(Edisi Revisi)[1]
Oleh: Andy Wiyanto[2]
PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
diselenggarakan dari kader, oleh kader dan untuk kader. Penekanan pengertian
ini bukan dalam konteks penyelenggaraan kepengurusan IMM yang didasarkan
prinsip demokrasi sebagaimana dirumuskan demikian oleh Abraham Lincoln[3]
tersebut, namun lebih kepada kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial.
Secara etimologi kepemimpinan yang kolektif kolegial berasal dari kata kolektif
yang berarti secara bersama atau secara gabungan[4]
dan kolegial yang berarti bersifat seperti teman sejawat atau akrab
seperti teman sejawat[5].
Kepemimpinan yang kolektif kolegial
secara terminologi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepemimpinan yang mana
tiap-tiap anggotanya mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sama besar dalam
mengemban amanat organisasi. Ketua hanya sebagai ujung corong yang sempit dan
anggotanya sebagai bagian corong lain yang lebih lebar. Bila dianalogikan
ibarat menuang minyak kedalam botol dengan corong, tanpa ujung corongnya yang
sempit minyak akan tumpah, namun jika hanya ada ujung corongnya saja yang
sempit itu maka sama saja dengan menuang tanpa corong yang pada akhirnya akan
tumpah jua.[6]
Dalam membangun IMM perlu ada sinergisitas
antara segenap kader yang ada, tidak bisa diserahkan kepada satu tangan saja.
Selain karena sistem kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial, juga
karena kekuasaan harus dibatasi agar terjadi mekanisme checks and balances
dalam sebuah kepemimpinan dan adanya jaminan agar tidak terjadi absolutisme.[7]
Untuk mencapai kepemimpinan yang kolektif
kolegial tersebut diperlukan pranata musyawarah mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.[8]
Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa mekanisme musyawarah mufakat sebagai local
wisdom sudahlah tepat untuk diakomodir dalam mekanisme pengambilan
keputusan dalam IMM. Prinsip musyawarah mufakat ini juga menjadi keniscayaan
untuk tetap menjadi pegangan dalam setiap persidangan.
Persidangan merupakan salah satu bagian
dari permusyawaratan. Hasil-hasil persidangan sebagaimana hasil permusyawaratan
lainnya digunakan sebagai titik tolak dalam menjalankan organisasi guna
mencapai tujuan organisasi tersebut. Sudah semestinya kesepakatan-kesepakatan
yang didapat dari persidangan dilaksanakan bersama dan dijiwai sepenuhnya
sebagai tujuan bersama, sekalipun dalam prosesnya terjadi perdebatan yang
panjang.
Penguasaan tata cara persidangan merupakan
pengetahuan yang wajib dimiliki oleh seorang organisatoris yang baik, karena
persidanganlah yang akan menghasilkan keputusan-keputusan organisasi yang akan
menentukan arah perkembangan organisasi tersebut. Urgensi sebuah persidangan
yang baik terjadi ketika keputusan-keputusan dalam persidangan itu diarahkan
kepada kepentingan organisasi dan kemanfaatan bersama, sehingga tidak bisa
diposisikan sebagai hal yang biasa. Keputusan-keputusan organisasi tersebut
yang akan menjadi hukum dalam berdemokrasi guna menjalankan roda organisasi.
Sebagaimana dikatakan penulis yang meminjam perkataan Prof. Mahfud MD bahwa
demokrasi Indonesia dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur
hukum berdasar nomokrasi.[9]
PENGGOLONGAN PERMUSYAWARATAN
A.
Permusyawaratan
menurut Materi Muatan dan Jumlah Peserta
1.
Sidang
Pleno
Yaitu sidang yang
harus diikuti oleh seluruh peserta sidang yang terbagi menjadi beberapa
materi/permasalahan yang harus diputuskan dan kemudian ditetapkan.
2.
Sidang
Komisi
Yaitu sidang yang
diikuti oleh sekelompok peserta yang konsentrasinya pada satu materi/permasalahan
yang harus diputuskan dan kemudian ditetapkan.
3.
Sidang
Paripurna
Yaitu sidang yang
harus diikuti oleh seluruh peserta sidang yang pembahasannya adalah hasil-hasil
sidang komisi untuk disampaikan kepada seluruh peserta sidang dan kemudian
ditetapkan.
B.
Permusyawaratan
menurut Jenjang Organisasi
1.
Muktamar
Ialah
permusyawaratan tertinggi dalam organisasi yang diikuti oleh anggota Dewan
Pimpinan Pusat, utusan-utusan Dewan Pimpinan Daerah, utusan-utusan Pimpinan
Cabang.
2.
Tanwir[10]
Ialah
permusyawaratan tertinggi dalam organisasi di bawah Muktamar yang diikuti oleh
Dewan Pimpinan Pusat, utusan-utusan Dewan Pimpinan Daerah untuk membicarakan
kepentingan-kepentingan organisasi yang tidak dapat ditangguhkan sampai
berlangsung Muktamar, diadakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu periode.
3.
Musyawarah
Daerah
Ialah
permusyawaratan tertinggi dalam Daerah, yang diikuti oleh anggota Dewan
Pimpinan Daerah, utusan-utusan Pimpinan Cabang, dan utusan-utusan Pimpinan
Komisariat diadakan 2 (dua) tahun sekali.
4.
Musyawarah
Cabang
Ialah
permusyawaratan tertinggi dalam Cabang yang diikuti oleh anggota Pimpinan
Cabang dan Pimpinan Komisariat dan seluruh anggota, diadakan 1 (satu) tahun
sekali.
5.
Musyawarah
Komisariat
Ialah
permusyawaratan tertinggi dalam Komisariat yang diikuti oleh Pimpinan
Komisariat dan seluruh anggota, diadakan 1 (satu) tahun sekali.
6.
Musyawarah
Luar Biasa
Ialah
permusyawaratan yang dilaksanakan apabila organisasi dihadapkan pada situasi
kepemimpinan yang tidak mendukung untuk berlanjutnya kepemimpinan karena
hal-hal yang mendesak dan tidak bisa ditangguhkan dengan disepakati dalam rapat
pleno yang dihadiri oleh ¾ pimpinan dibawahnya.
SYARAT-SYARAT/UNSUR-UNSUR PERSIDANGAN
A.
Tempat/Ruang
Sidang
B.
Waktu
Sidang
C.
Agenda
Sidang
D.
Peserta
Sidang
|
E.
Perlengkapan
Sidang[11]
F.
Tata
Tertib Sidang
G.
Pimpinan
Sidang[12]
H.
Keputusan
Sidang
|
PENGGUNAAN PALU SIDANG
A.
Satu
kali (1x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.
Memutuskan
suatu ketetapan yang merupakan bagian dari keseluruhan yang akan ditetapkan;
2.
Menskorsing
dan mencabut kembali skorsing sidang dengan waktu 1x15 menit atau 1x30 menit;
3.
Memperingatkan
peserta sidang;
4.
Mencabut
kembali keputusan sidang yang telah dibahas untuk kemudian dibahas ulang karena
diduga ada kekeliruan (peninjauan kembali);
5.
Menyerahkan
dan menerima palu sidang antar pimpinan sidang (bila pimpinan sidang tidak lagi
sanggup memimpin persidangan).
B.
Dua
kali (2x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.
Memutuskan
suatu ketetapan secara menyeluruh;
2.
Menskorsing
dan mencabut kembali skorsing sidang dengan waktu 2x15 menit atau 2x30 menit.
C.
Tiga
kali (3x) ketukan palu sidang, digunakan untuk:
1.
Membuka
dan menutup sidang;
2.
Membuka
dan menutup acara secara resmi.
JENIS-JENIS INTERUPSI
A.
Interupsi
point of order
Interupsi ini
digunakan untuk mengajukan usulan atau memotong pembicaraan yang dianggap
menyimpang dari pokok permasalahan
B.
Interupsi
point of information
Interupsi ini
digunakan untuk memberi atau meminta penjelasan/informasi atas permasalahan
yang dibahas, baik kepada pimpinan sidang mupun kepada peserta sidang.
C.
Interupsi
point of clarification
Interupsi ini
digunakan untuk meluruskan/mengklarifikasi suatu permasalahan atau
usulan/pendapat. Interupsi ini juga digunakan untuk memperjelas masalah agar
tidak terjadi persilangan pendapat yang menajam dalam persidangan.
D.
Interupsi
point of personal prevelage
Interupsi ini digunakan untuk
menyatakan ketidaksetujuan atas pendapat-pendapat yang menyudutkan dalam
persidangan yang menyinggung masalah personal. Setelah peserta sidang
menyatakan interupsi ini, jika yang dinyatakannya terbukti maka pimpinan sidang
wajib memperingatkan peserta sidang yang menyinggung masalah personal tersebut.
MANAJEMEN FORUM
Secara etimologi kata manajemen berarti
sebagai penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.[13]
Sedangkan kata forum berarti sidang atau tempat pertemuan untuk bertukar
pikiran secara bebas.[14]
Sehingga manajemen forum dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran dalam sebuah persidangan. Tinggal kemudian
ditentukan mengenai apakah yang menjadi sasaran dalam sebuah pertemuan.
Manajemen forum tidak hanya dapat
diaplikasikan dalam persidangan, namun juga dapat dilakukan dalam kegiatan
pertemuan lainnya misalnya saat seminar ataupun kegiatan pertemuan lainnya. Hal
ini tentu juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam organisasi.
Managemen forum yang dilakukan dalam pertemuan dengan peserta dari berbagai
latar belakang organisasi yang berbeda juga dapat berfungsi sebagai media
eksistensi organisasi.
Dalam memanifestasikan manajemen forum
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
A.
Pimpinan
Sidang menjadi posisi yang strategis dalam menyelenggarakan sidang agar tujuan
sidang dapat tercapai dengan paripurna. Sebab pimpinan sidang memiliki peranan
yang besar dalam penyelenggaraan sidang. Agar persidangan dapat mencapai
tujuannya, maka pimpinan sidang haruslah mengerti mengenai apa yang menjadi
tujuan dari diadakannya sidang tersebut. Dalam persidangan yang diikuti oleh
peserta dari berbagai macam organisasi, maka ketika yang menjadi pimpinan
sidang adalah orang dari (misal) IMM, ketika itu kepentingan IMM akan relatif
lebih terakomodir.
B.
Bagi
pihak yang memiliki kepentingan untuk mewujudkan kepentingan organisasinya
tersebut, maka dalam ruang sidang harus disusun sedemikian rupa agar
orang-orang dalam pihak itu berada di segala penjuru ruang sidang. Misalnya
dalam pembahasan tata tertib Pimpinan Komisariat berusaha untuk memasukkan poin
larangan merokok, maka untuk memuluskan tujuan itu Pimpinan Komisariat tersebut
memposisikan beberapa anggotanya yang pro terhadap usulan tersebut di segala
penjuru ruang sidang. Pada posisinya masing-masing tersebut, mereka akan
memperjuangkan hal itu dalam usulan-usulan peserta sidang. Hal ini akan
memberikan kesan bahwa hampir seluruh peserta sidang memiliki pendapat yang
sama bahwa dalam tata tertib haruslah dimuat mengenai ketentuan mengenai
larangan merokok.
C.
Untuk
manajemen forum yang dijalankan dalam rangka menunjukkan eksistensi organisasi
dalam sebuah pertemuan dengan peserta dari berbagai latar belakang organisasi
yang berbeda, maka untuk menguatkan eksistensi organisasi yang bersangkutan
selain dalam setiap pembicaraan disebutkan latar belakang organisasi, juga
disebutkan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam organisasi itu. Misalnya
“ikhlas beramal dalam bakti” atau “berlomba-lomba dalam kebaikan”. Penguatan
eksistensi tersebut juga dapat dilakukan dengan mengutip pendapat tokoh dalam
organisasi tersebut yang relevan dengan pembahasan. Misalnya ketika rapat
dengan Pimpinan Fakultas, kader IMM dapat mengutip perkataan Dahlan bahwa
“janganlah engkau mencari hidup di Muhammadiyah, tapi hidup-hidupilah
Muhammadiyah.”
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Keputusan musyawarah
diusahakan dengan suara bulat. Apabila terpaksa diadakan pemungutan suara, maka
keputusan diambil dengan suara terbanyak mutlak.[15] Hal ini harus ditafsirkan
bahwa keputusan haruslah didasari spirit musyawarah mufakat berdasarkan
kolektifitas sebagaimana kata pepatah “bulat air karena pembuluh, bulat kata
karena sepakat”, sehingga voting merupakan pintu terakhir dalam pengambilan
keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadiya tirani
mayoritas sebagai ekses dari penjewantahan demokrasi prosedural.[16]
Voting adalah pilihan yang
maha terpaksa sehingga keputusannya diambil dengan suara terbanyak mutlak,
yaitu setengah lebih satu (1/2+1) dari jumlah peserta yang memberikan hak
suara.[17] Dalam variasi lainnya
keputusan dapat pula dengan sistim suara terbanyak dua per tiga (2/3) atau tiga
per empat (3/4) dari jumlah peserta yang memberikan suara. Hal yang menjadi
ukuran dalam penentuan kisaran suara terbanyak tersebut adalah soal besar
kecilnya masalah beserta pertimbangannya yang harus disepakati. Semakin besar
masalah dan pertimbangannya, semakin besar pula kisaran suara terbanyaknya
berikut dengan konsekuensinya masing-masing.
Voting umumnya diambil jika
terjadi deadlock, yakni jalan buntu dalam pembicaraan antara dua pihak
atau lebih yang saling berbeda pendapat. Sebelum terjadi deadlock
lazimnya diawali dengan perbedaan pendapat yang menajam sehingga sidang harus
di skorsing, yakni penundaan sidang untuk sementara atau dalam waktu tertentu.[18] Pada saat skorsing
tersebutlah dua orang/pihak yang berbeda pendapat tersebut dapat melakukan lobying,
yaitu pembicaraan informal baik antara pimpinan sidang dengan peserta sidang
maupun sesama peserta sidang yang berbeda pendapat tersebut.[19] Jika proses ini optimal
pengambilan keputusan tidak perlu dilakukan dengan jalan voting tentunya.
PENUTUP
Akhir kata, tiada kata yang lebih bijak
dari menuntut ilmu adalah mulia, lebih mulia lagi ketika mengajarkan dan
mengamalkannya untuk meringankan beban hidup sesama. Makalah pengantar
ini akan menjadi sia-sia belaka tanpa ditindaklanjuti dengan menggali dan terus
menggali tanpa henti, karena berhenti berarti mati. Pengalaman adalah guru
terbaik dan belajar dari pengalaman orang lain adalah sesuatu yang bijak.
Selamat berproses dan selamat bergabung dalam keluarga besar Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Semoga menjadi awal untuk terus mencari.
Demi Allah untuk kebenaran, berlomba-lomba
dalam kebaikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hasil Muktamar di
Kota Medan pada 28 April-2 Mei 2012.
Cahyawati,
Dwi Putri, 2006. Teknis Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Jr.,
Chester E. Finn, et al, 1991. Apakah Demokrasi Itu?, terjemahan Budi
Prayitno, Washington D.C.: United States Information Agency.
Latif,
Yudi, 2009. “Islam, Indonesia dan Demokrasi”, Jurnal Dialog Peradaban,
Volume 2 Nomor 1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society.
Madjid,
Nurcholish, 2009. “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Jurnal
Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish
Madjid Society.
Marzuki,
Mohammad Laica, 2009. “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan
Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 3, September
2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Sularto,
St., 2003. Niccolo Machiavelli: Penguasa Arsitek Masyarakat, Jakarta:
Kompas.
Tim
Penyusun Kamus, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka.
Wiyanto,
Andy, 2009. Paham Kedaulatan Rakyat dalam Bingkai Konstitusi Republik Indonesia,
Makalah untuk mengikuti Workshop “Konstitusionalisme dan Republikanisme”,
Tangerang Selatan: Pusat Studi Islam Kenegaraan-Indonesia, 11-12 Desember 2009.
Lampiran
SURAT KEPUTUSAN PIMPINAN SIDANG SEMENTARA[20]
N o m o r : I / A – 2 / I X / 2 0 1 3[21]
Tentang
PENGESAHAN TATA TERTIB MUSYAWARAH CABANG
III
IMM CABANG LEBAK
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA
PIMPINAN SIDANG SEMENTARA,
Membaca:[22]
Hasil pembahasan tata tertib Musyawarah
Cabang III Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Lebak.
Menimbang:[23]
a.
bahwa
tata tertib musyawarah komisariat merupakan batasan-batasan bagi tiap orang
yang mengikuti musyawarah komisariat agar pelaksanaannya tetib dan sekondusif
mungkin;
b.
bahwa
pembahasan dan pengesahan tata tertib musyawarah cabang telah hidup dan berlaku
dalam tiap-tiap musyawarah cabang setidaknya untuk setiap cabang dalam DPD IMM
Banten;
c.
bahwa
tata tertib ini sebagai kontrol terhadap segala tingkah laku bagi tiap orang
yang mengikuti musyawarah cabang ini.
Mengingat:[24]
Pasal 17 dan Pasal
18 Anggaran Dasar IMM; pasal 23 dan pasal 26 Anggaran Rumah Tangga IMM.
Dengan Persetujuan Bersama[25]
PIMPINAN SIDANG SEMENTARA
dan
PESERTA MUSYAWARAH CABANG
MEMUTUSKAN:[26]
Menetapkan:
PENGESAHAN TATA TERTIB
MUSYAWARAH CABANG III IMM CABANG LEBAK.
Ditetapkan
di : Rangkasbitung
Tanggal : 2013
Pukul : WIB
PIMPINAN SIDANG SEMENTARA
Pimpinan Sidang I
(........................................)
|
Pimpinan Sidang II
(........................................)
|
Pimpinan Sidang III
(........................................)
|
[1] Dalam
Edisi Revisi ini, makalah disampaikan dalam kegiatan Darul Arqam
Dasar IMM Kabupaten Lebak yang diselenggarakan pada Minggu-Selasa, 23-25
Desember 2012 di Desa Ciboleger, Kabupaten Lebak
[2] Penulis
saat ini adalah pemegang amanat Sekretaris Bidang
Kaderisasi DPD IMM Banten yang syukur alhamdulillah kini
berkesempatan menempuh studi pada Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
[3] Dalam
ucapannya yang terkenal, Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu
pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” [Chester E. Finn Jr,
et al, Apakah Demokrasi Itu?, terjemahan Budi Prayitno (Washington
D.C.: United States Information Agency, 1991), hlm. 4.]
[4] Tim
Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), hlm. 581.
[6] Secara sederhana kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial
juga dapat dianalogikan seperti sistem pemerintahan parlementer. Sebagai kepala
pemerintahan dalam ikatan adalah ketua dan semua pengurus, bahkan seluruh
kader. Sehingga baik antara ketua, pengurus dan kader memiliki peranan dan
tanggung jawab yang sama besarnya dalam mengemban amanat ikatan. Sementara
sebagai kepala negara dalam ikatan hanya dipegang oleh ketua umum. Kekuasaan
sebagai kepala negara ini berkaitan dengan posisi ketua umum sebagai simbol
organisasi dan representasi dari institusi yang dipimpinnya.
[7] Lord Acton (1834-1902) dalam suratnya tertanggal 5 April 1887
mengingatkan kepada Bishop Mandell Creighton bahwa “power trends to corrupt
and absolute power corrupt absolutely”. [Mohammad Laica Marzuki, “Kesadaran
Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Volume 6
Nomor 3 (September, 2009), hlm. 21.]
[8] Karena fitrah dari Sang Khalik, maka setiap orang harus dijamin haknya
untuk menyatakan pendapat. Tetapi karena unsur kelemahan kemakhlukannya itu,
maka setiap orang dituntut untuk cukup rendah hati agar dapat melihat
kemungkinan dirinya salah dan bersedia mendengarkan serta memperhatikan
pendapat orang lain. Interaksi positif dalam semangat optimisme kemanusiaan
antara hak diri pribadi untuk menyatakan pendapat dan kerendahan hati untuk
mendengarkan pendapat orang lain itu melahirkan ajaran dasar musyawarah, suatu
bentuk interaksi sosial yang mengandung makna “saling memberi isyarat” tentang
yang baik dan benar untuk semua. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali
Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2
Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hlm. 23.]
[9] Andy Wiyanto, Paham Kedaulatan Rakyat dalam Bingkai Konstitusi
Republik Indonesia, (Makalah untuk mengikuti Workshop “Konstitusionalisme
dan Republikanisme”, Pusat Studi Islam Kenegaraan-Indonesia, 2009), Tangerang
Selatan, hlm. 2.
[10] Biasanya bila di organisasi lain penggunaan istilah ini sepadan dengan
Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS).
[11] Yang
termasuk perlengkapan sidang berupa: palu sidang, meja dan kursi kursi sidang,
pengeras suara dan peralatan-peralatan lainnya yang berhubungan dengan
persidangan.
[12] Pimpinan
sidang merupakan “wakil Tuhan” dalam ruang sidang, ia harus bisa menjadi
seperti kancil yang “cerdik” sekaligus seperti “singa” yang disegani. Pimpinan
sidang yang baik harus bisa dicintai sekaligus ditakuti oleh peserta sidang,
namun apabila tidak bisa keduanya paling tidak harus bisa ditakuti oleh peserta
sidang (lihat analogi pemimpin yang baik menurut Niccolo
Machiavelli).
Pimpinan sidang ibarat manusia dengan dua darah, pada satu sisi ia dapat
menjadi seorang diktator namun pada sisi lainnya ia adalah seorang demokrat
sejati.
[13] Tim Penyusun Kamus, op.cit., hlm. 708.
[14] Ibid, hlm. 320.
[16] Demokrasi prosedural membatasi diri pada dunia voting, prosedur adil
dan segala perangkat formalitas lain, sedangkan demokrasi substantif melibatkan
upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. [Yudi Latif, “Islam,
Indonesia dan Demokrasi” Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1
(Juli-Desember, 2009), hlm. 87.]
[18] Skorsing
juga dapat ditempuh ketika peserta sidang mengalami kelelahan atau dengan
alasan-alasan lain yang masuk akal.
[19] Perihal
lobying harus ditempatkan pada tujuan untuk mencari kesesuaian paham atau
setidak-tidaknya mencari jalan tengah yang bersifat win-win solution.
[20] Ditambahkan kata “sementara” karena sidang pengesahan tata tertib ini
dilakukan sebelum pemilihan pimpinan sedang.
[21] Tata cara penomoran disesuaikan dengan pedoman administrasi IMM.
[22] Dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak
dikenal bagian “membaca” ini, namun bagian ini tetap dimasukkan karena sudah
menjadi kebiasaan dalam organisasi IMM. Poin ini wajib ada ketika ada hasil
pembahasan tertulis dari kesepakatan yang akan disahkan atau adanya rujukan
lain dalam memutuskan keputusan ini.
[23] Sering terjadi kesalahpahaman dalam praktek, sesungguhnya yang disebut
konsiderans adalah bagian “menimbang” ini, bukan surat keputusan ini secara
keseluruhan. Dalam konsiderans berisi dasar-dasar filosofis, yuridis dan
sosiologis yang berlaku dalam menetapkan surat keputusan ini. Konsiderans
disusun poin per poin menggunakan huruf
dan diawali dengan kata “bahwa”.
[24] Bagian “mengingat” ini disebut dasar hukum, yakni memuat landasan
hukum dari dikeluarkannya surat keputusan ini. Dasar hukum disusun menjadi satu
(tidak poin per poin), di mulai dari aturan yang paling tinggi hingga aturan
yang paling rendah.
[25] Dalam membuat surat keputusan klausul “dengan persetujuan bersama”
wajib ada ketika keputusan itu dirumuskan bersama, namun jika tidak dirumuskan
dengan bersama, misalnya surat keputusan/surat tugas tidak perlu mencantumkan
klausul ini.
[26] Kata “memutuskan” in disebut diktum, yaitu sebuah penetapan yang
merupakan subtansi dari dikeluarkannya surat keputusan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar