lennon

lennon

Rabu, 23 Mei 2012

Kala Perguruan Tinggi Diperdagangkan

RUU Perguruan Tinggi dinilai berpotensi menjadikan pendidikan sebagai bahan dagangan dan membuka peluang liberalisasi. Ditolak karena tak berpihak pada rakyat miskin.

Mahasiswa berunjukrasa menolak RUU Perguruan Tinggi di Tol Reformasi Makassar, Sulsel.
Ruang sidang paripurna DPR siang itu tampak ramai. Sekitar 450 anggota dewan memenuhi ruang sidang yang terletak di lantai tiga gedung Nusantara Dua tersebut. Mereka berkumpul pada Kamis dua pekan lalu itu untuk mengesahkan sejumlah Rancangan Undang-Undang, termasuk RUU Perguruan Tinggi yang dikecam banyak orang. Tapi atas permintaan pemerintah, DPR batal mengesahkan RUU kontroversial itu.
Penundaan ini tak membuat penentang RUU lega. Faldo Maldini, 21 tahun misalnya. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) ini tetap menyatakan menolak pengesahan RUU yang menurutnya tidak berpihak pada rakyat miskin dan dunia pendidikan itu. “Kita, atas nama BEM UI, menolak draft terakhir 4 april 2012. Sebab ruh-ruh badan hukum dan otonomisasi dalam bidang keuangan masih ada,” katanya. Ia menambahkan, kampus merupakan lembaga pendidikan, bukan lahan bisnis seperti membuat departement store atau ventura- ventura yang bisa mendatangkan keuntungan.
Mencontohkan Faldo, sepuluh tahun terakhir sejak UI ditetapkan sebagai badan hukum ada berbagai macam pungutan. Mulai dari uang pangkal hingga bermacam-macam cara untuk mendapatkan fulus. “Di UI itu mahasiswa rata-rata menengah ke atas, dan itu berdampak sekali terhadap mental mahasiswa. Orang kalau bayar mahal kan mikirnya bagaimana kuliah cepat selesai, terus bekerja. Mereka lebih apatis, nggak memikirkan yang lain,” papar mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ini. Jika RUU Perguruan Tinggi ini akhirnya disahkan, akan membuat biaya kuliah semakin mahal.
RUU Perguruan Tinggi disusun sejak awal tahun lalu, untuk menggantikan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. RUU ini merupakan inisiatif DPR dan mulai dibahas sejak April tahun lalu. Kendati masih dalam proses, RUU ini sudah menuai banyak kritik. Banyak kalangan menganggap RUU ini membuka ruang komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.
Pengamat pendidikan asal Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Said Hamid Hasan, mengatakan RUU tersebut tidak memiliki spirit perguruan tinggi dan hanya mengatur soal manajemen dan struktur. Selain itu, masih ada pasal-pasal yang sama dengan regulasi sebelumnya yang membolehkan kampus berbisnis. Karena itu, tandas Said, RUU Perguruan Tinggi tak menjamin kualitas pendidikan tinggi semakin baik. RUU Perguruan Tinggi juga belum mengatur secara tegas kewajiban pemerintah memberikan dana kepada mahasiswa tak mampu.
Sependapat dengan Said, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan RUU Perguruan Tinggi tidak hanya membuat kampus menjadi ladang jual beli, tapi juga berpotensi meliberalisasi pendidikan di tanah air. Sebab dalam Bab VI Pasal 94 draft RUU per April 2012 disebutkan perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal kata Darmaningtyas, “pendidikan bangsa harus dikelola sendiri, tidak boleh diserahkan kepada bangsa lain.”
Keberatan juga disampaikan Rektor Universitas Diponegoro Sudarto P Hadi. “Pendidikan tidak boleh menjadi komoditas yang masuk dalam organisasi perdagangan dunia. Sebab implikasinya, asing hanya membuka program studi yang laku, seperti komputer dan bisnis. Padahal Indonesia masih butuh ilmu-ilmu lain untuk membentuk karakter bangsa,” ujar Sudarto.
Soal penolakan ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso membantah bahwa RUU Perguruan Tinggi hendak meliberalisasi pendidikan. Menurut dia, asing tak bisa begitu saja mendirikan kampus di Indonesia karena harus memenuhi sejumlah syarat terlebih dulu. Djoko juga menolak tudingan bahwa RUU Perguruan Tinggi hanya akal-akalan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab pendanaan. Setali tiga uang dengan Djoko, anggota panitia kerja RUU Perguruan Tinggi DPR, Raihan Iskandar, menjamin RUU ini berbeda dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Tapi apapun dalih pemerintah dan DPR, mahasiswa tampaknya tak terpengaruh. Mereka tetap akan menolak RUU itu, bahkan mengancam akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi jika RUU itu akhirnya disahkan.
Mustakim | Rubayyi Astari | Agus Hariyanto

Sumber: http://www.prioritasnews.com/2012/05/22/kala-perguruan-tinggi-diperdagangkan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar