lennon

lennon

Jumat, 25 Mei 2012

5 ALASAN MENGAPA RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI (TETAP) HARUS DITOLAK


Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi sudah memasuki masa sidang ketiga. Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bersama Badan Musyawarah, sebelumnya telah mengagendakan pengesahan RUU ini pada Rapat Paripurna 4 April 2012. Namun, dalam Rapat Paripurna tersebut agenda pengesahan RUU Penduidikan Tinggi ditunda satu minggu, menjadi 10 April 2012.

Dalam pernyataannya kepada wartawan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, menyatakan bahwa penundaan hanya karena ada masalah teknis dalam pembahasaan, sinkronisasi dan harmonisasi pasal-pasal dalam draft RUU.[1] Namun, pada hari yang sama Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, menyatakan bahwa penundaan tersebut karena memang ada perubahan dalam RUU Pendidikan Tinggi, karena pembahasan antara DPR dan Pemerintah masih berlangsung.[2]

Perbedaan argumentasi terkait dengan penundaan pengesahan ini tentu mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dibalik pembahasan RUU tersebut. Tidak transparannya proses pembahasan selama ini kian menambah kecurigaan masyarakat akan adanya agenda tersembunyi dalam pembahasan RUU ini.

Draft RUU Pendidikan Tinggi terbaru yang akan menjadi bahan pembahasan dalam Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Pemerintah, 5 April 2012, adalah draft per-4 April 2012. Draft ini memang mengalami perubahan, terutama terkait dengan konsep otonomi perguruan tinggi dan pembiayaannya. Perubahan ini dianggap telah mengakomodir keinginan masyarakat yang dari awal menolak pengsahan RUU Pendidikan Tinggi.

Setelah melakukan kajian dan pendalaman terhadap draft terbaru tersebut, nampaknya argumentasi diatas sulit untuk dibuktikan, dan lebih dirasakan bermanfaat untuk meredam gelombang penolakan dari masyarakat. Ada lima alasan yang mendasari anggapan itu, yaitu sebagai berikut,

Pertama, perubahan ketentuan dalam Pasal 77 RUU Pendidikan Tinggi, draft 17 Maret 2012, yang mengatur tentang tiga pola pengelolaan perguruan tinggi, menjadi konsep PTN dan PTS dalam Pasal 67 RUU Pendidikan Tinggi, draft 4 April 2012 hanya dilakukan dalam hal peristilahan saja. Akibatnya secara konsep pelaksanaan, peluang untuk adanya PTN berbadan hukum masih terbuka.

Dari awal jelas bahwa konsep pembedaan PTN dan PTS diusung agar tidak ada peluang bagi PTN untuk memiliki badan hukum, karena pada hakikatnya isitilah PTN adalah bagian dari negara (dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Penggunaan istilah “PTN” yang berbadan hukum dalam hal ini jelas merujuk kepada status BHMN, sehingga makna dan konsep utuh dari PTN justru menghilang. Oleh karena itu, penggunaan istilah “PTN” dalam RUU Pendidikan Tinggi tidak lebih dari hanya penggunaan istilah tanpa mengadaptasi konsep secara keseluruhan. Perubahan seperti ini sering timbul dalam pembentukan undang-undang karena perubahan pasal dilakukan secara parsial.

Kedua, konsepsi dalam RUU Pendidikan Tinggi perlu diakui tidak seluruhnya buruk, ada pula pasal yang memiliki pengaturan yang baik. Namun, tentu kelak pelaksanaan dari Undang-undang ini tidak akan dilaksankan secara sebagian, yang hanya ketentuan baik-baiknya saja. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang dianggap baik pun belum tentu akan membawa perubahan terhadap praktik yang berjalan. Salah satu ketentuan yang selalu menjadi andalan bagi DPR dan Pemerintah untuk mempromosikan RUU Pendidikan Tinggi adalah jaminan terhadap mahasiswa yang kurang mampu untuk berkuliah karena ada mekanisme beasiswa, sehingga semua warga negara dapat berkuliah dengan dikenakan biaya sesuai kemampuan (Pasal 75 Draft RUU Pendidikan Tinggi, versi 4 April 2012).

Ternyata konsep tersebut sudah ada dari tahun 2003, yaitu dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c UU Sisdiknas diatur bahwa “setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, sedangkan dalam huruf d Pasal yang sama disebutkan bahwa “setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.

Dua ketentuan dalam UU Sisdiknas diatas menunjukan bahwa konsep beasiswa dan keringanan biaya itu bukan konsep baru dalam RUU Pendidikan Tinggi. Sehingga apabila selama ini belum terlaksana, berarti permasalahan utamanya bukanlah pada peraturan setingkat undang-undang, tetapi pada peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, dengan disahkannya RUU Pendidikan Tinggi berpotensi hanya mengulangi kesalahan yang sama.

Ketiga, kebutuhan akan pembentukan peraturan pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi memang diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas. Hal itupun sudah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Namun PP 66/2010 ini mendapatkan tentangan dari sebagian kelompok masyarakat, terutama terkait dengan ketentuan mengenai kewajiban 7 perguruan tinggi BHMN untuk mengubah pengelolaan keuangannya menjadi Badan Layanan Umum (BLU).

Tentangan ini terus bergulir seperti bola salju sehingga menciptakan gerakan yang besar. Gerakan ini seakan mendapatkan jalan ketika mengetahui bahwa DPR, melalui Komisi X, memiliki agenda untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang tata kelola pendidikan tinggi. Dalam kondisi tersebut 7 BHMN sepakat untuk menunda penyesuaian sistem pengelolaan keuangan menjadi BLU sampai batas waktu maksimal, 31 Desember 2012, berakhir. Selain itu juga mendukung pembentukan RUU Pendidikan Tinggi untuk mengatur “konsep tandingan” dari PP 66/2010.[3]

Dari uraian diatas terlihat bahwa dukungan terhadap RUU Pendidikan Tinggi tidak bisa dilepaskan dari tentangan terhadap pengaturan dalam PP 66/2010. Hal ini jelas perlu untuk dikritisi karena tidak bisa kemudian pembentukan suatu undang-undang didasarkan kepada kebutuhan kelompok tertentu yang tidak sepakat dengan konsep dari peraturan lain. Pembentukan suatu undang-undang haruslah mempertimbangkan ketentuan materi muatannya, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, yaitu,
      1.       pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
      2.       perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
      3.       pengesahan perjanjian internasional tertentu;
      4.       tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
      5.       pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Keempat, tidak perlunya substansi pengaturan dalam RUU Pendidikan Tinggi untuk diatur dalam bentuk undang-undang pun terbukti dalam Draft per- 4 April 2012. Dari sebelas Bab yang diatur, sembilan diantaranya sudah diatur dalam ketentuan lain, baik dalam UU Sisdiknas, PP No. 17 Tahun 2010, atau PP No. 66 Tahun 2010. Sisanya, dua Bab, mengatur tentang sanksi adminisrasi dan sanksi pidana yang memang tidak bisa diatur dalam peraturan setingkat PP. Data ini menunjukan bahwa apabila RUU ini tidak jadi disahkan, tidak ada aspek dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akan mengalami kekosongan hukum

Kelima, selain permasalahan substansi, RUU Pendidikan Tinggi juga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 31 ayat (3), yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan (hanya) satu sistem pendidikan nasional. Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa makna dari “satu sistem pendidikan nasional” adalah an integrated system of education, bukan a uniform system of education. Untuk membuat sistem yang terintegrasi tentu perlu untuk diatur dalam satu undang-undang, dan UU tersebut sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Sehingga apabila RUU Pendidikan Tinggi tetap dipaksanakan untuk disahkan tentu akan menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan keempat agumentasi diatas, sudah semestinya DPR dan Pemerintah tidak memaksakan untuk mensahkan RUU Pendidikan Tinggi. Terlebih karena saat ini tidak ada kekosongan hukum yang mendesak, atau kebutuhan mendesak terkait dengan pemenuhan hak asasi warga negara. Selain itu, DPR dan Pemerintah pun tidak perlu ragu apabila memang akan mengurungkan niatnya untuk mengesahkan RUU ini, karena sudah ada preseden untuk hal tersebut, yaitu dilakukan oleh Komisi V yang membatalkan pembahasan RUU revisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan menganggap permasalahan dapat diselesaikan dalam peraturan tingkat Peraturan Pemerintah.


[3] Sikap dari 7 perguruang tinggi BHMN itu tercatat dalam hasil kesepakatan pertemuan 7 BHMN, baik yang dilaksanakan di IPB (21 Desember 2010), maupun di UI (1 Februari 2011)


Makna Penundaan RUU Perguruan Tinggi

TEMPO.CO, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang rencananya akan disahkan pada masa sidang paripurna, 10 April 2012. Usul penundaan justru datang dari pemerintah pada hari terakhir. Adapun alasan yang dikemukakan Menteri M. Nuh kepada publik mengenai permintaan penundaan pengesahan RUU PT itu adalah perlu penambahan atas tiga hal, yaitu peran pendidikan tinggi untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. 

Bagi mereka yang mengikuti perdebatan RUU PT sejak awal, ketiga hal tersebut tidak pernah muncul dalam perdebatan. Artinya, secara substansial sejak awal pembahasan bukan masalah. Saya pribadi berpendapat hal tersebut tidak harus muncul dalam bentuk pasal, tapi menjadi roh RUU PT itu sendiri. Artinya, lahirnya RUU PT itu sendiri semestinya didasari pemikiran dan semangat untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Karena semangatnya seperti itu, konsekuensi logisnya adalah pasal-pasal yang ada di dalamnya harus mengeksplorasi semangat tersebut. Jadi bukan harus ada pasal tertentu yang secara eksplisit berbunyi seperti itu. 

India salah satu contoh negara miskin dengan penduduk di atas 1 miliar jiwa, tapi memberikan pendidikan yang terbaik dan murah bagi warganya. Kuliah di fakultas kedokteran di sana saat ini, bila dikurskan ke rupiah, hanya Rp 2 juta selama lima tahun atau rata-rata hanya Rp 400 ribu per tahun. Dan ini tidak aneh karena, pada masa Orde Baru dulu, kuliah di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri terkemuka juga hanya sebesar itu. Wajar bila pada saat ini India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus menjadi pusat baru pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia. Warga India pun bangga menjadi bangsa India karena diperhitungkan oleh dunia; 30 persen dokter dan ahli information technology di Amerika Serikat adalah orang-orang India. 

Pada masa Orde Baru, meskipun sistem politiknya amat otoriter dan menindas, akses terhadap pendidikan tinggi jauh lebih mudah, murah, serta tidak diskriminatif. Seleksi penerimaan mahasiswa baru pun tidak beraneka ragam, tapi hanya dua cara, yaitu melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). PMDK hanya khusus bagi mereka yang memiliki prestasi akademik bagus dan stabil di kelas I-III, sedangkan UMPTN terbuka bagi semua lulusan sekolah menengah atas dengan usia ijazah maksimal tiga tahun dari kelulusan. 

Sistem penerimaan mahasiswa baru, baik melalui jalur PMDK maupun UMPTN, tersebut diterima masyarakat dan masyarakat selalu mengapresiasi lulusan SMA yang lolos seleksi PMDK ataupun UMPTN, karena dianggap sebagai orang-orang terpilih. Apresiasi dan tidak adanya protes tersebut menunjukkan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN pada saat itu sudah bagus, adil, dan tidak diskriminatif. Hal-hal yang sudah bagus tersebut semestinya tidak diubah. Yang diubah hal-hal yang kurang sesuai dengan semangat zaman saja. 

Bila RUU PT tersebut menjamin akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif seperti di India atau pada masa Orde Baru, meskipun tidak terdapat pasal yang secara eksplisit merumuskan seperti apa yang diharapkan oleh Menteri Pendidikan, RUU itu bila disahkan akan dapat memenuhi harapan tersebut, yaitu berperan menyiapkan pemimpin bangsa, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Sebaliknya, meskipun dirumuskan secara eksplisit peran tersebut, kalau tidak ada jaminan atas akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif, tetap saja praksisnya tidak melahirkan apa-apa. Jadi kuncinya bukan pasal, melainkan rohnya.

Beban pembiayaan
Sebagai orang yang turut mengawal perdebatan RUU PT ini sejak awal, saya menduga inti persoalannya bukan di sana, tapi pada besarnya beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah, dulu cukup disebut PTN, tapi sekarang ada PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Dengan dihapuskannya pasal yang mengatur soal dikotomi antara PT otonom, semi-otonom, dan otonomi terbatas, pemerintah harus memperlakukan kebijakan yang sama untuk semua pendidikan tinggi yang didirikannya. Konsekuensinya, tidak ada lagi PTN/PT BHMN yang memiliki keleluasaan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah dana PTN sebagian besar dari pemerintah dan mungkin PT BHMN tidak ada lagi karena telah berubah menjadi badan layanan umum, yaitu bentuknya satuan kerja tapi memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengelolaan keuangannya. Di sisi lain, pemerintah menuntut agar PTN meningkatkan kualitas, produktivitas, dan jaringan internasionalnya. Tentu saja pemerintah tidak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab karena menuntut yang tinggi-tinggi, tapi dukungan dananya terbatas. 

Salah satu pasal yang tampaknya menjadi keberatan pemerintah adalah pasal 93 ayat 3, yang menyatakan, “Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN paling sedikit 2,5 persen dari anggaran fungsi pendidikan. Ayat 4 menyatakan, “Dana bantuan operasional PTN sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dialokasikan paling sedikit 30 persen untuk penelitian di perguruan Tinggi”. 

Munculnya pasal tersebut untuk menghindari terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi negeri. Namun pasal ini memaksa pemerintah mengalokasikan dana yang pasti untuk pendidikan tinggi dan juga untuk penelitian, yang proses pengalokasian dananya itu tidak sederhana, karena tentu akan menimbulkan perdebatan internal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri, terutama antar-direktorat. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah tentu akan memprotes, mengapa pendidikan tinggi yang sifatnya bukan wajib justru mendapat prioritas, sedangkan pendidikan dasar tidak. Apalagi jumlah murid di pendidikan dasar dan menengah jauh lebih banyak daripada mahasiswa di perguruan tinggi. Belum lagi soal pengalokasian 30 persen dari anggaran untuk PT tersebut diperuntukkan bagi kegiatan penelitian. Kedua ayat itu akan menimbulkan problem internal bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga wajar bila kemudian mereka yang justru minta ditunda.

Pasal krusial
Adapun beberapa pasal krusial dalam RUU PT versi 4 April 2012 yang masih berpotensi menimbulkan penolakan adalah pasal 69 ayat 1-4 mengenai kemungkinan PTN membentuk badan hukum, serta pasal 72 ayat 2 mengenai pengangkatan tenaga dosen dan kependidikan, yang selain dari pemerintah, dari penyelenggara. Ayat ini akan menjadi problematik bagi tenaga dosen dan kependidikan di PTN berbentuk badan hukum. Juga pasal 76 ayat 1 mengenai penerimaan mahasiswa baru yang, selain melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional, melalui bentuk lain. Kata-kata ”bentuk lain” dikhawatirkan dimaksudkan untuk tetap mengakomodasi jalur mandiri yang mahal itu. Di samping itu, pasal 94, yang mengatur PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia. Adapun bagi perguruan tinggi swasta, ada atau tidak ada UU PT sebetulnya tidak ada pengaruhnya. Secara umum, RUU PT tersebut sudah mengalami perbaikan signifikan dengan mengakomodasi usul-usul yang masuk.

Oleh: Darmaningtyas, Pengamat pendidikan

Membongkar Liberalisasi Dan Kapitalisasi


Rakyat tertindas! Rakyat disiksa dengan metode yang sistematis. Para pembuat kebijakan yang seharusnya melayani rakyat, dengan semena-mena justru merampas dan menginjak-injak hak rakyat melalui mekanisme legislasi. Kini, rakyat yang miskin, kurang gizi dan bodoh ini, tengah menantikan munculnya alat penyiksa baru yang akan memenjarakan mereka dalam kemiskinan dan kebodohan. Alat penyiksa itu tersusun dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Rancangan Undang-Undang (BHP) sebagai konsekuensi dari pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan segera diajukan ke DPR. Naskah tersebut kini berada di Sekretariat Negara dan proses pengajuannya ke DPR tinggal menunggu amanat dari Presiden. DPR sudah memasukkan RUU BHP ini menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007, sehingga ditargetkan 2007 selesai (Media Indonesia, 27/01/07). RUU ini mengatur badan hukum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jika di amati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Mansyur Ramly (Kompas, 03/10/06), menegaskan substansi RUU tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Pengelolaan PTN model privatisasi merupakan bentuk liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Pakar pendidikan, H.A.R Tilaar, menilai RUU BHP sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. “Jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan,” ujar H.A.R Tilaar (Tempo,12/4/2005). Menurut Tilaar, Pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pendidikan. Untuk melepaskan tanggung jawab tersebut, pemerintah memandang pentingnya otonomi pada perguruan tinggi. Pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi menjadi dasar pembentukan RUU BHP ini. Konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan Unair) pada perjalanannya akan senanfas dan “disempurnakan” oleh RUU BHP. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Dalam status BHMN, pemerintah masih bertanggung jawab walaupun BHMN diberikan otonomi sendiri untuk mengelolanya. Namun, ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka konsekuensinya adalah pemerintah melepaskan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya terhadap pihak pengelola pendidikan dan masyarakat itu sendiri.

Liberalisasi dan Kapitalisasi dalam RUU BHP
Nuansa privatisasi sebagai bentuk liberalisasi dan kapitalisasi semakin nyata di dunia pendidikan kita. Upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selaku ibu kandung RUU BHP, UU Sisdiknas menunjukkan adanya penurunan derajat “kewajiban” pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “”masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom”. Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. Contoh lain dari kapitalisasi dan liberalisasi yang terkandung dalam RUU BHP, misalnya dalam Pasal 2 RUU BHP, ada beberapa prinsip BHP yang kelihatannya manis namun penuh kebusukan. Seperti prinsip nirlaba, sebenarnya lebih cenderung menjadikan lembaga pendidikan seperti LSM/NGO. Dengan prinsip ini, PTN misalnya, akan mendapat dana dan program dari orang-orang Kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang cenderung mencari keuntungan. Hal ini sejalan dengan prinsip Partisipatif, masih dalam pasal yang sama, yaitu melibatkan “para pihak yang berkepentingan” dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama “para pihak yang berkepentingan”. Pihak yang berkepentingan (kapitalis) akan diberi kebebasan mengobok-obok pendidikan negeri ini. Prinsisp otonom, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, sehingga mampu menjalankan fungsinya secara kreatif. Sesungguhnya prinsip ini hanya akan membuka intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui Rektor. Selain itu, Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia”. Pasal ini memberikan kebebasan kepada sekolah internasional untuk beroperasi tanpa batas, dan disesuaikan dengan pemikiran dan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, proses sekularisme/liberalisme akan semakin subur dan bertambah cepat di negeri ini. Dalam RUU BHP, BHP memiliki Majelis Wali Amanat (MWA). MWA adalah lembaga tertinggi yang menetapkan dan mengesahkan kebijakan dalam BHP. Tentu, MWA ini akan gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba akan menjadi subur. Nuansa pengendalian kampus oleh pihak kapitalis semakin dikukuhkan dengan adanya aturan dalam pasal 10, ayat (8), yang mengharuskan ketua MWA berasal dari masyarakat (yang sejatinya para kapitalis),bukan dari pihak kampus. Bukan itu saja, menurut mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, SH, berbagai program pendidikan yang terkandung dalam BHP diduga merupakan proyek Dikti melalui IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaan program ini melalui pinjaman dari Bank Dunia yang tentunya, arah pendidikan bisa jadi bakal tidak selaras lagi dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia (Jawa Pos, 11/03.07). Dengan demikian, kita bisa melihat dengan jelas, BHP adalah perangkat undang-undang yang akan semakin memantapkan liberalisme dan kapitalisme di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara tak lagi berfungsi sebagai pelayan. Kapitalisasi, akan berimplikasi pada semakin mahal pendidikan. Pendidikan akan lebih berorientasi pasar, berpegang pada hukum supply-demand, dan cenderung berburu rente (rent seeking). Pendidikan hanya bisa diakses oleh kelompok bermodal. Orang miskin, akan tetap berada di tempatnya, terpenjara oleh kemiskinannya.

Jika Kurang dana, Jangan Jual Negeri Tercinta!
Pendidikan gratis untuk tingkat dasar saja, pemerintah belum sanggup. Apalagi untuk tingkat menengah dan tinggi. Hal ini ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4), (Kompas,18/04/05). Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), “Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat”. Inilah yang kemudian mendasari pemerintah untuk berlepas dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan nasional. APBN kita defisit. Anggaran pendidikan yang seharusnya 20 % APBN, ternyata hanya 9,1 % saja. Indonesia miskin di tengah limpahan kekekayaan alam. Sesungguhnya, negeri ini akan makmur jika pemerintahnya tidak tunduk dan mau menjadi budak para imperialis-kapitalis yang dikomandoi oleh AS dan konco-konconya. Tambang emas, batu bara, minyak bumi, hutan, kekayaan alam lainnya, jika tidak dipersembahkan kepada para penjajah, akan menjadikan kas negara surplus. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Pendidikan gratis di Indonesia bukanlah mimpi. Ini bisa terwujud tanpa harus menjual negeri kita kepada pihak asing dan para kapitalis.

Peran Negara dalam Pendidikan Umat
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis. Sudah saatnya seluruh kaum muslimin berbicara kepada penguasa di negeri ini, menyampaikan nasihat yang benar. Bahwa pendidikan seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah seseorang yang diberi jabatan mengurusi rakyat muslim lalu dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga darinya. (H.R. Bukhari dan Muslim) Mari Bergerak, Lawan Penindasan! Penindasan oleh kapitalisme global melalui bonekanya, yakni penguasa negeri ini, harus dilawan oleh rakyat dengan penuh keberanian.

Mari bergerak, lawan penindasan!
Kita bongkar setiap konspirasi busuk yang bertujuan menjajah negeri muslim. Sesungguhnya, bau busuk dari rencana jahat mereka akan segera terbongkar. Mari kita bersatu, dalam membumikan aturan Allah yang akan mampu memecahkan setiap persoalan. Totalitas hukum Allah dalam naungan Khilafah Islamiyah akan menjadi pembebas kita dari tangan-tangan penjajah. Janganlah kita buta mata, sehingga untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini saja, kita harus menjual negeri ini. Kembalilah kepada hukum Allah. Tidakkah kita mengetahui keagungan aturan Islam yang sempurna? Apakah kita lebih rela dijajah dengan aturan kapitalisme, daripada harus kembali pada Islam? Allah berfirman: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (TQS. al-Maidah [5]: 20).


Aroma Kapitalisasi Pendidikan dari RUU Perguruan Tinggi



 
Aroma Kapitalisasi Pendidikan dari RUU Perguruan Tinggi
Tribunnews.com/Herudin
TribunnersIlustrasi 





TRIBUNNEWS.COM - Demam RUU sepertinya sedang melanda negeri ini.  Belum hilang riuh rendah RUU KKG, publik sudah dikejutkan lagi dengan RUU PKS.  Dan teranyar, RUU Perguruan Tinggi (PT) juga kabarnya akan menuai banyak pro kontra.  Mengenang kembali terkait RUU PT sebelumnya, sebenarnya sudah di-judicial review oleh MK.Tak dapat dihindari, kembali mengudaranya RUU ini pun menuai spekulasi. 
Dalam UU BHMN yang telah lalu, terdengus anyirnya aroma kapitalisasi.  Bahwa sektor pendidikan pun akan diperdagangkan sangat telanjang dalam semangat undang-undang tersebut.Menilik draft terbaru RUU PT yang saat ini sedang digodok DPR, sangat disayangkan semangat itu ternyata tidak memudar. Semangat kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan hanya dibungkus dalam permainan kata.
Adapun tentang penolakan akan RUU PT ini, akhirnya juga setali tiga uang dengan alasan-alasan sebelumnya.  Bahwa arus globalisasi bukan sekedar semakin deras, namun akan menjadi tidak terbendung oleh kekuatan kita saat ini. Liberalisasi pendidikan tinggi hanya akan bermakna pembiayaan pendidikan tinggi akan dilepaskan dari tanggung jawab negara. 
Dan ini akan membentuk rantai makanan yang akan saling memangsa.  Negara lepas tangan berarti memaksa masing-masing perguruan tinggi untuk memeras otak mencari cara menemukan jalan pendapatan lain agar operasional pendidikan tetap mampu berjalan.  Cara yang paling lazim digunakan adalah ‘memangsa’ mahasiswa yang berada di tingkatan rantai makanan terbawah.  Kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. 
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pada hakikatnya pendidikan bukanlah semata-mata usaha seorang warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih bermartabat di masa yang akan datang, namun pendidikan menyentuh ranah yang jauh lebih luas dari itu.  Lewat pendidikan seseorang belajar tentang karakter dan kepribadian.  Lewat pendidikan juga seseorang belajar bagaimana bergaul di tengah-tengah masyarakat.  Lewat pendidikan juga seseorang belajar tentang benar salah, tentang kewajiban membela yang benar dan kewajiban mengingatkan yang salah, semuanya dipelajari lewat pendidikan.  Ketika akses menuju pendidikan itu sedemikian berat, apakah ini serupa dengan sengaja melakukan pembodohan bagi masyarakat?
Babak selanjutnya yang layak sedikit membuat gerah para aktivis pergerakan mahasiswa adalah adanya aroma rezim represif dalam rancangan undang-undang ini.  Meski tak secara eksplisit, namun jika kita meletakkan RUU intelejen sebagai awalan, kemudian RUU PKS yang bias, selanjutnya sekarang RUU PT yang menyinggung-nyinggung tentang menteri dan mahasiswa, maka rasanya tampak bahwa semua ini berada dalam satu garis yang saling terkait.  Akan semakin spekulatif jika pangkal garis ini kita mundurkan sedikit lagi ke peristiwa kerjasama komprehensif antara Indonesia dengan Amerika yang salah satu poin kerjasama itu adalah di sector pendidikan.  Apakah kita sedang menjelma menjadi wayang-wayang dengan biang kapitalis sebagai dalangnya?
Akhirnya RUU PT yang kembali mengudara ini, jangan pernah berikan kesempatan untuk kembali membumi. *

Hakikat Pendidikan Tinggi


25

05
2012

“Jangan Putuskan Harapan Mereka”, demikian yang ditulis oleh Yuliarti Rezeki, SE pada Rabu, 9 Mei 2012 01:13 wita di harian Bpost. Lebih jelasnya tulisan yang dikirim oleh warga Jalan Kelayan, Kelurahan Murung Raya Banjarmasin berbunyi.
Usai UN tingkat SMA dan sederajat banyak pelajar berharap dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan sejuta harapan dan impian mereka masuk perguruan tinggi. Namun harapan mereka sedikit terganjal karena sebagian perguruan tinggi mematok biaya relatif  mahal sesuai jalur seperti mandiri dan sebagainya. Mungkin alasan PT beragam kenapa hal demikan terjadi mulai dari subsidi silang antara mahasiswa kaya dengan yang kurang mampu, ataupun bantuan pemerintah kurang sedangkan biaya operasional sangat tinggi ataupun yang lainnya sehingga terciptalah jalur-jalur tersebut.Tapi alangkah bijaksananya sebuah PT, tidak menjadikan hal tersebut sebagai lahan  bisnis karena secara tidak sengaja mencetak generasi yang mengandalkan materi. Jangan putuskan harapan dan cita cita mereka hanya karena biaya yang Tinggi. (*)
Inilah fakta pendidikan di daerahku dan suara harapan akan kondisi yang lebih baik. Setelah mencoba mengamati, ternyata fakta mahalnya biaya masuk perguruan tinggi tidak hanya di Kalsel, tapi hampir di seluruh Indonesia. Melihat kenyataan ini semakin pilu hati ini. Maka mulai mengamati lebih jauh, apa penyebab kondisi yang menegara ini? Adakah jalan keluarnya? Sehingga harapan banyak orang dapat terwujud.

Hakikat Pendidikan Tinggi
Seperti yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, salah satu fungsi Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, perguruan tinggi sebagai badan pusat ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah sepatutnya menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang pada hakikatnya berorientasi pada terjaminnya hak-hak asasi warga negara dalam pemenuhan pendidikan dan keilmuannya. Namun, bagaimanakah format awal tujuan pendidikan yang diamendemenkan dalam RUU PT tersebut? Pada bagian “menimbang”, terlihat bahwa pendidikan tinggi memiliki peran yang strategis baik itu dalam pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ada satu hal pokok yang dirasa dapat menjadi blunder dalam pelaksanaan pendidikan tinggi tersebut, yaitu pelayanan pendidikan yang secara eksplisit diorientasikan pada daya saing bangsa dalam era globalisasi. Begitu baik visi pendidikan tinggi yang diarahkan pada daya saing bangsa, namun hal ini dapat menyimpang dari tujuan besar pelayanan pendidikan sesuai hakikatnya, yaitu pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara. Sebab, pada kenyataannya belum semua daerah di Indonesia dapat disetarakan kualitas pendidikan tingginya maupun kuantitas perguruan tingginya. Kita harus membenahi “pendidikan tinggi” itu sendiri, sebelum akhirnya menuju visi besar pendidikan tinggi sebagai daya saing bangsa pada era globalisasi.

Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik? Ya, segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang kami simpulkan dapat menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus. Kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan.

Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Dalam pasal 44 dan 45 Otonomi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Otonomi dalam artian mengelolah akademik (kurikulum, sistem pengajaran) dan non akademik (inftrastrutur, prasarana, keuangan) Sehingga tidak ada bedanya dengan UU BHP yang dibatalkan Mahkamah konstitusi subtasi sama kulitnya berbeda.  PTN dan PTN khusus berbadan hukum memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan non akademik (pengelolaan keuangan) seperti 9 PTN yang masuk bekas BHP  (UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dll). PTN dan PTN khusus mandiri memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan tidak memeliki wewenang mengelolah non akademik (keuangan). Termasuk PTN diluar bekas BHP.

Perananan Asing dengan membolehkan Perguruan Tinggi Asing berdiri di Indonesia
Dalam draft RUU PT ini, dijelaskan pula mengenai keterlibatan perguruan tinggi asing baik pendirian dan kerjasama dalam pendidikan tinggi di Indonesia (bab V, pasal 73 – 74). Pada dasarnya bisa menjadi masalah masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia, adanya transfer nilai yang negatif dari adanya perguruan tinggi asing akan menjadi buruk bagi mahasiswa terutama kurikulum sebagai software khususnya program studi politik, ekonomi, sosial, budaya, ideology merupakan hadarah walapaun kemajuan teknologi, MIPA tidak ada masalah dari transfer ilmu merupakan madaniyah tapi sisi riset merugikan pihak Indonesia sudah banyak kejadian penemuan teknologi khususnya bidang biologi, obat farmasi, pertanian, perikanan dipatenkan diluar negeri atas nama perguruan tinggi asing bahkan ada tidak mencantumkan lembaga pendidikan Indonesia. Namun hal ini kami sebut sebagai lampu kuning bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Berkaca dari adanya sekolah berstandar internasional setingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, secara filosofi ada beberapa tujuan pendidikan yang harus diatur dan dijamin oleh pemerintah melalui turunan undang-undang (PP atau Permen). Lampu kuning yang kami maksud adalah standard pendidikan asing yang berbeda dengan standard pendidikan Indonesia. Bukan standard dalam arti standard kualitas pendidikannya, melainkan standard filosofis penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan. Penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan sangatlah penting. Tidak hanya belajar sebagai investasi pribadi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, namun belajar sebagai investasi bangsa yang bertujuan memperkaya anak muda calon pemimpin bangsa, membangun bangsa, dan memakmurkan bangsa serta masyarakatnya di masa depan.
Fakta-fakta dan analisis di atas telah memberikan pandangan yang jelas bagi kita, bahwasanya pendidikan kita tengah menghadapi permaslahan yang kompleks, tidak hanya masalah mahalnya biaya masuk perguruan tinggi, tapi lebih parah lagi perguruan-perguruan tinggi yang mahal tersebut ternyata tidak menjanjikan akan mampu mewujudkan hasil yang signifikan dengan kemajuan dan kemandirian bangsa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa. Maka usaha untuk penyelesaiannya haruslah tersistematis.
Islam telah menjadi model pelaksanaan Negara dengan pendidikan yang mampu menjamin seluruh masyarakat Negara (warga Daulah Islam) baik Muslim maupun Nonmuslim untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Nah maka, jika Negara kita ingin mewujudkan cita-cita memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, Negara haruslah merujuk kepada cara pengurusan ummat sebagai mana yang dicontohkan oleh Daulah Islamiyah dulu.Wallahu’alam.

Kamis, 24 Mei 2012

PTS Tolak RUU PT

KOMPAS.com
Kamis, 24 Mei 2012 | 22:21 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggara perguruan tinggi swasta tetap keberatan dengan rencana pemerintah dan DPR, mengesahkan rancangan undang-undang tentang pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi swasta siap mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUUPT.
Payung hukum untuk PT ini dinilai justru terlalu mencampuri perguruan tinggi swasta, padahal sebenarnya yang dituju adalah mengatur perguruan tinggi negeri.
"Bagi perguruan tinggi swasta, pengaturan dalam UU Sisidiknas dan PP yang sudah ada, kami nilai sudah cukup. Adanya RUU PT yang bakal segera disahkan, justru mengancam keragaman PTS dan semakin mendiskriminasi. Karena itu, jika pemerintah dan DPR tetap bersikeras, kami siap membawa RUU PT nanti ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Thomas Suyatno, usai rapat pimpinan nasional pengurus pusat di Jakarta, Kamis (25/5/2012).
Menurut Thomas, pemerintah dan DPR sebaiknya tidak memaksakan membuat RUU PT. Jika pemerintah merasa tetap membutuhkan payung hukum bagi perguruan tinggi negeri (PTN) pascadibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan, sesuai dengan ketentuan yang ada bisa dibuat peraturan pemerintah soal PTN.
Thomas mengatakan, sesuai draf RUU PT yang terakhir, nantinya perlu diterbitkan sembilan PP dan 26 Permendikbud. Hal ini menunjukkan, negara justru terlalu mengatur PT, termasuk PTS.
Lebih lanjut Thomas mengatakan, ABPPTSI juga keberatan dengan otonomi yang dimaknai PTS lepas dari badan penyelenggaranya, seperti yayasan. Sebab, PTS dan badan penyelenggaranya merupakan satu kesatuan (entity).
"Kalau untuk otonomi akademik menyelenggarakan Tri Dharma PT, itu memang kami dukung penuh untuk dilaksanakan PTS. Tetapi untuk otonomi nonakademik seperti pengelolaan keuangan, pencarian sumber dana, pengangkatan pegawai, tetap merupakan kewenagan dari badan penyelenggara," kata Thomas.
Dalam pandangan ABPPTSI, payung hukum untuk PT cukup berbentuk PT. Jika dibutuhkan bagi PTN, bisa membuat PP khusus untuk PTN. Menurut Thomas, keberatan PTS ini segera disampaikan pada panitia kerja RUU PT. Jika pemerintah bergeming, PTS siap untuk kembali mengajukan keberatan lewat Mahkamah Konstitusi, seperti halnya UU BHP.


Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/24/2033442/PTS.Tolak.RUU.PT

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tangsel Tolak Liberalisasi Pendidikan

Pendidikan - Selasa 10 April 2012 20:34

TANGSEL - Dalam Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), disebutkan bahwa pendanaan dan pengelolaan PT diserahkan kepada pihak universitas dengan dalih otonomi kampus sebagaimana dimaksud Pasal 48 Ayat 1 serta Pasal 50 Ayat 1 dan 3. IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Cabang Kota Tangerang Selatan (Tangsel), menilai dengan adanya ketentuan tersebut akan muncul penetapan biaya pendidikan oleh Rektor yang akan tinggi!

Hal tersebut dikatakan Ketua IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Kota Tangsel, Andy Wiyanto melalui rilis kepada Bantenpost, Selasa (10/04). Menurutnya IMM mensinyalir adanya upaya pemerintah untuk melepas tanggungjawab membiayai pendidikan. Hasil akhirnya adalah privatisasi dan bisnis pendidikan! RUU PT tak lebih dari Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memberi kebebasan kepada pengelola perguruan tinggi mencari dan mengelola keuangan.

“Pengesahan RUU memberi celah akan biaya pendidikan perguruan tinggi yang semakin mahal sehingga tidak terjangkau mahasiswa dari keluarga miskin! Negara seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa!,” tegas Andy.

IMM juga mencermati bahwa RUU PT sebagai upaya liberalisasi pendidikan dengan berkedok Sekolah Standar Internasional. RUU PT memuat semangat liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Ini bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat!

Masih menurutnya, selain itu, Pasal 89 ayat 1 menegaskan bahwa perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI. Secara alamiah, akan banyak peminat dari masyarakat Indonesia untuk berkuliah di PT yang diselenggarakan oleh asing. Maka dengan adanaya pasal ini, dapat membuat ketidakseimbangan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia!

“IMM berpendapat bahwa pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara persaingan bebas. Persaingan bebas justru akan merugikan bila tidak proporsional antara kebebasan dengan sumberdaya yang ada. secara sederhana bisa dipahami “siapa kuat, dia yang menang”!,” paparnya.

“Kami (IMM) juga berpandangan bahwa dengan adanya kehadiran perguruan tinggi asing, karakter pendidikan Indonesia dan kearifan lokalnya akan terancam. Pemerintah seharusnya menciptakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945!,” pungkas Andy. (TRYZIE)


IMM Tangsel Nilai RUU Perguruan Tinggi Sulitkan Mahasiswa Miskin

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) cabang Tangerang Selatan (Tangsel) menilai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) akan menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi jadi meningkat.

Sebab pihak kampus akan berdalih bahwa biaya yang mereka tetapkan merupakan otonomi kampus sebagaimana diatur dalam pasal 48 Ayat 1 serta pasal 50 Ayat 1 dan 3 undang-undang tersebut.

“IMM Cabang Tangerang Selatan mensinyalir adanya upaya pemerintah untuk melepas tanggung jawab membiayai pendidikan. Hasil akhirnya adalah privatisasi dan bisnis pendidikan! RUU PT tak lebih dari Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memberi kebebasan kepada pengelola perguruan tinggi mencari dan mengelola keuangannya,” papar Ketua Umum IMM Tangsel, Andy Wiyanto dalam rilisnya.

Dikatakan jika RUU ini disahkan maka memberi celah pada perguruan tinggi untuk menaikkan biaya pendidikan sehingga akan menyulitkan mahasiswa dari keluarga miskin!

IMM Cabang Tangsel juga menilai bahwa RUU PT sebagai upaya liberalisasi pendidikan dengan berkedok Sekolah Standar Internasional. RUU PT memuat semangat liberalisasi dan komersialisasi pendidikan dan sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat. Maka IMM Tangsel akan menolak pemberlakuan UU tersebut. (w-2)

Liberalization of Higher Education in Law, It’s Real!

Penyusun tulisan: Feni Endah

a) Kritik Atas Pasal UU PT

• Sekularisasi Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 10 ayat 2 tertera mengenai rumpun ilmu, rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas:
a. ilmu agama;
b. ilmu humaniora;
c. ilmu sosial;
d. ilmu alam;
e. ilmu formal; dan
f. ilmu terapan.

Terpisahnya agama dari ilmu lainnya dan menjadi satu disiplin ilmu tersendiri menunjukan agama tidak diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukan pemisahan agama dari kehidupan pendidikan, sekulerisme dunia pendidikan telah nyata tercantum dalam konstitusi negara.
• Infiltrasi Asing melalui perjanjian
Pada pasal 50 tercantum mengenai pembukaan Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi, berikut beberapa ayat mengenai hal tersebut:
(1) Kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada prinsip bebas aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang saling memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pada Pasal 94 berbunyi,
(1) Perguruan Tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Indonesia begitu membuka lebar jalan bagi asing untuk menanamkan pengaruhnya melalui pendidikan, bahkan menggunakan prinsip bebas aktif, tolerasndi dan saling menghormati, yang mengindikasikan bahwa Indonesia bersedia digempur asing secara aqliyah maupun nafsiyah.
• Pendidikan diprioritaskan untuk orang kaya
Pada Pasal 77 tertera ayat sebagai berikut,
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.
Pada Pasal 79:
(1) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pemerintah hanya memberikan jatah, minimal 20% bagi rakyat miskin yang memiliki yang memiliki potensi akademik tinggi, sisanya orang miskin tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini pun disampaikan oleh salah satu anggota DPR, Tubagus Dedi S Gumelar mengenai anak keluarga miskin, menurutnya tidak semua anak pantas masuk ke universitas atau perguruan tinggi. “harus diseleksi pantas nggak anak itu, kalau disuruh bikin jurnal bakalan repot kalau dia tidak suka membaca, menulis, dan berpikir”
Bahkan dalam pasal 79 ayat 2 bagian c, mahasiswa dipinjamkan dana untuk membiayai pendidikan oleh pemerintah/perguruan tinggi, namun wajib melunasinya setelah lulus. Ironi, warganegara disuruh berutang kepada negaranya, yang seharusnya negara melindungi dan memberikan fasilitas pendidikan kepada warganegaranya, bukannya malah membebankan.
• Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 88:
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi.
(2) Pendanaan pendidikan tinggi yang diperoleh dari peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. persembahan kasih;
e. kolekte;
f. dana punya;
g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h. dana abadi pendidikan tinggi; dan
i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 90:
(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 91:
Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Perguruan Tinggi berubah orientasi menjadi wahana bisnis, bahkan pemerintah sendiri yang mendorong untuk pengembangan bisnis. Perguruan Tinggi menjadikan fasilitas kampusnya dikomersialisasi, bahkan membuka arena perdagangan di kampus. Sumber dana lainnya bisa didapatkan dari MoU dengan pihak luar untuk mendapatkan dana, yang berujung pada perguruan tinggi harus memenuhi kepentingan dari pihak yang diajak kerjasama. Selain itu dengan pemasukan dana dari orang tua mahasiswa yang nominalnya naik setiap tahun, tentu menambah kas perguruan tinggi. Mahalnya biaya pendidikan tinggi bukanlah penghakiman sepihak, tapi ini adalah realitas yang terjadi di perguruan tinggi.
• Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV UU PT tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik adalah segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang dapat disimpulkan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku.
Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar adalah pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus.
Kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan

b) Pemerintah Mewujudkan Agenda Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services (GATS) oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Liberalisasi pendidikan tinggi bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Hal ini terjadi karena pendidikan telah menjadi jasa komersil yang memiliki prospek menguntungkan, maka proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan.
UU PT akan membuat kampus seperti pabrik, pendidikan sebagai komoditas, dan mahasiswa hanyalah konsumen sekaligus korban, maka tidak selayaknya pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan pemerintah. Sehingga berujung pada output pendidikan tinggi yang berorientasi pada materi, dan bagi yang tidak mengenyam pendidikan hanya akan menjadi buruh-buruh yang dihargai murah, sehingga pendidikan dalam sistem kapitalisme hanya membuat generasinya mengalami pembodohan sistematis.

c) Islam Menyelesaikan Tuntas Problematika Liberalisasi Pendidikan

Permasalahan liberalisasi pendidikan akan dialami dalam sebuah sistem yang berorientasi pada kapital, yaitu sistem kapitalisme yang kini diemban oleh negeri Indonesia. Pendidikan tinggi dalam sistem kapitalisme terbatas hanya kalangan menengah ke atas, sehingga akan terjadi ketimpangan sosial. Pendidikan terkena imbas dari sebuah sistem yang diterapkan negara, karena pendidikan adalah bagian dari penggerak pilar sistem, termasuk implikasi pada pendidikan tinggi dari UU PT yang sudah disahkan oleh anggota legislatif.
Pengelolaan pendidikan tinggi membutuhkan sebuah paradigma baru yang jauh dari diskriminasi orang kaya dan miskin, juga terhindar dari sekularisasi. Penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan tinggi merupakan kewajiban pemerintah,seperti yang tertera dalam hadits, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Al Bukhari).

Negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963) . Pengelolaan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang berideologikan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah. Dimana negara khilafah Islam ini berbasiskan ‘aqidah Islam, dan memiliki seperangkat aturan dari Sang Kholik, yang tersusun rapi dalam al-qur’an dan as-sunnah. Begitupun masalah pengelolaan pendidikan tinggi, syari’at Islam telah mengatur hal tersebut.

Pengelolaan pendidikan dalam Islam memiliki karakteristik yang khas, seperti:
1. Pendidikan Bagi Siapa Pun
Tidak ada batasan usia dalam pendidikan Islam, dan pendidikan dapat diakses oleh siapapun yang menjadi warga Negara Khilafah Islam, tanpa memandang kaya-miskin, tua-muda, Muslim-kafir.
2. Sistem Pendidikan Islam Tidak Berorientasi Pada Nilai Angka/Berujung pada Materi
Pencapaian target pendidikan tidak dilihat dari nilai angka. Seseorang dapat dinyatakan lulus jika telah menguasai ilmu yang telah dipelajarinya. Ujian dilakukan secara lisan. Saat ini di sistem kapitalisme pendidikan berorientasi pada nilai dan materi, karena pendidikan untuk pekerjaan. Hal ini wajar, karena negara tidak mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga wargenegara kapitalis melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan dalam Islam, negara berkewajiban mengelola sumber kebutuhan pokok warganegaranya dan didistribusikan secara gratis.
3. Pembiayaan Pendidikan Islam Gratis
Pendidikan dalam Islam diselenggarakan oleh Negara dengan gratis, sehingga dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Negara membiayai pendidikannya dari hasil SDA yang melimpah ruah. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990)
Khilafah Islam mampu menopang biaya pendidikan tinggi, negaralah yang menjadi tumpuan ummat, bukan asing, atau banting tulang orang tua hingga menghalalkan segala cara. Dengan menerapkan syari’at Islam pendidikan tinggi memiliki prospek yang cemerlang, baik dari kualitas generasi, maupun pembiayaan pendidikan.
Wallohu’alam bishowab.