lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

NASAKOM: Dibelokkan Untuk Legitimasi

Oleh: Andy Wiyanto


Masih jelas dalam ingatan ketika sekolah dulu di era orde baru, seorang guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) mengatakan pada murid-muridnya bahwa konsep nasionalis, agamis dan komunis yang biasa disingkat nasakom merupakan konsep yang keblinger. Suatu konsepsi yang pernah digulirkan oleh Bapak Bangsa yang sesungguhnya mengingatkan kita akan pentingnya persatuan. Dikatakan keblinger dengan dalih tidak mungkin menyatukan antara agama dengan komunisme, tanpa memandang hal tersebut dengan substantif. Menjadi suatu hal yang lazim ketika itu, bahwa sejarah acapkali dibelokkan. Tidak hanya nasakom, misalnya peristiwa G 30S atau yang secara faktual disebut oleh Bung Karno sebagai Gestok juga dibelokkan.


Dalam praktik bernegara, pembelokan sejarah juga lazim dilakukan oleh negara-negara lain di dunia. Di Jepang misalnya, tidak pernah ditemui dalam buku sejarahnya bahwa mereka adalah negara fasis. Atau di Perancis, Napoleon tentu bukan siapa-siapa dan tidaklah di elu-elukan bila dibandingkan dengan Montesquieu, hal itu karena Napoleon berasal dari pulau kecil bernama corsika yang kini masuk wilayah Italia. Pembelokan sejarah yang dilakukan negara-negara dunia dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Tapi celakanya di Indonesia pembelokkan sejarah dilakukan untuk kepentingan dan legitimasi suatu rezim.

Sehingga tidak salah kemudian bila dikatakan bahwa ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini, dikarenakan oleh ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Sebab jangankan untuk merawat, untuk menatap sejarah yang sesungguhnya pun telah dibiaskan oleh rekayasa penguasa kala itu. Tulisan singkat ini mencoba untuk meluruskan sejarah dengan upaya mengungkap konsepsi nasakom sebagai buah pikir Bapak Bangsa Bung Karno.

Konsepsi tersebut sesungguhnya lahir dari hasil pembacaan Bung Karno terhadap sifat pergerakan rakyat Indonesia pada tahun 1926 dalam tulisan yang diberi judul, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Hingga Indonesia merdeka dan menyelenggarakan Pemilihan Umum Pertama sebagai pemilu yang paling demokratis di tahun 1955, ramalan tersebut menjadi nyata adanya. Apa yang digagas Bung Karno 29 tahun sebelumnya terbukti dengan hasil pemilu yang menempatkan PNI, Masyumi, NU dan PKI sebagai empat partai yang secara signifikan memperoleh suara terbanyak. Empat partai tersebut merupakan representasi dari pergerakan rakyat Indonesia yang bersifat nasionalistis, islamistis dan marxistis.

Bung Karno menggambarkan ketiganya sebagai tiga gelombang yang bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangannya. Itulah yang menjadi kewajiban kita untuk mempersatukannya. Bung Karno mengambil contoh India dan Tiongkok. Di India kaum nasionalis bekerjasama dengan kaum islam, “Gandhi cukup kekuatan mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak Jain, dan pihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!”

Kemudian Bung Karno mengangkat kisah Dr. Sun Yat Sen di Tiongkok dengan mengatakan bahwa “panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok.” Bung Karno menambahkan bahwa “Bukan kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.”

Konsepsi ini hadir dalam menjawab tantangan persatuan rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Apa sebab orang Jawa mau menjadi Indonesia? Apa Sebab Borneo merasa seperjuangan dengan Jawa? Theodor Herzl mengingatkan kita bahwa perlu ada musuh bersama dan sejarah bersama agar rakyat Indonesia dapat bersatu padu menjadi satu. Untuk menjawab musuh bersama tentulah mudah, sebab kemelaratan rakyat tidak lain disebabkan karena penghisapan Penjajah Kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia. Kemudian Bung Karno mengutip pedapat Ernest Renan bahwa “Bangsa itu adalah suatu nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Harus ada sejarah bersama dan kemauan bersama menghadapi masa depan.” Ia juga mengutip Otto Bauer bahwa “Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.”

Dari pendapat para ahli tersebut Bung Karno menyimpulkan bahwa dua hal penting agar rakyat Indonesia dapat bersatu menjadi suatu bangsa, yaitu sejarah dan kemauan. Dalam sejarahnya rakyat Indonesia telah sama-sama menjadi korban penindasan kolonialisme Belanda. Yang lebih penting dan mempunyai perspektif kedepan adalah membangun kemauan, keinginan menjadi satu. Dengan semangat ini, gagasan nasakom sesungguhnya menjawab tantangan persatuan rakyat Indonesia dalam sebuah bangsa untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaannya.

Oleh sebab itu tidak berlebihan bila gagasan nasakom disebut sebagai suatu gagasan progresif. Namun dalam perjalanannya justru dimitoskan sebagai sesuatu yang haram. Menjadi mudah dipahami bila ditilik dari asal usul orde baru yang ada karena kudeta merangkak. Sebuah pengambil alihan kekuasaan dengan legitimasi anti PKI yang dikorbankan untuk kekuasaan. Soeharto menggantikan Bung Karno setelah sebelumnya MPRS memakzulkan Bung Karno dengan sebab yang salah satunya adalah peristiwa gestok. Pembelokan sejarah dimulai pada PKI yang diposisikan sebagai dalang tunggal dan satu-satunya versi dalam peristiwa tersebut. Sehingga apapun yang berbau PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme turut diimitasi untuk mendukung pembelokan sejarah tersebut sebagai sebuah legitimasi kekuasaan.
***

2 komentar: