lennon

lennon

Kamis, 24 Mei 2012

Liberalization of Higher Education in Law, It’s Real!

Penyusun tulisan: Feni Endah

a) Kritik Atas Pasal UU PT

• Sekularisasi Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 10 ayat 2 tertera mengenai rumpun ilmu, rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas:
a. ilmu agama;
b. ilmu humaniora;
c. ilmu sosial;
d. ilmu alam;
e. ilmu formal; dan
f. ilmu terapan.

Terpisahnya agama dari ilmu lainnya dan menjadi satu disiplin ilmu tersendiri menunjukan agama tidak diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukan pemisahan agama dari kehidupan pendidikan, sekulerisme dunia pendidikan telah nyata tercantum dalam konstitusi negara.
• Infiltrasi Asing melalui perjanjian
Pada pasal 50 tercantum mengenai pembukaan Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi, berikut beberapa ayat mengenai hal tersebut:
(1) Kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada prinsip bebas aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang saling memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pada Pasal 94 berbunyi,
(1) Perguruan Tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Indonesia begitu membuka lebar jalan bagi asing untuk menanamkan pengaruhnya melalui pendidikan, bahkan menggunakan prinsip bebas aktif, tolerasndi dan saling menghormati, yang mengindikasikan bahwa Indonesia bersedia digempur asing secara aqliyah maupun nafsiyah.
• Pendidikan diprioritaskan untuk orang kaya
Pada Pasal 77 tertera ayat sebagai berikut,
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.
Pada Pasal 79:
(1) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pemerintah hanya memberikan jatah, minimal 20% bagi rakyat miskin yang memiliki yang memiliki potensi akademik tinggi, sisanya orang miskin tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini pun disampaikan oleh salah satu anggota DPR, Tubagus Dedi S Gumelar mengenai anak keluarga miskin, menurutnya tidak semua anak pantas masuk ke universitas atau perguruan tinggi. “harus diseleksi pantas nggak anak itu, kalau disuruh bikin jurnal bakalan repot kalau dia tidak suka membaca, menulis, dan berpikir”
Bahkan dalam pasal 79 ayat 2 bagian c, mahasiswa dipinjamkan dana untuk membiayai pendidikan oleh pemerintah/perguruan tinggi, namun wajib melunasinya setelah lulus. Ironi, warganegara disuruh berutang kepada negaranya, yang seharusnya negara melindungi dan memberikan fasilitas pendidikan kepada warganegaranya, bukannya malah membebankan.
• Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 88:
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi.
(2) Pendanaan pendidikan tinggi yang diperoleh dari peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. persembahan kasih;
e. kolekte;
f. dana punya;
g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h. dana abadi pendidikan tinggi; dan
i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 90:
(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 91:
Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Perguruan Tinggi berubah orientasi menjadi wahana bisnis, bahkan pemerintah sendiri yang mendorong untuk pengembangan bisnis. Perguruan Tinggi menjadikan fasilitas kampusnya dikomersialisasi, bahkan membuka arena perdagangan di kampus. Sumber dana lainnya bisa didapatkan dari MoU dengan pihak luar untuk mendapatkan dana, yang berujung pada perguruan tinggi harus memenuhi kepentingan dari pihak yang diajak kerjasama. Selain itu dengan pemasukan dana dari orang tua mahasiswa yang nominalnya naik setiap tahun, tentu menambah kas perguruan tinggi. Mahalnya biaya pendidikan tinggi bukanlah penghakiman sepihak, tapi ini adalah realitas yang terjadi di perguruan tinggi.
• Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV UU PT tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik adalah segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang dapat disimpulkan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku.
Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar adalah pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus.
Kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan

b) Pemerintah Mewujudkan Agenda Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services (GATS) oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Liberalisasi pendidikan tinggi bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Hal ini terjadi karena pendidikan telah menjadi jasa komersil yang memiliki prospek menguntungkan, maka proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan.
UU PT akan membuat kampus seperti pabrik, pendidikan sebagai komoditas, dan mahasiswa hanyalah konsumen sekaligus korban, maka tidak selayaknya pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan pemerintah. Sehingga berujung pada output pendidikan tinggi yang berorientasi pada materi, dan bagi yang tidak mengenyam pendidikan hanya akan menjadi buruh-buruh yang dihargai murah, sehingga pendidikan dalam sistem kapitalisme hanya membuat generasinya mengalami pembodohan sistematis.

c) Islam Menyelesaikan Tuntas Problematika Liberalisasi Pendidikan

Permasalahan liberalisasi pendidikan akan dialami dalam sebuah sistem yang berorientasi pada kapital, yaitu sistem kapitalisme yang kini diemban oleh negeri Indonesia. Pendidikan tinggi dalam sistem kapitalisme terbatas hanya kalangan menengah ke atas, sehingga akan terjadi ketimpangan sosial. Pendidikan terkena imbas dari sebuah sistem yang diterapkan negara, karena pendidikan adalah bagian dari penggerak pilar sistem, termasuk implikasi pada pendidikan tinggi dari UU PT yang sudah disahkan oleh anggota legislatif.
Pengelolaan pendidikan tinggi membutuhkan sebuah paradigma baru yang jauh dari diskriminasi orang kaya dan miskin, juga terhindar dari sekularisasi. Penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan tinggi merupakan kewajiban pemerintah,seperti yang tertera dalam hadits, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Al Bukhari).

Negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963) . Pengelolaan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang berideologikan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah. Dimana negara khilafah Islam ini berbasiskan ‘aqidah Islam, dan memiliki seperangkat aturan dari Sang Kholik, yang tersusun rapi dalam al-qur’an dan as-sunnah. Begitupun masalah pengelolaan pendidikan tinggi, syari’at Islam telah mengatur hal tersebut.

Pengelolaan pendidikan dalam Islam memiliki karakteristik yang khas, seperti:
1. Pendidikan Bagi Siapa Pun
Tidak ada batasan usia dalam pendidikan Islam, dan pendidikan dapat diakses oleh siapapun yang menjadi warga Negara Khilafah Islam, tanpa memandang kaya-miskin, tua-muda, Muslim-kafir.
2. Sistem Pendidikan Islam Tidak Berorientasi Pada Nilai Angka/Berujung pada Materi
Pencapaian target pendidikan tidak dilihat dari nilai angka. Seseorang dapat dinyatakan lulus jika telah menguasai ilmu yang telah dipelajarinya. Ujian dilakukan secara lisan. Saat ini di sistem kapitalisme pendidikan berorientasi pada nilai dan materi, karena pendidikan untuk pekerjaan. Hal ini wajar, karena negara tidak mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga wargenegara kapitalis melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan dalam Islam, negara berkewajiban mengelola sumber kebutuhan pokok warganegaranya dan didistribusikan secara gratis.
3. Pembiayaan Pendidikan Islam Gratis
Pendidikan dalam Islam diselenggarakan oleh Negara dengan gratis, sehingga dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Negara membiayai pendidikannya dari hasil SDA yang melimpah ruah. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990)
Khilafah Islam mampu menopang biaya pendidikan tinggi, negaralah yang menjadi tumpuan ummat, bukan asing, atau banting tulang orang tua hingga menghalalkan segala cara. Dengan menerapkan syari’at Islam pendidikan tinggi memiliki prospek yang cemerlang, baik dari kualitas generasi, maupun pembiayaan pendidikan.
Wallohu’alam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar