lennon

lennon

Rabu, 23 Mei 2012

Membuka Sandiwara Berkedok PT Korporatisme

Oleh : R.S. Kartaatmadja

"Yassiruu walaa tu'assiruu, wa bassyiruu walaa tunaffiruu." Arti: "Permudahlah jangan dipersulit. Senangkan terhadap kebaikan, jangan buat mereka lari." ~HR. Muttafaq 'alaih~


Menara gading kian menjulang, tak kunjung terlihat ujung moncong dan tak lekang oleh waktu. Setiap musim berganti, namun suar-suar merdu suara kicauan Dosen dan teriakan legam mahasiswa terus beriringan. Kehidupan kampus salah satu “prestige” kaum intelektual dalam kancah pertarungan hidup dan mati berburu gelar. Dibalik itu semua ada sebuah ironi perjalanan kelam pendidikan bangsa ini, dunia seakan tercengang ketika mengetahui tingginya angka putus sekolah di Indonesia mulai dari jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Peringkat Indonesia dalam rilis yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO), mengalami penurunan. Indeks pembangunan pendidikan Indonesia dalam EFA Global Monitoring Report 2011, peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Gelar itu MahalBergelar tak semudah membalikkan telapak tangan, semua didapatkan dengan uang, keringat dan tumpahan darah. Penerapan sistem pendidikan kapitalisme pastinya akan menghasilkan generasi yang materialistik, individualistik dan konsumeristik. Kapitalisme selalu mengukur segala sesuatu dengan materi, tidak peduli apakah itu dunia pendidikan atau bukan. Menjadikan kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar. Sehingga muncul istilah “orang miskin dilarang sekolah!” Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Maret 2011, terdapat 30,02 juta orang miskin atau hanya turun 1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan jelas menjadi momok dalam dunia pendidikan. Bahkan, Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Anak-anak putus sekolah usia SD dan yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya. Rata-rata karena faktor ekonomi. Ada anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan biaya. Ya. Kemiskinan yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Terkadang kita hanya membuat impian semu dalam realita indah akan janji pendidikan dalam sebuah potongan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : … "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…Dalam sebuah perjalanan pendidikan perguruan tinggi, ratusan ribu setiap tahunnya, siswa berubah nama menjadi Mahasiswa, namun lebih banyak yang mengalami dekadensi arah dibandingkan penambahan gelar. “Hidup Mahasiswa” saja hari ini sudah mulai ditinggalkan perlahan oleh para pelopor dan pengembannya. Sehingga berganti wajah menjadi “Hidup nilai A”. Pembohongan, bahkan bisa dibilang menghianati penguasa kepada rakyat dalam sebuah bangsa yang semakin ironi dengan bergelar kebodohan, dengan menanamkan sistem busuk ini. Dan harga yang mahal harus dibayar dengan semakin menjalar dan menyebar virus buta huruf dan aksara sebagai pondasi dari membaca dan menghitung, karena dengan membaca berarti kita membuka jendela dunia.Undangan PalsuUndang-undang hanya sekedar coretan anak baru di Sekolah Dasar (SD), bualan atas sempalan nama dan jabatan menjadi bumbu racikan terbentuknya sebuah celotehan yang dituangkan dalam “oretan”. Penuh makna, yaitu berbagai warna liberalisasi pendidikan mewarnai gambar, garis lengkung kapitalisme tanpa tegak keadilan memenuhi bingkai lukisan. Siapa lagi gerangan Sang Pelukis kalau bukan seniman (senang “nipu” teman-red). Dari mulai muncul UU BHP ditahun 2008 (didalam RUU PT disebutkan dalam pasal 77)  berbunyi : ” PTN wajib mencari dan menjaring  calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang  mampu secara  ekonomi untuk diterima paling  sedikit 20% (dua  puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebarpada semua Program Studi”, tahun 2010, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU BHP, maka telah dibuat beberapa draft RUU PT dengan berbagai perubahannya, baik itu yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah. Kritik ini mengacu pada draft keempat RUU PT, tertanggal 6 Juni 2011, yang sudah direvisi oleh komisi X DPR RI yang diajukan oleh pemerintah yang April 2012 akan mensahkan RUU PT walaupun mengalami penundaan dengan alasan penyempurnaan RUU tersebut. Jika tidak ada kritik yang signifikan atas RUU Pendidikan Tinggi saat ini, bisa dipastikan episode “kelam” UU BHP akan terulang kembali.Liberalisasi dalam RUU PT Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut, termasuk sektor pendidikan tinggi, arus globalisasi menjadi kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.Masuknya proses globalisasi itu sendiri tak serta merta berdampak positif. Liberalisasi pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Dalam Rancangan UU Pendidikan Tinggi kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan ternyata masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih saja memuat beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan. Sebagai contoh, di pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi tiga jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat “liberalisasi” dalam pembiayaan. Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h). Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa (pasal 90), pemerintah memiliki opsi yang cukup aneh, yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2 huruf c). Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan bunga (ayat 3) dan dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan. Jelas, klausul ini melegitimasi kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan sebagai tanggung jawab negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini mengajarkan warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2), pendidikan adalah hak rakyat.Secara sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek pendidikan agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana dikehendaki UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru membuat warga negara “berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga negara.Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi dalam konteks semangat kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan tinggi. Perihal InternasionalisasiBab berikutnya yang cukup bermasalah adalah internasionalisasi pendidikan tinggi yang diatur dalam dua pasal: Pasal 58 dan 59. Pasal 58 mengatur tentang internasionalisasi yang berisi peningkatan peranan pendidikan tinggi Indonesia di kancah internasional, sementara pasal 59 mengatur kerjasama internasional. Di pasal 58 ayat (2), internasionalisasi dilakukan dengan integrasi dimensi internasional dan lintas budaya dalam kegiatan akademik. Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi akan diatur dalam peraturan menteri (ayat 4). Sementara itu, arahan kebijakan nasional tersebut akan setidaknya memuat beberapa hal, antara lain pembentukan komunitas ilmiah, pemberian wawasan internasional, dan pemajuan nilai-nilai budaya bangsa (ayat 6).Adapun pasal 59 menjelaskan bahwa kerjasama internasional dalam bidang pendidikan dilakukan melalui pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pengembangan pendidikan tinggi, dan bidang lain yang menjadi kepentingan nasional (ayat 3). Kerjasama tersebut dapat mencakup kegiatan pendidikan bergelar atau non-gelar (ayat 4), dan dilakukan bersama-sama perwakilan Indonesia di luar dan dalam negeri. Perspektif mengenai kerjasama internasional bisa dilihat secara positif sebagai pengembangan mutu pendidikan dalam negeri. Mobilitas mahasiswa Indonesia ke luar negeri menjadi lebih mudah, seperti dalam hal beasiswa atau pembiayaan riset.Akan tetapi, ada satu hal yang perlu dikritisi: internasionalisasi harus dibaca sebagai alat untuk encountering globalization. Perspektif mengenai globalisasi harus diulas. Dalam perspektif transformasionalis, internasionalisasi harus dibaca sebagai alat untuk menghadapi globalisasi dengan memajukan budaya lokal dan nasional.Sementara itu, dalam perspektif hiperglobalis, internasionalisasi justru dimaknai sebagai upaya memproteksi budaya lokal dan nasional agar tahan menghadapi gempuran budaya asing. Perspektif ini mengimplikasikan adanya kebijakan pendidikan yang menitikberatkan pada pemeliharaan budaya lokal dan nasional untuk menghadapi globalisasi.Artinya, dalam melihat kebijakan internasionalisasi sebagaimana diatur dalam pasal 58 dan 59 ini, perlu ada tools yang jelas ke arah mana RUU ini akan bergulir. Sayangnya, internasionalisasi hingga saat ini belum dibaca sebagai alat dalam meng-encounter globalization.Jika dilihat lagi secara lebih seksama, ada satu pasal lagi yang sangat gamblang menjelaskan posisi internasionalisasi dalam RUU PT ini: pasal 114. Di pasal ini, perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (ayat 1). Prosesnya dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi Indonsia dan mengangkat dosen serta tenaga kependidikan dari warga negara Indonesia (ayat 2), Pasal ini terkesan “menipu” sebab berada terpisah dari pasal lain mengenai internasionalisasi. Padahal, justru substansi dari internasionalisasi terdapat pada pasal ini. Dengan “boleh”-nya perguruan tinggi negara lain masuk ke Indonesia tanpa ada “filter kultural”, internasionalisasi menjadi unsteerable juggernaut travelling through space, seperti kata Anthony Giddens. Pendidikan akan menjadi tak terkontrol dari segi etik-budaya dan Islam.Justru, konstruksi UU mengamini globalisasi secara utuh tanpa cara pandang yang jelas. Hal ini terlihat dari tidak jelasnya upaya memproteksi budaya bangsa dalam pendidikan tinggi. Hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan besar dalam ranah diskursus liberalisasi pendidikan tinggi, GATS, dan upaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas.Korporatisme Menteri?Hal lain yang perlu dikritisi dari RUU Pendidikan Tinggi adalah kewenangan menteri yang terlalu besar. Hampir seluruh BAB di RUU PT diakhiri dengan “ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri”, termasuk mengenai mahasiswa, pelaksanaan tridharma, dan lain-lain.Ada 3 pasal yang mengatur spesifik mengenai mahasiswa, yaitu pasal 14 tentang posisi mahasiswa sebagai sivitas akademika, pasal 15 tentang kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta pasal 91 tentang organisasi kemahasiswaan. Pasal 15 menyebutkan bahwa kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan (penjelas, ayat 2), sementara peraturan mengenai kegiatan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan diatur lebih lanjut dalam AD/ART Organisasi (pasal 91 ayat 6). Tiga pasal di sini tumpang tindih satu sama lain. Mana yang bisa dijadikan acuan, Peraturan Menteri yang baru atau AD/ART Ormawa? Jika yang diacu adalah peraturan menteri, bagaimana cara melakukan penyeragaman di semua organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Artinya, klausul mengenai peraturan menteri di Pasal 15 akan memberi kerumitan sendiri dalam pelaksanaannya.Kritik utama dari RUU PT adalah kewenangan menteri yang terlalu besar. Semua urusan, termasuk dalam hal kemahasiswaan, diserahkan kepada menteri. Adanya peraturan menteri yang mengatur posisi mahasiswa bisa menjadi bentuk “korporatisme” negara atas posisi kemahasiswaan.Adanya peraturan menteri mengenai mahasiswa bisa dibaca sebagai bentuk “korporatisme baru” atas aktivitas mahasiswa. Ini mengingatkan kita pada bentuk “korporatisme lama” dalam bentuk NKK/BKK. Korporatisme berpotensi melahirkan represi negara atas warganya, yang mana akan sangat bertentangan dengan kebebasan sipil dan politik mahasiswa.Seluruh elemen kemahasiswaan, tak terkecuali BEM, Pers Mahasiswa, UKM, maupun gerakan mahasiswa ekstrakampus harus mewaspadai hal ini. Jika RUU PT lolos di parlemen, dampaknya akan fatal bagi aktivitas kemahasiswaan Indonesia.Statuta Perguruan Tinggi Dan Majelis Pemangku.Pada Bab IV Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 67 dan pasal 68, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik? Ya, segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan. Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut, serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik. Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang dapat disimpulkan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (pasal 93), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus. Apalagi, yang kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan. Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Otonomi dalam artian mengelolah akademik (kurikulum, sistem pengajaran) dan non akademik (inftrastrutur, prasarana, keuangan) Sehingga gak bedanya dengan UU BHP yang dibatalkan Mahkamah konstitusi subtasi sama kulitnya berbeda.  PTN dan PTN khusus berbadan hukum memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan non akademik (pengelolaan keuangan) seperti 9 PTN yang masuk bekas BHP  (UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dll). PTN dan PTN khusus mandiri memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan tidak memeliki wewenang mengelolah non akademik (keuangan). Termasuk PTN diluar bekas BHP.Menilisik Si landbouw-InstituutJika kita dapat melihat lebih dalam, tentang keberadaan kampus kita yang tercinta ini masih “abu-abu”. Menurut analisa, baru-baru ini dari 9 PT yang ada diatas telah rampung tiga diantaranya dengan keluarnya SK dari menteri terkait status PT tersebut mengikuti RUU PT. Namun, yang menjadi pertanyaan kecil dalam kepala kita, Kenapa plat nomor kendaraan pejabat kampus ini mengalami perubahan warna, yang tadinya merah (pemerintah-red) menjadi hitam (pribadi-red)?o.O!.Sandiwara apalagi yang terjadi disini, kedok apa lagi yang dijadikan label kekuasaan. Dugaan menjadi semakin kuat dengan hadirnya bangunan baru yang menghiasi sekeliling lingkungan internal yang terhenti tiba-tiba. Dan setelah diketahui pembangunan seluruh bangunan ini tidak memakai AMDAL, seolah kejar target dan terkesan terburu-buru. Mungkin sudah banyak forum-forum kajian yang diadakan untuk memberikan penjelasan singkat terkait hal ini, yang menjadi poin penting adalah liberalisasi disini sudah tampak jelas, kepemilikan modal dan pengelolaan otonomi berdasarkan pemegang modal yang mungkin menempatkan perwakilannya di Majelis Pemangku. Dimulai dengan alih fungsi sarana lahan pendidikan yang dijadikan wahana (mall dan hotel-red), lalu tempat tinggal mahasiswa yang mengalami transformasi menjadi wahana yang sama. Sudah cukup terlihat bukti data empiris, sungguh orang miskin tidak memenuhi kuota menemukan secercah ilmu. Inilah sistem pendidikan Kapitalisme, dunia pendidikan kita dikomersilkan dan menjadi ajang bisnis yang subur. Sungguh kompleks dampak penerapan sistem Kapitalisme ini. Kepribadian mahasiswa dilaburkan hanya demi meraup keuntungan.Seharusnya pendidikan memiliki tujuan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, memiliki karakter, menguasai sains teknologi dan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan hanya bisa diwujudkan melalui sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam memang bertujuan untuk mewujudkan hal itu. Tujuan itu akan diejawantahkan dalam semua rincian sistem pendidikan. Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya. Karena itu keimanan dan ketakwaan juga akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik. Halal haram akan ditanamkan menjadi standar. Dengan begitu anak didik dan masyarakat nantinya akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaannya. Dengan semua itu, Pendidikan Islam akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah; mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan.Ketika hal itu disandingkan dengan materi sains, teknologi dan keterampilan, maka hasilnya adalah manusia-manusia berkepribadian Islam sekaligus pintar dan terampil. Kepintaran dan keterampilan yang dimiliki itu akan berkontribusi positif bagi perbaikan kondisi dan tarap kehidupan masyarakat.Untuk mewujudkan semua itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Daulah Islamiyah wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Membangun gedung-gedung sekolah dan kampus, menyiapkan buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta memberikan tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar. Dengan dukungan sistem Islam lainnya khususnya Sistem Ekonomi Islam maka hal itu akan sangat mudah direalisasikan.Melengkapi semua itu, Islam juga mewajibkan para orang tua untuk mendidik anak dengan pendidikan Islam. Allah berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا …]Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka... [ (QS. at-Tahrim [66]: 6).Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib k.w menjelaskan ayat tersebut, yaitu: Sedangkan Qatadah berkata: “dia menyuruh mereka mentaati Allah, melarang mereka dari bermaksiyat kepada Allah, mengurus mereka sesuai perintah Allah, menyuruh dan membantu mereka atasnya. Dan jika engkau melihat kemaksiyatan kepada Allah maka engkau cegah dan larang mereka darinya”. Dengan sistem pendikan Islam itu akan lahir generasi yang beriman, bertakwa dan berkeribadian Islam sekaligus menguasai sains dan teknologi, pintar dan terampil. Generasi yang akan senantiasa memperhatikan kondisi umat, terus menerus berusaha memperbaiki umat dan mewujukan kebaikan dan perbaikan di tengah umat dalam segala aspek kehidupan.Semua itu hanya bisa terwujud dengan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh. Tentu hal itu hanya bisa dalam naungan sistem al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang diperintahkan oleh Allah dan diberitakan oleh Rasulullah saw akan tegak kembali. Namun yang penting kita harus melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan untuk mewujudkannya sebagai bukti keimanan kita dan bekal kita menghadap Allah di Hari Akhir nanti. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar