lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

Kita, RUU PT, dan Pro Kontra yang Menyertainya

RUU PT. apa sih itu? Kenapa ramai sekali diperbincangkan di media? Apa dampaknya buat kita?

Oke. Mari kita bicarakan bersama.

RUU PT ini muncul dilatar belakangi akan adanya desakan dari tujuh buah perguruan tinggi berbadan hukum milik negara (PT BHMN) yang seakan kehilangan payung hukum pasca pembatalan UU BHP (Undang Undang Badan Hukum Pendidikan) oleh MK pada Maret 2010.  Dan akibat pembatalan itu landasan hukum dari PT BUMN kembali ke PP (Peraturan Pemerintah) untuk masing masing PT. Sementara itu, PP dinilai masih terlalu lemah dalam kekuatan hukum sehingga dianggap perlu untuk membuat suatu undang undang yang mengatur tentang pendidikan tinggi. Atas dasar itulah RUU PT dianggap perlu untuk dibuat.
Seperti yang telah kita ketahui, munculnya RUU selalu menuai Pro dan Kontra. Berdasarkan studi dari beberapa koresponden dan kajian terhadap draft RUU PT terakhir yaitu tanggal 4 April 2012, maka terlihatlah kontradiksi pendapat-pendapat yang mengkritisi munculnya RUU PT ini.

Bagi mereka yang Kontra, ada 4 Poin yang dianggap kurang sesuai. Antara lain:

1. Adanya Kontradiksi dengan UU Sisdiknas
RUU PT dianggap tidak mengindahkan pernyataan yang ditekankan pada pasal 20 ayat (4), pasal 21 ayat (7), pasal 24 ayat (4), dan pasal 25 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana peraturan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Jika RUU PT disahkan, akan terjadi dualism aturan dalam pelaksaan pendidikan tinggi di Indonesia.  Juga tak bisa dilupakan keberadaan PP no 17 tahun 2010, yang telah diubah melalui PP no 60 tahun 2010 mengenai Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang telah menjadi Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan dalam UU Sisdiknas. Posisi inilah yang dipertanyakan jika RUU PT di-sahkan.

2. Masuknya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia
Masuknya perguruan tinggi asing,(PTA) yang dibahas dalam BAB VI pasal 94 RUU PT, dapat diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia melalui persaingan sehat. Namun ini juga bisa menimbulkan masalah.
Permasalahan pertama adalah tidak dijelaskan adanya proteksi khusus bagi perguruan tinggi dalam negeri. jika pendidikan Indonesia tidak bisa mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran PTA yang berkualitas tinggi,  akan berujung pada kolapsnya banyak Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta dalam negeri.
Kemudian, PTA yang beroperasi di Indonesia bisa dipastikan memiliki kekuatan modal yang besar serta kualitas yang mendunia. Dengan “memamerkan” kualitas tersebut (sebut saja ‘rangking sekian dunia’ atau semacamnya) akan sah-sah saja bagi PTA untuk memasang tarif tinggi. Fenomenanya akan mirip sekolah RSBI yang belakangan ditengarai sebagai  sekolah yang “asal mahal” namun hanya menunjukkan perbaikan dari segi pembangunan, bukan kualitas pendidikan.

3. Sistem Pinjaman yang Menafikan Kondisi dalam Negeri
Pada bagian Pemenuhan Hak Mahasiswa, pasal 79 ayat (2) poin ‘c’ yang menyatakan bahwa pemenuhan hak mahasiswa dapat diberikan berupa ‘pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi  setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan’.
Sistem ini terinspirasi dari beberapa PTA antara lain Harvard, NUS, dan NTU yaitu meminjamkan sejumlah uang bagi mahasiswa untuk membayar biaya masuk perguruan tinggi dan mengembalikannya setelah memperoleh pekerjaan dengan jaminan ijazah. Sistem ini secara kasat mata bagus karena memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mahasiswa yang tidak mampu untuk masuk Perguruan Tinggi.
Permasalah muncul ketika kita melihat fakta bahwa di Indonesia, Perguruan Tinggi dan Pemerintah belum bisa menjamin tersedianya lapangan pekerjaan di mana lulusan akan bekerja dan pendapatannya akan digunakan untuk mengembalikan pinjaman. Jika sistem ini masih dipaksakan maka ini bisa disebut “bunuh diri” karena selain lulusan dililit hutang, pemberi pinjaman juga tidak bisa mendapatkan kembali uang untuk diputar ke penerima lainnya.

4. Sanksi yang Setengah-Setengah
Dalam beberapa pasal yang krusial seperti pasal 64 ayat (2) yang berbunyi ‘PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara badan hukum, bersifat nirlaba, dan wajib memperoleh izin menteri’. dan pasal 67 yang berbunyi ‘Otonomi pengelolaan perguruan  tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a.akuntabilitas; b.transparansi; c.nirlaba; d. mutu; dan e. efektivitas dan efisiensi’ tidak diberikan sanksi padahal pelaksaannya sangat penting untuk menjamin pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan tinggi yang sehat dan professional. Ini seolah-olah memberikan pilihan bagi perguruan tinggi untuk mematuhi atau pun tidak mematuhi karena tidak adanya ancaman yang diberikan bagi pelanggar.

Sedangkan bagi mereka yang Pro terhadap kebijakan RUU PT ini, mendukung adanya RUU PT ini berdasarkan anggapan bahwa RUU PT memberika otonomi luas kepada PT untuk mengatur sendiri perekonomiannya. Sebab, selama ini masalah Otonomi Ekonomi selelu menjadi kendala untuk PT, terutama PTN. Sebab, PTN/PT BHMN tersebut mempergunakan uang negara, mekanisme penggunaan anggarannya mengikuti mekanisme penggunaan anggaran yang diatur dalam perundangan keuangan negara. Misalnya, anggaran harus diajukan setahun sebelumnya dan hanya yang sudah dianggarkan saja yang bisa dibiayai, atau penggunaan anggaran melalui proses tender untuk dana di atas Rp 100 juta dan di luar anggaran rutin. Bahkan sumbangan dana dari mahasiswa (yang lebih dikenal dengan sebutan pendapatan negara bukan pajak/PNBP) pun harus disetor ke kas negara terlebih dulu, tidak bisa langsung dipergunakan.

Mekanisme penganggaran yang seperti itu jelas tidak sejalan dengan kebutuhan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang dinamis dan fleksibel. Pengelolaan keuangan di PT jelas memerlukan fleksibilitas tersendiri, termasuk penggunaan dana dari mahasiswa. Seharusnya dana tersebut tidak disetor ke kas negara, tapi cukup langsung masuk ke kas PTN saja dan langsung dapat dibelanjakan. Otonomi pengelolaan keuangan seperti inilah yang dibutuhkan oleh PT.

Demikian pula masalah otonomi akademik, seharusnya PT memiliki otonomi cukup kuat sehingga pengembangan PT tidak terhambat oleh birokratisasi PT. Setiap PT dapat membuka-tutup program studi secara otonom, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga terhindar dari miss match. Atau mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya.
Tanggal 9 April 2012 lalu, Dalam rapat kerja pemerintah dan Komisi X DPR RI di Gedung DPR RI, Pemerintah meminta DPR untuk memperpanjang pembahasan dan pengkajian RUU PT ini. Permintaan tersebut disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Menteri Nuh menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk memperpanjang pembahasan RUU PT. Tiga hal penting tersebut harus bisa mengantisipasi perkembangan di masa depan, yaitu modal pengetahuan, mobilitas, dan kovergensi peradaban.

Lalu bagaimana dengan kita sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan? Apa yang harus kita lakukan? Harus menolak atau mendukung? Kami rasa, sebagai mahasiswa yang kritis kita telah mampu untuk berpikir kritis menyikapi sistem pendidikan yang akan diterapkan pada negara kita yang tercinta ini. Kita sudah bisa berpikir tentang kebijakan yang akan membawa negara kita kearah yang lebih baik atau lebih buruk. Yang pasti, sebagai mahasiswa yang bertanggungjawab langsung terhadap kelangsungan hidup negara kita, kita tidak boleh sembarangan menyetujui atau menolak hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan bangsa. Indonesia memang negara kompleks, tapi kalau bukan kita yang berusaha mengurai kemelutnya, Siapa lagi?

Kharissa Widya Kresna, Penulis Jurnalistik PGSD, Staff LK Kampus, Untuk Bangsa dan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar