lennon

lennon

Senin, 28 Mei 2012

Pendidikan Dalam RUU Perguruan Tinggi



Mahasiswa Unhas tolak pengesahan RUU PT (Foto:Ist)
Oleh : Setyo Pamuji
Garut News (Minggu,27/5).
Akhir-akhir ini, perguruan tinggi bergejolak akibat beberapa wacana dikeluarkan  pemerintah.
Belum kering pembahasan tentang kebijakan mewajibkan lulusan perguruan tinggi publikasikan karya ilmiah di jurnal, muncul lagi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT).
Kebijakan pemerintah, seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan kebaikan bersama.
Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan tinggi, maka selayaknya berpihak pada perguruan tinggi.
Apalagi, perguruan tinggi penting untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak mewakili aspirasi masyarakat, khususnya bagi civitas academica.
Beberapa klausul dari peraturan tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri, bahkan mematikannya.
“Liberalisasi dan Penjajahan”
Ada beberapa pasal perlu dikritisi dalam RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap bisa memperburuk dunia pendidikan Indonesia.
Seperti pasal 77 menyebutkan, pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori, otonomi, semi otonomi dan otonomi terbatas.
Otonomisasi pendidikan sangat rawan disalahgunakan pengelola perguruan tinggi, tak bertanggung jawab.
Pada konteks tersebut, pemerintah memberi kewenangan pada perguruan tinggi mengelola keuangan, termasuk cara memperolehnya.
Pada kondisi ini, sangat mungkin pendidikan dianggap sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak bijak disikapi, menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.
Akan banyak muncul perguruan tinggi memanfaatkan otoritasnya membuat kebijakan menguntungkan, misalnya dengan biaya kuliah mahal.
Tingginya biaya ini berimplikasi langsung dalam bentuk diskriminasi pendidikan karena orang dengan ekonomi lemah termarjinalkan.
Selain itu, pasal 90 juga berdampak buruk bagi mahasiswa. Dalam pasal tersebut dijelaskan pemerintah memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa.
Sepintas hal tersebut tampak membantu mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan buruk: mahasiswa akan terbiasa berutang.
Lebih jauh, utang membuat kebebasan mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman dari kampus, hal itu tak langsung menjadi penumpul jiwa kritis mahasiswa.
Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan mengungkung kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh demonstrasi, misalnya.
Padahal pasal 31 UUD 1945 ayat (2) menyebutkan pendidikan hak rakyat. Rakyat memiliki hak  memperoleh pendidikan layak dan pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada rakyat mengenyam pendidikan.
Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan yang disepakati secara konsensus itu.
Lebih memprihatinkan lagi, pasal 114 menyebutkan perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Ini tentu sangat berbahaya jika melihat posisi Indonesia saat ini.
Orang Indonesia kebanyakan lebih suka sesuatu berbau luar negeri, impor, padahal belum tentu bermutu sehingga merugikan universitas lokal.
“ Globalisasi “
Dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dapat diprediksi dengan analogi kebebasan pasar di Indonesia.
Serbuan ritel asing membuat pasar-pasar tradisional sepi pembeli.
Bahkan, jika ini berlangsung dalam kurun waktu lama, tak menutup kemungkinan minat terhadap pasar tradisional akan mati.
Demikian pula dengan pendidikan. Jika globalisasi pendidikan memberikan ruang bagi perguruan tinggi asing mendirikan ”cabang” di Indonesia, perkembangan perguruan tinggi lokal bisa terhambat.
Pendidikan tinggi asing dapat menghegemoni perguruan tinggi dalam negeri.
Tingginya minat orang Indonesia untuk belajar di perguruan asing tersebut tak langsung membuat jumlah peserta didik di perguruan tinggi dalam negeri menurun.
Lambat laun, perguruan tinggi dalam negeri gulung tikar.

Jika demikian, sebenarnya pasal tersebut dapat berpotensi membunuh pendidikan tinggi dalam negeri.
Masuknya pendidikan tinggi asing ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan bentuk penjajahan secara halus terhadap bangsa ini.
“ Daya Kompeten “
Dalam era globalisasi, memang suatu negara tak dapat menutup diri dari pergaulan internasional.
Sekularisasi dalam bentuk perizinan produk-produk asing masuk ke Indonesia sejatinya juga tak selalu negatif, bahkan suatu kebutuhan.
Untuk memperoleh arus informasi ataupun pengetahuan, bangsa diharuskan dinamis, berinteraksi dengan bangsa-bangsa maju. Indonesia dapat memetik manfaat dari pergaulan global tersebut.
Hanya  perlu ditekankan di sini sumber daua manusia Indonesia. Masyarakat seharusnya memiliki bekal memadai dulu sebelum bangsa asing bebas masuk Indonesia dengan beragam produk unggulannya.
Paling minim, kualitas produk-produk dalam negeri dapat disejajarkan dengan milik asing.
Singkat kata, pemerintah harus menguatkan daya kompeten pendidikan dalam negeri dahulu sebelum mengizinkan pendidikan tinggi asing masuk ke Indonesia.
Ini sebagai proteksi terhadap keberlangsungan pendidikan membudaya di masyarakat Indonesia.
Selain itu, pendidikan juga harus kembali pada konsep luhur pendidikan itu diselenggarakan.
UU No 20/2003 tentang Sisdiknas menegaskan, pendidikan usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya.
Semua ini agar para mahasiswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.  Semoga bisa!
******(SB/JDH).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar