlaku dalam tiap-tiap musyawarah cabang setidaknya untuk setiap cabang dalam DPD IMM Banten;
c.       bahwa tata tertib ini sebagai kontrol terhadap segala tingkah laku bagi tiap orang yang mengikuti musyawarah cabang ini.

Mengingat:[24]
Pasal 17 dan Pasal 18 Anggaran Dasar IMM; pasal 23 dan pasal 26 Anggaran Rumah Tangga IMM.

Dengan Persetujuan Bersama[25]
PIMPINAN SIDANG SEMENTARA
dan
PESERTA MUSYAWARAH CABANG
MEMUTUSKAN:[26]

Menetapkan:
PENGESAHAN TATA TERTIB MUSYAWARAH CABANG III IMM CABANG LEBAK.


Ditetapkan di  : Rangkasbitung
Tanggal           :                      2013
Pukul               :                      WIB



PIMPINAN SIDANG SEMENTARA

Pimpinan Sidang I




(........................................)
Pimpinan Sidang II




(........................................)
Pimpinan Sidang III




(........................................)






[1] Dalam Edisi Revisi ini, makalah disampaikan dalam kegiatan Darul Arqam Dasar IMM Kabupaten Lebak yang diselenggarakan pada Minggu-Selasa, 23-25 Desember 2012 di Desa Ciboleger, Kabupaten Lebak
[2] Penulis saat ini adalah pemegang amanat Sekretaris Bidang Kaderisasi DPD IMM Banten yang syukur alhamdulillah kini berkesempatan menempuh studi pada Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
[3] Dalam ucapannya yang terkenal, Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” [Chester E. Finn Jr, et al, Apakah Demokrasi Itu?, terjemahan Budi Prayitno (Washington D.C.: United States Information Agency, 1991), hlm. 4.]
[4] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 581.
[5] Ibid, hlm. 580.
[6] Secara sederhana kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial juga dapat dianalogikan seperti sistem pemerintahan parlementer. Sebagai kepala pemerintahan dalam ikatan adalah ketua dan semua pengurus, bahkan seluruh kader. Sehingga baik antara ketua, pengurus dan kader memiliki peranan dan tanggung jawab yang sama besarnya dalam mengemban amanat ikatan. Sementara sebagai kepala negara dalam ikatan hanya dipegang oleh ketua umum. Kekuasaan sebagai kepala negara ini berkaitan dengan posisi ketua umum sebagai simbol organisasi dan representasi dari institusi yang dipimpinnya.
[7] Lord Acton (1834-1902) dalam suratnya tertanggal 5 April 1887 mengingatkan kepada Bishop Mandell Creighton bahwa “power trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. [Mohammad Laica Marzuki, “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3 (September, 2009), hlm. 21.]
[8] Karena fitrah dari Sang Khalik, maka setiap orang harus dijamin haknya untuk menyatakan pendapat. Tetapi karena unsur kelemahan kemakhlukannya itu, maka setiap orang dituntut untuk cukup rendah hati agar dapat melihat kemungkinan dirinya salah dan bersedia mendengarkan serta memperhatikan pendapat orang lain. Interaksi positif dalam semangat optimisme kemanusiaan antara hak diri pribadi untuk menyatakan pendapat dan kerendahan hati untuk mendengarkan pendapat orang lain itu melahirkan ajaran dasar musyawarah, suatu bentuk interaksi sosial yang mengandung makna “saling memberi isyarat” tentang yang baik dan benar untuk semua. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hlm. 23.]
[9] Andy Wiyanto, Paham Kedaulatan Rakyat dalam Bingkai Konstitusi Republik Indonesia, (Makalah untuk mengikuti Workshop “Konstitusionalisme dan Republikanisme”, Pusat Studi Islam Kenegaraan-Indonesia, 2009), Tangerang Selatan, hlm. 2.
[10] Biasanya bila di organisasi lain penggunaan istilah ini sepadan dengan Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS).
[11] Yang termasuk perlengkapan sidang berupa: palu sidang, meja dan kursi kursi sidang, pengeras suara dan peralatan-peralatan lainnya yang berhubungan dengan persidangan.
[12] Pimpinan sidang merupakan “wakil Tuhan” dalam ruang sidang, ia harus bisa menjadi seperti kancil yang “cerdik” sekaligus seperti “singa” yang disegani. Pimpinan sidang yang baik harus bisa dicintai sekaligus ditakuti oleh peserta sidang, namun apabila tidak bisa keduanya paling tidak harus bisa ditakuti oleh peserta sidang (lihat analogi pemimpin yang baik menurut Niccolo Machiavelli). Pimpinan sidang ibarat manusia dengan dua darah, pada satu sisi ia dapat menjadi seorang diktator namun pada sisi lainnya ia adalah seorang demokrat sejati.
[13] Tim Penyusun Kamus, op.cit., hlm. 708.
[14] Ibid, hlm. 320.
[15] Lihat Anggaran Dasar IMM.
[16] Demokrasi prosedural membatasi diri pada dunia voting, prosedur adil dan segala perangkat formalitas lain, sedangkan demokrasi substantif melibatkan upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. [Yudi Latif, “Islam, Indonesia dan Demokrasi” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hlm. 87.]
[17] Lihat Anggaran Rumah Tangga IMM.
[18] Skorsing juga dapat ditempuh ketika peserta sidang mengalami kelelahan atau dengan alasan-alasan lain yang masuk akal.
[19] Perihal lobying harus ditempatkan pada tujuan untuk mencari kesesuaian paham atau setidak-tidaknya mencari jalan tengah yang bersifat win-win solution.
[20] Ditambahkan kata “sementara” karena sidang pengesahan tata tertib ini dilakukan sebelum pemilihan pimpinan sedang.
[21] Tata cara penomoran disesuaikan dengan pedoman administrasi IMM.
[22] Dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak dikenal bagian “membaca” ini, namun bagian ini tetap dimasukkan karena sudah menjadi kebiasaan dalam organisasi IMM. Poin ini wajib ada ketika ada hasil pembahasan tertulis dari kesepakatan yang akan disahkan atau adanya rujukan lain dalam memutuskan keputusan ini.
[23] Sering terjadi kesalahpahaman dalam praktek, sesungguhnya yang disebut konsiderans adalah bagian “menimbang” ini, bukan surat keputusan ini secara keseluruhan. Dalam konsiderans berisi dasar-dasar filosofis, yuridis dan sosiologis yang berlaku dalam menetapkan surat keputusan ini. Konsiderans disusun  poin per poin menggunakan huruf dan diawali dengan kata “bahwa”.
[24] Bagian “mengingat” ini disebut dasar hukum, yakni memuat landasan hukum dari dikeluarkannya surat keputusan ini. Dasar hukum disusun menjadi satu (tidak poin per poin), di mulai dari aturan yang paling tinggi hingga aturan yang paling rendah.
[25] Dalam membuat surat keputusan klausul “dengan persetujuan bersama” wajib ada ketika keputusan itu dirumuskan bersama, namun jika tidak dirumuskan dengan bersama, misalnya surat keputusan/surat tugas tidak perlu mencantumkan klausul ini.
[26] Kata “memutuskan” in disebut diktum, yaitu sebuah penetapan yang merupakan subtansi dari dikeluarkannya surat keputusan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar