lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

DEMONSTRASI ANARKIS CIDERAI PROSES DEMOKRATISASI

Oleh: Andy Wiyanto

Demonstrasi merupakan penjewantahan aspirasi rakyat yang tidak terbendung oleh pemerintah melalui kebijakannya. Demonstrasi juga menjadi urgent ketika fungsi check and balances tidak lagi optimal dalam organ penyelenggara negara. Pendek kata, demonstrasi adalah wujud partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan menjadi kontrol atas penyelenggaraan negara oleh wakil rakyat. Demonstrasi menjadi penting sebab merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh sebab itu demonstrasi sebagai hak warga negara yang bebas menyampaikan pendapatnnya haruslah dilakukan secara bertanggung jawab.

Begitu pentingnya demonstrasi hingga diatur dalam instrumen HAM nasional, yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang keberadaannya dijamin secara konstitusional di Indonesia.
Bahkan sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Pengaturan demonstrasi dalam kehidupan bernegara yang demokratis dibutuhkan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreatifitas rakyat. Hal ini sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan berdemokrasi yang tidak mengabaikan kepentingan individu maupun kelompok. Namun sekalipun sudah terdapat pengaturannya, dalam ada kalanya kita menemukan praktek yang dapat menciderai demokrasi itu sendiri. Misalkan tindakan anarkis dari para demonstran dan balasan yang tak kalah hebatnya dari aparat sebagai alat negara. Keduanya tidaklah dapat dibenarkan dan dapat merusak tatanan kehidupan demokratis yang hendak kita bangun.

Secara garis besar tidakan anarkis dalam sebuah demonstrasi dapat terjadi karena dua faktor utama. Pertama, terjadi akumulasi kekecewaan yang dialami oleh para demonstran karena aspirasi yang mereka sampaikan tidak kunjung didengarkan (apalagi dilakukan). Pengalaman semacam ini terjadi karena kemungkinan aspirasi yang disampaikan tidaklah tepat, kadang kala asbun (asal bunyi) bahkan tidak dipungkiri memang ada oknum yang menjadikan demonstrasi sebagai lahan bisnis. Ada kalanya demonstrasi kini tidak lagi dilakukan sebagaimana hati nurani dan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Kemungkinan lainnya adalah aspirasi yang disampaikan sudahlah tepat dengan hati nurani dan memiliki dasar-dasar yang kuat, namun pemerintah sering kali menganggap itu sebagai angin lalu (baca: bebal). Disinilah peranan media masa sebagai pengawal demokrasi non pemerintah untuk mengungkap suatu fakta, agar tercipta mekanisme kontrol sosial oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Kedua, minimnya penjiwaan akan hakikat demonstrasi serta kurangnya pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pihak baik rakyat maupun pemerintah, dalam hal ini kepolisian. Kadang kita lupa bahwa dalam kebebasan kita menyampaikan pendapat juga terdapat hak-hak dan kebebasan orang lain. Kadangkala nilai-nilai moral yang diakui secara umum juga terlupakan dengan gegap gempitanya spirit menegakkan kebenaran. Bahkan anarki menjadi peristiwa yang lumrah untuk para demonstran di sebagian wilayah Indonesia. Di sisi lain kepolisian acapkali melakukan tindakan kekerasan terhadap para demonstran, hal ini secara nyata telah mengingkari hak kebebasan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh undang-undang. Seringkali pemerintah sebagai alat negara lupa akan hakikatnya, mereka ada untuk menjamin hak-hak antar rakyat agar tidak bersinggungan satu sama lain. Dalam rangka penjaminan itu alat negara semestinya tidak terpancing dalam kondisi apapun.

***

4 komentar:

  1. lumayan juga nih dasar hukumnya. hhe..

    BalasHapus
  2. Agak Kontra Bukan Brarti Dalam Perpecahan :)

    Pada dasarnya akan sangat lucu bila kita berbicara Faham Kedaulatan Rakyat Dengan Bingkai Konstitusi Indonesia Kita Juga Berbicara Demokrasi, pertanyaan sangat sederhana Ku Sebagai Nak bangsa Yg Kebetulan Punya Faham Tersendiri terhadap Anarki
    Karna Dalam Blog Saya Sebelumnya Jg Menulis Tentang "Demokrasi Telah Melunturkan Semangat Jiwa Pembukaan UUD 1945 "

    http://cungkring-umj.blogspot.com/2012/06/demokrasi-telah-melunturkan-semangat.html

    Pertanyaan :
    1. Adakah Itu Demokrasi Menyelesaikan Permasalahan Bangsa Ini...???
    2. Dalam Sejarah Revolusi,Revolusi Mana Yang Tidak Berdarah...??
    3. Bukankah Budaya Kita seingatku Tidak Ada Budaya demokrasi, Tetapi yang Ada adalah, Jiwa Pembukaan undang-undang 1945, Pancasila, dalam tujuan "Berdaulat di bidang politik, Berdikari Di Bidang Ekonomi, Dan Berkepribadian Secara Budaya"

    BalasHapus
  3. Prof Dr Mahfud MD

    Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.


    Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.

    Sumber : http://komando-rakyat.blogspot.com/2012/06/doinasi-politik-kaum-demagong.html

    BalasHapus