lennon

lennon

Kamis, 31 Mei 2012

Kontroversi RUU PT, Ditolak atau Diterima?



Mahasiswa sudah seharusnya berpikir kritis dalam menghadapi berbagai permasalahan, baik skala kampus maupun dalam lingkup nasional. Kementerian Sosial Politik BEM ITS mengajak segenap Keluarga Mahasiswa (KM) ITS ikut mengkaji Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Rencana kebijakan baru itu diluncurkan oleh pemerintah awal tahun ini. Pusat Kajian Strategis (Pukat) RUU PT berlangsung Selasa (29/5) malam.
Gedung M-Web, ITS Online - Nuansa penuh kritik sangat terasa di lantai satu gedung M-Web. Banyak argumen terlontar seputar RUU PT tersebut. Banyak yang menganggap beberapa pasal yang diajukan tidak sesuai untuk diterapkan.

Poin utama yang dibahas dalam Pukat berkaitan dengan komersialisasi, otonomi, kemahasiswaan dan liberalisasi. Ada beberapa hal yang ditelaah menyangkut komersialisasi. Dalam beberapa pasal tersirat bahwa pendidikan tinggi termasuk sebagai badan usaha yang profit-oriented. Alasannya, karena negara mengurangi subsidi biaya oprasional perguruan tinggi.

Kebijakan tersebut ada kaitannya dengan bidang otonomi, yang meliputi penekanan seputar pengelolaan keuangan kampus sendiri. Pengelolaan keuangan kampus yang mandiri diduga akan memudahkan pendanaan dari pihak birokrasi. Hal tersebut diduga akan memudahkan pula penarikan biaya kepada mahasiswa.

Lebih banyak lagi poin yang dibahas mengenai dunia kemahasiswaan. Yang paling utama menyangkut liberalisasi pendidikan. Liberalisasi ini berhubungan erat dengan pasal 114 ayat 1 yang berisi pernyataan bahwa perguruan tinggi di negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia.

Halimatus Dwi Sa'dyah, Sekretaris Menteri Kementrian Sosial BEM ITS menjelaskan lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut. Perguruan tinggi yang berasal dari luar negeri akan bisa membuka cabang di Indonesia. Pengaruhnya akan terasa terhadap minat akademik pelajar Indonesia. Selain persaingan antar perguruan tinggi, sangat mungkin pula terjadi degradasi kebudayaan lokal.

Hasil kajian malam itu bakal dibahas lebih lanjut dalam tatanan jurusan. ''Mulai minggu ini akan diadakan safari HMJ,'' jelas Halima. Isu seputar RUU PT sendiri telah dibahas sejak bulan Maret. Namun, berita tersebut kurang sempat kalah pamor dengan wacana kenaikan BBM. Setelah berdiskusi dengan semua KM ITS, aspirasi tersebut akan disampaikan kepada pihak birokrasi.

BEM ITS juga turut bertukar kajian dengan beberapa perguruan tinggi negeri seputar adanya RUU PT. ''Kami harap RUU PT tidak jadi disahkan dan dikaji lebih dalam lagi oleh pemerintah,'' tutup Halima. (sha/lis)

Perguruan Tinggi Swasta Bersikukuh Tolak Pengesahan RUU PT

Penulis : Syarief Oebaidillah
Kamis, 31 Mei 2012 03:20 WIB

JAKARTA--MICOM: Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) bersikukuh meminta pemerintah dan DPR tidak mengesahkan RUU PT.

ABPPTSI menyatakan telah menyampaikan surat penolakan RUU PT pada Panja RUU PT DPR dengan tembusan ke Mendikbud dan Dirjen Dikti. "Kami telah sampaikan secara rinci alasan dan pertimbangannya. Jadi kami tetap menolak RUU PT disahkan dan sebagai jalan tengahnya kami minta di rombak total,"kata Ketua Umum ABPPTSI Thomas Suyatno di Jakarta, (Rabu (30/5).

Thomas yang juga guru besar Universitas Katolik Atmajaya (Unika) ini mengatakan bahwa selama ini kalangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak pernah merecoki pemerintah, "Mengapa kami mesti diatur-atur secara kaku.Sebaiknya Bina dan awasilah secara profesional saja,"cetusnya.

Mantan Rektor Unika ini menegaskan pemerintah melalui Kemendikbud wajib membina PTS dlm pelaksanaan Tridharma Pendidikan Tinggi secara profesional, dengan tujuan meningkatkan kualitas pada semua aspeknya, berupa pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Begitupun dalam hal otonomi akademik, berikan otonomi sepenuhnya kepada PTS.

"Kami jangan terlalu diberi banyak rambu-rambu yang amat etatis. Sedangkan otonomi nonakademik berikan otonomi sepenuhnya kepada badan penyelenggara atau ayasannya.,"jelas Thomas.

Sebaliknya, kata dia, jika ada pelanggaran, jatuhkan sanksi yang bersifat edukatif. Misalnya,pimpinan PTS dan atau badan penyelenggara atau yayasan dipanggil dan diberikan penjelasan atas kesalahan pelanggaran yang dilakukan. Selanjutnya diberikan bimbingan cara memperbaiki.

"Jadi caranya mendidik. Bukan langsung diberikan sanksi mematikan atau diancam-ancam. Selenggarakan berbagai jenis workshop untuk PTS, guna meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan," pungkas Thomas Suyatno. (Bay/OL-2)

Rabu, 30 Mei 2012

RUU PT, Investasi Sosial dan Ancaman Doktrin Ideologi Ala Neo Liberal



“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.” (Pramoedya Ananta Toer)

"Apa lagi yang bisa dibanggakan dari menteri pendidikan kita? Sekolah saja semakin mahal, mana mungkin rakyat bisa sekolah, apalagi minta rakyat cerdas ?" cetus salah satu teman, dicelah obrolan siang kemarin.. Wajahnya terlihat begitu muram, tangannya meremas-remas kertas yang ada digenggamannya lantas dilemparkannya jauh-jauh. Aku ambil kertas itu, setelah ku pelototi ternyata kertas tersebut berisi draft Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang yang sedang ramai diperdebatkan oleh pelbagai kalangan. Batinku berkata, “pantaslah kalau dia marah”. Tiba-tiba teman tadi berteriak keras sambil mengacungkan jari telunjuknya kelangit  “Hanya satu kalimat pak menteri, jangan komersilkan pendidikan Indonesia, berpihaklah pada rakyat miskin". Letupnya.
 
Setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). berhasil digagalkan oleh mahkamah konstitusi melalui judicial review pada tanggal 31 Maret 2010, Kini dunia pendidikan Indonesia kembali digegerkan oleh Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT). Sebuah Rancangan Undang-Undang yang direncanakan sebagai pengganti UU BHP, untuk dijadikan payung hukum dari pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia.
 
Namun, RUU PT juga bernasib sama dengan UU BHP. Banyak kalangan dari berbagai elemen masyarakat yang menggugatnya. Secara substansial, penolakan tersebut dikaitkan dengan isu proyek neoliberalisasi pendidikan nasional, yang digerakan oleh para pemodal  multinasional. Kepentingannya jelas yaitu ingin menjajah dan menghancurkan pembangunan jangka panjang SDM Indonesia, sekaligus menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan.
  
Isu privatisasi (liberalisasi) pendidikan kembali menyeruak ketika beberapa point dalam pasal dan klausul RUU PT masih kembar makna dengan UU BHP. Beberapa pasal bermasalah yang dianggap paling krusial tersebut adalah di pasal 69, tentang otonomi yang diberikan kepada PT Badan Hukum, yakni “wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi” (ayat 3e), pasal 79, tentang ajaran konyol dari pemerintah, agar rakyat membudayakan tradisi berhutang pada negara, yaitu adanya “pinjaman dana” sebagai hak mahasiswa jika ia tidak sanggup membiayai pendidikannya, pasal 94, tentang diperbolehkannya perguruan tinggi asing untuk menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan cabang di Indonesia, dan sejumlah pasal lainnya yang dikhawatirkan mengancam keberlanjutan pendidikan kita.

Bahkan, dipekirakan draft RUU PT yang mengatur sekitar 95 pasal tersebut banyak yang bersifat teknis dan berpotensi melahirkan banyak UU baru. Cara pandang pendidikan daripemangku kebijakan yang masih terpilah-pilah yaitu pendidikan berdasarkan pendidikan tinggi, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan kedokteran, dan lain sebagainya hal itulah yang menjadi kambing hitamnya. Padahal, semestinya bangsa ini memiliki satu kesatuan peraturan yang utuh dalam pendidikan, yaitu UU Pendidikan & Kebudayaan.
Secara substansial b
eberapa pasal yang dipersoalkan dalam RUU PT tersebut, jauh sebelumnya sudah menjadi isu yang terus bergulir dan sudah jamak diketahui oleh masyarakat. Semenjak dibuat dan digulirkannya proyek Undang-undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN)sebagai payung hukum pendidikan Indonesia. Seruan untuk menolak privatisasi dan komersialisasi kampuspun, keras sering terlontar dan dikoarkan oleh banyak kalangan tatkala itu.

Namun, dalam RUU PTada pasal-pasal yang harus disikapi secara serius. Salah satunya adalah tentang diperbolehkannya perguruan tinggi asing untuk menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan cabang di Indonesia. Dengan adanya pasal ini, hal yang paling ditakutkan adalah ketika perguruan tinggi asing diberikan kebebasan dalam pengembangan dan merancang kegiatan belajar mengajarterlebih pengembangan kurikulum pendidikannya. Sehingga bisa saja perguruan asing tersebut membawa misi dakwah untuk menyebarkan paham ideologi liberalnya kedalam negeri. Investasi sosial yang didapatkan tentunya sangat besar sekali. Sudah jelas pelajar yang dapat duduk dibangku perkuliahan tersebut pasti hanyalah orang-orang tajir dan anak para pejabat eselon. Maka jangan kagum, jika dikemudian hari banyak para pekerja diperusahaan bankir internasional semacam “IDB, WTO, dan IMF” yang berasal dari pribumi. Ketika hegemoni dan jaringan yang dibangun oleh kedua pihak tersebut sudah memiliki hubungan emosional yang sangat lekat, maka dengan model “link n match” para pemuda jebolan universitas asing itu akan disuplai secara terus menerus untuk menjadi antek dan agen kapitalis yang berkaliber internasional. Tanpa adanya proteksi nilai kebangsaan dalam klausul ini, pendidikan tidak hanya berpotensi untuk dikomersialisasi oleh kekuatan pemodal asing saja, tetapi juga rawan dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi liberal sebagai landasan pemikiran dari luar ke Indonesia.

Jerat Neoliberalisme
Munculnya privatisasi (liberalisasi) pendidikan tinggi adalah konsekwensi dari perjanjian yang telah disepakati oleh pemerintah dengan organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO). Pemerintah RI telah meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994, yang menganggap bahwa pendidikan tinggi adalah salah satu jasa dari 12 sektor jasa lainnya yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Dengan demikian, sejak saat itu Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya. Sedangkan mekanismenya diatur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services),.

Melihat fakta tersebut, jelas, bahwa pendidikan di indonesia sudah terjerat dalam jejaring proyek neoliberalisme internasional. Dalam hal ini kapitalisme, selalu ingin menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang dapat dijual untuk mendapatkan keuntungan, maka kampus pun dilirik menjadi target tempat untuk dibisniskan. Proyek privatisasi kampus, yang dalam banyak hal adalah keinginan para pemilik modal (kapitalis) yang hendak dijalankan melalui status kampus menjadi RUU PT, merupakan upaya nyata untuk meradikalisasi kapitalisme (neo-liberal) ke dalam dunia pendidikan. Model bisnis pendidikan seperti ini tentunya menimbulkan persoalan yang begitu sistemik. Mahalnya biaya pendidikan, ekslusivisme pendidikan dan elitisme pendidikan, adalah beberapa ekses yang tidak dapat dihindari lagi. Bahwa nanti hanya orang-orang kaya yang hanya bisa menempati bangku pendidikan itu sangat mungkin terjadi.
 
Kini pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pelayanan dari negara terhadap warga negara yang sifatnya wajib, tetapi menjadi sektor jasa yang layak diperjual belikan. Kini kapitalis benar-benar ingin menguasai pendidikan dengan cara melakukan pengambilalihan, bukan sekedar mengintervensi. Nantinya pendidikan benar-benar akan menjadi lembaga untuk memperjual belikan jasa proses pembelajaran ,materi dan pengetahuan , hingga sertifikat. Karena tidak dibiayai oleh pemerintah maka mahalnya akan minta ampun.

Liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi bukan hanya problem “otonomi” atau “akses”. Ia juga menjadi agenda institusi keuangan internasional untuk membajak pendidikan dengan agenda neoliberal yang sarat-kepentingan asing. Pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter. Tanpa adanya proteksi nilai kebangsaan maka adalah sebuah ancaman besar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Kesadaran pengambil kebijakan negara terhadap tanggung jawab untuk memikul amanat fundamental UUD 1945 dalam hal “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi segenap warganya. Ini sangat diharapkan oleh semua elemen masyarakat. Hal itu bisa dianggap sebagai pengingkaran terhadap tujuan Proklamasi 1945 apabila RUU PT benar-benar disahkan.

Sampai sekarang pemerintah tetap bersikukuh pada argumentasi bahwa hanya dengan meng-RUU PT-kan dunia pendidikan, maka pendidikan nasional akan maju dan bisa bersaing didunia internasional, khususnya perguruan tinggi yang sedang berakselerasi menuju World Class University, terutama UNS. Namun, argumentasi ini ditolak mentah-mentah oleh berbagai kelompok dan elemen masyarakat. RUU PT sebagai bukti lepas tanggung jawabnya pemerintah untuk membiayai pendidikan nasional, sekaligus merupakan proyek liberalisasi dan privatisasi pendidikan,  yang sangat menyengsarakan rakyat kecil dalam memperoleh akses pendidikan yang layak, maka harus “digagalkan”.

Qodri Rahmanto


Cermin Retak Pendidikan Kita

Oleh: Gunawan Handoko (Ketua Harian KMBI/Komunitas Minat Baca Indonesia Lampung)

Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kita dihebohkan dengan ditemukannya lembar kerja siswa (LKS) untuk murid kelas II sekolah dasar (SD) yang memuat cerita Si Angkri. Dalam waktu hampir bersamaan, ditemukan kembali LKS bermasalah yang memuat cerita istri simpanan di bawah judul Bang Maman dari Kalipasir yang beredar di SD Angkasa Halim IX, Jakarta Timur. 
BAYANGKAN, anak-anak usia 8 tahunan sudah dikenalkan dengan golok sebagai simbol kekerasan dan seks. Sungguh tidak etis. Bahkan, sangat kontraproduktif dalam pembangunan karakter anak-anak didik yang saat ini nyaring didengungkan Presiden SBY di setiap kesempatan.
Tanpa disadari, dunia pendidikan sedang menggiring anak-anak menuju jurang kehancuran akhlak dan moral. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini? Nyatanya pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), cuci tangan dan tidak merasa bersalah dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat mengontrol materi pelajaran tersebut.
Alasannya, pengadaan buku muatan lokal LKS diselenggarakan satuan pendidikan masing-masing. LKS diedarkan tanpa harus melewati seleksi pusat kurikulum dan buku. Sebab, sifatnya hanya sebagai pengayaan mata pelajaran di sekolah.
Apabila Kemendikbud sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan telah lepas tangan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah di mana dan bilamana pendidikan di Indonesia bisa dianggap sebagai satu sistem yang beroperasi optimal. Manakah unsur yang mengalami malfungsi?
Apabila malfungsi ini tidak dicermati secara seksama, bagaimana prospek pendidikan Indonesia ke depan. Kasus di atas tidak perlu terjadi, jika pihak terkait melakukan evaluasi awal sebelum sebuah materi ajar sampai di tangan siswa. Terlebih untuk konsumsi anak-anak yang lebih mengangkat pesan negatifnya ketimbang positif.
Meski pengadaan buku LKS diserahkan ke satuan pendidikan karena merupakan muatan lokal, tidak serta-merta dilepas tanpa kendali. Harus ada pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan evaluasi awal. Pihak sekolah, Dinas Pendidikan, atau siapa? Pemerintah tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap kredibilitas penerbit.
Kasus paling mutakhir dan membuat banyak pihak tercengang yakni ditemukannya buku cerita bergambar Nabi Muhammad SAW. Yang lebih mencengangkan, buku yang ditemukan di perpustakaan salah satu SD Islam di Solo tersebut merupakan bantuan dari Kementerian Agama. Untuk kasus terakhir ini, pemerintah tidak cukup hanya menarik dan melarang peredaran buku, namun harus bertindak tegas dengan mengusut tuntas motif di balik pemuatan gambar sosok Rasulullah.
Apa pun alasannya, membuat ilustrasi yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad merupakan hal yang dilarang. Patut diduga bahwa pihak penerbit ada unsur kesengajaan. Mengingat, dalam buku itu terdapat empat gambar ilustrasi yang semuanya dalam wujud manusia dan dipertegas dengan tulisan Muhammad dalam huruf Arab.
Pemerintah tidak bisa menutup mata atas carut-marutnya pengadaan buku yang terjadi selama ini. Berapa banyak oknum pejabat yang tersandung masalah hukum akibat dari pengadaan buku ini. Sikap pembiaran ini telah dimanfaatkan para penerbit buku untuk melakukan operasi tanpa kontrol mencari mangsa ke sekolah-sekolah untuk menjajakan buku LKS disertai dengan iming-iming fee besar ditambah ajakan studi tur gratis ke luar kota.
Akibatnya, banyak sekolah yang tergiur dan langsung menerima tawaran tersebut tanpa dipelajari dulu kandungan materi LKS. Diyakini masih banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai sekolah. Hanya, belum sempat terungkap. Dari pengamatan penulis terhadap cerita Si Angkri maupun istri simpanan yang diperuntukkan bagi anak usia kelas II SD secara teknis alur cerita yang ditampilkan sama sekali tidak mencerminkan tahapan-tahapan yang bisa dipahami anak usia delapan tahun.
Tema yang diangkat juga tidak mencerminkan pemikiran perspektif anak-anak. Becermin dari analisis di atas menunjukkan bahwa pengarang cerita tidak memiliki kemampuan dalam melihat tahapan-tahapan psikologis anak dan otomatis gagal dalam menyuguhkan cerita yang memadai.
Celakanya, tidak ada narasi untuk anak yang berisi pesan moral yang bisa diteladani. Fakta ini menunjukkan sistem pendidikan nasional yang telah ada tidak memiliki mekanisme memadai untuk melakukan pengawasan. Padahal secara legal formal, pemerintah tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ini.
Masalah LKS yang menghebohkan ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang tidak jelas arah tujuannya. Wajah dunia pendidikan kita ibarat cermin yang retak. Dalam membuat kebijakan, pemerintah terkesan serampangan sehingga menabrak berbagai aturan sebelumnya.
Seperti munculnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) beberapa waktu lalu yang menuai kontroversi dan kegalauan masyarakat. Lalu akhirnya ditunda. Bagaimana tidak, komersialisasi dan paham liberalisasi pendidikan pada beberapa pasal RUU PT tersebut telah menodai hak-hak warga Indonesia untuk melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi. Sebab, dipastikan, menimbulkan biaya pendidikan mahal. Ditundanya RUU PT cukup menjadi bukti bahwa pemerintah sesungguhnya belum siap dalam mengelola pendidikan, terkesan galau dan bingung.
Padahal, UU Sisdiknas No. 20/2003 secara terang benderang menegaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan; pengendalian diri; kepribadian; akhlak mulia; serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Artinya, pendidikan bukan semata-mata usaha perseorangan untuk memastikan dirinya secara individual dalam memenuhi kualitas hidup yang lebih baik. Sulit dipahami, mengapa Kemendikbud terlalu sering menelurkan aturan yang aneh dan membingungkan.
Saya kira pemerintah harus mulai sadar bahwa ada bidang pendidikan harus dikendalikan langsung pemerintah pusat. Baik regulasi maupun operasional. Hal ini sangat penting agar dunia pendidikan terbebas dari nuansa politik dan bisnis semata.
Pemerintah pusat tidak boleh menutup mata atas terjadinya politisasi dalam dunia pendidikan. Tidak jarang pendidikan dimanfaatkan untuk pencitraan. Apa pun alasannya, politisasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan karena akan menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.
Di tingkat daerah, politisasi pendidikan marak dan dilakukan dengan terang-terangan saat pemilihan kepala daerah. Keberadaan para guru tidak lagi dipandang sebagai sosok pendidik yang butuh ketenangan dalam melaksanakan tugasnya. Namun sudah disamakan dengan PNS pada umumnya.
Akibat dendam politik, tidak jarang para kepala sekolah dan guru yang harus di-rolling karena dianggap tidak loyal. Disadari memang, berbicara tentang dunia pendidikan di negeri ini selalu saja seperti mengurai gulungan benang yang kusut. Maka pilihan yang paling arif bagi kita adalah untuk bersikap sportif bahwa setiap orang pasti mempunyai keterlibatan dalam permasalahan ini.
Masing-masing pihak harus tumbuh minat secara sungguh-sungguh untuk mengurai gulungan tali yang kusut tadi. Maka tergambar oleh kita bahwa bicara masalah pendidikan bukanlah semata menekankan pada konteks hasil namun lebih menekankan pada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai proses.
Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran, dan proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar. Inilah saatnya untuk berbuat menuju perubahan, merubah pemikiran kita semua bahwa menjadikan pendidikan yang berkualitas kepada bangsa ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Setiap dari kita dapat mulai berbuat sesuai dengan peran masing-masing, untuk selanjutnya bersinergi. (*)

Senin, 28 Mei 2012

Pendidikan Dalam RUU Perguruan Tinggi



Mahasiswa Unhas tolak pengesahan RUU PT (Foto:Ist)
Oleh : Setyo Pamuji
Garut News (Minggu,27/5).
Akhir-akhir ini, perguruan tinggi bergejolak akibat beberapa wacana dikeluarkan  pemerintah.
Belum kering pembahasan tentang kebijakan mewajibkan lulusan perguruan tinggi publikasikan karya ilmiah di jurnal, muncul lagi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT).
Kebijakan pemerintah, seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan kebaikan bersama.
Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan tinggi, maka selayaknya berpihak pada perguruan tinggi.
Apalagi, perguruan tinggi penting untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak mewakili aspirasi masyarakat, khususnya bagi civitas academica.
Beberapa klausul dari peraturan tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri, bahkan mematikannya.
“Liberalisasi dan Penjajahan”
Ada beberapa pasal perlu dikritisi dalam RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap bisa memperburuk dunia pendidikan Indonesia.
Seperti pasal 77 menyebutkan, pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori, otonomi, semi otonomi dan otonomi terbatas.
Otonomisasi pendidikan sangat rawan disalahgunakan pengelola perguruan tinggi, tak bertanggung jawab.
Pada konteks tersebut, pemerintah memberi kewenangan pada perguruan tinggi mengelola keuangan, termasuk cara memperolehnya.
Pada kondisi ini, sangat mungkin pendidikan dianggap sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak bijak disikapi, menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.
Akan banyak muncul perguruan tinggi memanfaatkan otoritasnya membuat kebijakan menguntungkan, misalnya dengan biaya kuliah mahal.
Tingginya biaya ini berimplikasi langsung dalam bentuk diskriminasi pendidikan karena orang dengan ekonomi lemah termarjinalkan.
Selain itu, pasal 90 juga berdampak buruk bagi mahasiswa. Dalam pasal tersebut dijelaskan pemerintah memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa.
Sepintas hal tersebut tampak membantu mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan buruk: mahasiswa akan terbiasa berutang.
Lebih jauh, utang membuat kebebasan mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman dari kampus, hal itu tak langsung menjadi penumpul jiwa kritis mahasiswa.
Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan mengungkung kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh demonstrasi, misalnya.
Padahal pasal 31 UUD 1945 ayat (2) menyebutkan pendidikan hak rakyat. Rakyat memiliki hak  memperoleh pendidikan layak dan pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada rakyat mengenyam pendidikan.
Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan yang disepakati secara konsensus itu.
Lebih memprihatinkan lagi, pasal 114 menyebutkan perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Ini tentu sangat berbahaya jika melihat posisi Indonesia saat ini.
Orang Indonesia kebanyakan lebih suka sesuatu berbau luar negeri, impor, padahal belum tentu bermutu sehingga merugikan universitas lokal.
“ Globalisasi “
Dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dapat diprediksi dengan analogi kebebasan pasar di Indonesia.
Serbuan ritel asing membuat pasar-pasar tradisional sepi pembeli.
Bahkan, jika ini berlangsung dalam kurun waktu lama, tak menutup kemungkinan minat terhadap pasar tradisional akan mati.
Demikian pula dengan pendidikan. Jika globalisasi pendidikan memberikan ruang bagi perguruan tinggi asing mendirikan ”cabang” di Indonesia, perkembangan perguruan tinggi lokal bisa terhambat.
Pendidikan tinggi asing dapat menghegemoni perguruan tinggi dalam negeri.
Tingginya minat orang Indonesia untuk belajar di perguruan asing tersebut tak langsung membuat jumlah peserta didik di perguruan tinggi dalam negeri menurun.
Lambat laun, perguruan tinggi dalam negeri gulung tikar.

Jika demikian, sebenarnya pasal tersebut dapat berpotensi membunuh pendidikan tinggi dalam negeri.
Masuknya pendidikan tinggi asing ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan bentuk penjajahan secara halus terhadap bangsa ini.
“ Daya Kompeten “
Dalam era globalisasi, memang suatu negara tak dapat menutup diri dari pergaulan internasional.
Sekularisasi dalam bentuk perizinan produk-produk asing masuk ke Indonesia sejatinya juga tak selalu negatif, bahkan suatu kebutuhan.
Untuk memperoleh arus informasi ataupun pengetahuan, bangsa diharuskan dinamis, berinteraksi dengan bangsa-bangsa maju. Indonesia dapat memetik manfaat dari pergaulan global tersebut.
Hanya  perlu ditekankan di sini sumber daua manusia Indonesia. Masyarakat seharusnya memiliki bekal memadai dulu sebelum bangsa asing bebas masuk Indonesia dengan beragam produk unggulannya.
Paling minim, kualitas produk-produk dalam negeri dapat disejajarkan dengan milik asing.
Singkat kata, pemerintah harus menguatkan daya kompeten pendidikan dalam negeri dahulu sebelum mengizinkan pendidikan tinggi asing masuk ke Indonesia.
Ini sebagai proteksi terhadap keberlangsungan pendidikan membudaya di masyarakat Indonesia.
Selain itu, pendidikan juga harus kembali pada konsep luhur pendidikan itu diselenggarakan.
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas menegaskan, pendidikan usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya.
Semua ini agar para mahasiswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.  Semoga bisa!
******(SB/JDH).