lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

Liberalisasi Pendidikan Atawa Penjajahan?

Oleh : Maryama Nihayah (Mahasiswi Psikologi UGM 2009)


Globalisasi menampakkan euforianya di banyak negara sejak berabad-abad yang lalu. Sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari globalisasi. Globalisasi seakan memberikan kesadaran semu bahwa apa yang kita dapatkan selama ini adalah baik sebatas itu sesuai dengan permintaan pasar. Dalam hal ini, disadari atau tidak, globalisasi hanya berlaku sebagai dogma tanpa memberikan kesempatan kritis terhadap apa yang sebenarnya terjadi.
Globalisasi menurut Stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antara negara, lembaga dan aktornya. Logika globalisasi diturunkan dari ideologi neo-liberalisme yang dalam filsafat politik kontemporer berafinitas dengan ideologi libertarianisme. Logika  ini mengarah  pada kebebasan pasar dan pembatasan peran negara (Kymlycka, dalam Effendi 2005). Tidak hanya itu, dalam globalisasi kekuasaan tertinggi diserahkan kepada mekanisme pasar. Neo Liberalisme percaya bahwa superioritas pasar merupakan mekanisme yang efektif untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan individu (Gelinas, dalam Effendi, 2005).
Di Indonesia, logika itu menjadi nyata melalui intervensi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (dalam Efendi, 2005) disebut sebagai The Unholy Trinity, yaitu IMF, Bank Dunia, dan WTO. Hal tersebut berimplikasi pada komersialisasi dan komodifikasi sistem ekonomi global. Proses ini terjadi  melalui marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.
Indonesia mulai mengikatkan diri pada WTO sejak tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dengan begitu, Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan perjajnjian di dalamnya telah sah menjadi legislasi nasional. Dengan ini, mau tidak mau, Indonesia tidak bisa lepas dari perjanjian liberalisasi perdagangan termasuk pendidikan.
Peran serta Indonesia dalam pemufakatan GATS (General Agreement of Trade Service) dalam Putaran Doha tahun 2000 telah sukses membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan. Tidak hanya itu, pada Putaran Hong Kong, Indonesia juga menawarkan pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan. Tentunya, menjadi keputusan yang ironis di tengah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Logika perdagangan jasa pendidikan, menurut Prof. Dr. Sofian Effendi (rektor UGM tahun 2002-2006) mengikuti pembagian kegiatan usaha oleh para ekonom, dimana menempatkan industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik, keadaan manusia, dan benda simbolik pada sector tersier. Sealur dengan konsep tersebut, WTO telah menempatkan pendidikan pada perdagangan sektor tersier (Setiawan-Anggota Aliansi Advokasi Pendidikan Nasional ). Fenomena tersebut semakin mempertegas berkembangnya liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Perkembangan liberalisasi pendidikan jelas semakin mereduksi peran dan merenggut kedaulatan negara Indonesia saat ini. Melemahnya  kedaulatan negara  dalam dunia pendidikan akibat internasionalisasi yang menghagemogi masyarakat, dapat memantik keadaan yang berbahaya bagi perkembangan pendidikan. Internasionalisasi pendidikan merupakan  anak  liberalisasi ekonomi yang dipengaruhi dan didukung oleh GATS, IMF, World Bank, dan lain-lain. Dampak selanjutnya, salah satunya  adalah munculnya kebijakan pendidikan tinggi sebagai komoditi pasar siap jual.
Munculnya RUU PT menambah bukti sikap pemerintah dalam mengamini liberalisasi pendidikan. Dalam bab VI Pasal 94 misalnya, disebutkan bahwa “ Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga pendidikan negara lain.” Bisa dikatakan, menurut pasal ini,  bahwa pemerintah mengizinkan perguruan tinggi luar negeri untuk membuka cabang di Indonesia. Ini adalah salah satu model identifikasi penyediaan jasa pendidikan oleh WTO, yaitu Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal (Effendi, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara melemah dalam hal mewujudkan pendidikan tinggi yang berkualitas. Alih-alih utuk meningkatkan kualitas lulusan pendidikan tinggi, pemerintah secara tidak sadar telah meremahkan kualitas pendidikan dalam negeri.
Tidak hanya itu, dalam hal pendanaan pendidikan, kedaulatan negara juga semakin luntur. Sebut saja Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 yang  menyatakan bahwa “ Pendidikan termasuk sektor terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai 49 %” dan juga dalam RUU PT pasal 86 ayat 2 yang berbunyi “Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR”. Kedua produk hukum tersebut menunjukkan cuci tangan negara dalam menyediakan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat. Hal ini jelas sudah mengkhianati amanat konstitusi.
Beban Utang dan Privatisasi Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa warisan utang pemerintahan masa lampau menjadi beban yang harus dipikul pemerintah saat ini. Kendala terbesar yang sering dijadikan alasan dalam pemenuhan anggaran pendidikan adalah beban utang yang terlalu besar. Pembayaran cicilan bunga dan pokok dalam APBN 2006 lihat saja,  mencapai Rp. 140 Trilyun. Angka tersebut lebih besar daripada anggaran pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat lainnya (Setiawan, 2007). Tidak mengagetkan jika akhirnya komitmen pemenuhan anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN hanya menjadi “abang-abang lambe atau pemanis bibir” saja.
Sebagai upaya meningkatkan devisa negara untuk pembayaran utang tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebikan privatisasi. Privatisasi merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan devisa bagi negara dengan menjual sebagian saham atau aset milik negara- termasuk pendidikan- ke pihak lain (Saptenno, 2008). Privatisasi pendidikan berimplikasi pada lemahnya kedaulatan pendidikan yang semestinya dikawal oleh negara.
Mengembalikan Kedaulatan Negara dalam Pendidikan
Melemahnya kedaulatan negara dalam bidang pendidikan dapat dibaca karena faktor ekonomi politik. Kebijakan liberalisasi dan privatisasi jelas karena faktor ekonomi politik.  Hal ini merupakan konsekuensi dari mimpi Indonesia dalam pembangunan perekonomian. Namun sayangnya, pemerintah  mengabaikan komitmennya dalam pembangunan pendidikan sebagai infrastrutur pengembangan SDM.
Padahal, menurut Parera (dalam Prasetya, 2007), Philip Kotler dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan formal berperan strategis dalam pembangunan ekonomi. Ini didukung temuan Bank Dunia, bahwa lack of education is greater obstacle than lack of physical assets. Karena, pendidikan merupakan upaya untuk membangun manusia yang terdidik untuk berperan dalam pembangunan ekonomi. Sejalan dengan logika tersebut, menurut Phenix (1993), “ Infrastructure are needed to enable a nation’s, welth-building strategy to be implemented effectively. There is a broad agreement among economist, that government must invest heavily in providing and improving infrastructure, particulay in the early phase of industrialization.”
Dalam kajian Kotler, salah satu infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur Sumber Daya Manusia untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (dalam Soedjiarto, 2007).
Indonesia harus belajar dari pengalaman Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang dalam keberhasilan pembangunan ekonominya yang diawali dengan pembangunan infrastruktur. Dalam permulaan pembangunannya, di samping membangun infrastruktur fisik negara-negara tersebut juga membangun infrastruktur sumber daya manusia, yaitu system persekolahan dan pelatihan. Tidak hanya itu, infrastruktur lain yang perlu diperhatikan adalah infrastruktur teknologi, yang menempatkan universitas sebagai salah satu dimensinya. Hal ini karena, di abad 21 ini, universitas-universitas di negara maju  telah didudukkan sebagai mesin utama dalam pembangunan ekonomi yang berdasarkan iptek. Tidak mengherankan jika, anggaran belanja untuk universitas di Amerika Serikat mencapai 2,5 % PDB. Sedangkan di Indonesia, dana pendidikan dari SD sampai universitas hanya 1,3 % PDB, dan untuk perguruan tinggi hanya 0,2 %. (Soedijarto, 2007).
Oleh karena itu, mimpi Indonesia dalam pembangunan perekonomian dan pendidikan dapat terwujud apabila pemerintah serius melaksanakan komitmennya untuk mengalokasikan anggaran 20% dari APBN dan APBD. Tidak hanya itu, para birokrat harus meginternalisasi dan melaksanakan secara konsekuen amanat konstitusi UUD 1945 Alinea 4, dan Pasal 31 UUD 1945 terutama yang  terkait dengan pendidikan. Dengan begitu, liberalisasi dan privatisasi pendidikan tidak lagi dijadikan alasan secara ekonomi. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah janji kemerdekaan yang harus dipenuhi oleh negara. Tidak sepantasnya negara berusaha cuci tangan untuk mewujudkannya.  Diperlukan keberanian dan sikap yang tegas dari negara untuk mewujudkan pembangunan negara yang seutuhnya.
“Berdiri karena kekuatan orang lain baik yang dipinjamkan maupun yang bersifat tuntunan dan atau perlindungan (yang biasanya tidak tampak atau terang) belum merupakan “merdeka sejati”. Itulah kemerdekaan “pulasan” yang selain tidak mendatangkan sifat mandiri juga tak akan mendatangkan kebebasan. Itu adalah kemerdekaan anak-anak atau kemerdekaan boneka (Ki Hadjar Dewantara)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar