Menonton film 2012 yang penuh
kontroversi membuat bulu kuduk berdiri. Sangat menakutkan melihat luluh
lantaknya peradaban manusia selama berabad-abad karena berpindahnya lempeng
bumi akibat memanasnya suhu inti bumi dengan cepat dan signifikan. Dalam film
yang berdurasi dua jam lebih ini digambarkan umat manusia yang mencoba
mempertahankan speciesnya. Film yang dinanti-nanti banyak orang ini menjadi
menarik karena manusia hingga kini masih alergi dengan kematian dan datangnya
hari akhir. Secara naluriah manusia merasa enggan untuk menghadapi kematian baik
untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang-orang disekitarnya. Perasaan akan
takutnya kehilangan segala sesuatu yang telah diperolehnya di dunia ini menjadi
sebab musabab perasaan itu. Andaikata hidup manusia kekal tanpa adanya kematian
atau dapat diperbaharui dengan rekayasa genetik sebagaimana digambarkan film the
6th day mungkin kita tidak perlu khawatir akan kehabisan tiket film ini
yang membuat kita harus mengantri dikesempatan berikutnya.
Memaknai hari akhir dan kematian
berarti memaknai pula hidup itu sendiri. Hidup akan terasa lebih berarti karena
ada batasan, karena hidup terbatas seharusnya manusia dapat menjalani hidup
dengan sebaik-baiknya. Demikian pula dengan hari akhir yang datangnya tidak
menentu sehingga membuat orang beriman semakin menjaga kualitas hidupnya agar
senantiasa bermanfaat bagi makhluk lainnya. Dalam diri manusia terdapat
kemampuan untuk menilai segala sesuatu berupa baik-buruk, benar-salah maupun
indah-jelek. Sudah menjadi nilai-nilai yang manusiawi untuk memilih yang baik,
benar dan indah untuk segala sesuatunya. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi
ukuran bagi manusia dalam menjalani hidupnya dan karena keterbatasan hidup pada
akhirnya optimalisasi pengaplikasian nilai-nilai tersebut merupakan suatu
keniscayaan.
Karena sebab inilah yang membuat
iman kepada hari akhir masuk sebagai bagian dari pada rukun iman, atau
setidak-tidaknya menjadikannya sebagai salah satu faktor didalamnya. Dalam hal
ini Allah swt berfirman:
“dan mereka
yang beriman kepada kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad)
dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.”[1]
Sebab ini juga berlaku untuk iman
kepada qada dan qadar yang merupakan bagian dari rukun iman. Perkara hidup dan
mati merupakan bagian dari iman kepada qada dan qadar sebagaimana tersirat
dalam sabda Rasullullah saw berikut:
“Iman itu
ialah engkau percaya kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para
RasulNya, hari Akhirat, dan engkau percaya kepada qadar yang baik maupun yang
buruk.”[2]
Sedikit berkotemplasi, sekilas jika
kita perhatikan dalam hal beriman cukuplah didasarkan pada Iman pada Allah,
Malaikat, para Rasul, dan Kitab-Kitab Allah. Karena Allah sebagai sang maha
baik merupakan tempat bergantung bagi manusia maka iman kepada Allah merupakan
iman yang pertama dan utama dalam rukun iman menurut Islam. Hal ini sebagai
akibat dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menjalani hidup, sementara
tantangan yang datang untuk manusia begitu besar. Secara alamiah manusia
membutuhkan tempat bergantung yang bersifat lebih dari pada dirinya dan sesuatu
yang lebih itu juga bersifat kekal. Kemudian timbullah pertanyaan, hal baik
dari Allah tersebut akan disampaikan kepada manusia dalam bentuk apa dan siapa
yang menyampaikannya. Dari sini pada akhirnya membuat masuknya iman kepada Kitab-Kitab
Allah dan iman kepada para Rasul sebagai bagian dari rukun iman dalam Islam.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa kita harus beriman kepada Malaikat.
Pertanyaan ini akan dijawab dari dua sisi. Pertama, terkait dengan
hubungan antara Malaikat dengan para Rasul. Artinya dalam hal ini adalah tugas
Malaikat untuk menyampaikan wahyu yang kemudian nantinya disampaikan kepada
manusia lainnya oleh para Rasul. Kedua, terkait dengan hubungan antara
Malaikat dengan manusia pada umumnya. Hubungan tersebut mulai dari mengurus
rizki, mencatat amal perbuatan manusia, mencabut roh, hingga pada menjaga pintu
surga dan neraka.
Kemudian apa yang mendasari dua
rukun iman yang lainnya hingga masuk kedalam rukun iman dalam Islam.
Sebagaimana yang telah diuraikan diawal bahwa hari akhir itu berfungsi sebagai
penegasan akan pentingnya waktu dan hidup itu karena serba terbatas. Bayangkan
bila tidak ada hari akhir dan hidup manusia itu kekal selamanya. Manusia akan
hidup sesuka hatinya dan akan meruntuhkan nilai-niali kemanusiaan itu sendiri.
Justru dengan keterbatasan hidup manusia dan dunia ini, manusia dapat merasakan
bahwa betapa nikmat dan berartinya hidup itu. Karena sudah menjadi sunatullah
bahwa manusia akan merasa berharga ketika hidupnya dapat berguna bagi manusia
lainnya, terlebih ditengah keterbatasannya itu.
Kematian dan hari akhir akan
membuat manusia senantiasa menjadi semakin baik dalam hidupnya, selama ia dapat
memaknai ini dengan tepat. Menurut plato, orang disebut baik apabila ia
dikuasai oleh akal budi. Orang disebut buruk apabila ia dikuasai oleh berbagai
keinginan dan hawa nafsu. Karena selama orang dikuasai oleh hawa nafsu dan
emosi ia tertarik ke sana ke sini, manjadi kacau balau. Orang tidak memiliki
dirinya melainkan menjadi objek dorongan-dorongan irasional dalam dirinya.
Sebaliknya jika seseorang dikuasai akal budi, dia dapat menguasai dirinya
sendiri dan berpusat pada dirinya sendiri. Hidup secara rasional berarti
bersatu dengan dirinya.[3]
Billahi fii sabillil haq,
fastabiqul khairaat.
[1]
Q.S. Al Baqarah: 4
[2]
H.R. Muslim
[3]
Hawasi, Plato: Cinta Kepada Sang Baik (Jakarta: Poliyama, 2003), hlm.
23-24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar