Oleh: Andy Wiyanto
Secara
etimologis status quo dapat diartikan sebagai keadaan tetap pada suatu saat
tertentu[1].
Pengertian ini dalam konteks kepemimpinan dan kelembagaan dapat diterjemahkan
sebagai suatu keadaan ketika elit dalam suatu lembaga berupaya untuk
mempertahankan kekuasaannya. Harus dipahami bahwa dalam mempertahankan
kekuasaan yang dimaksud bisa dengan tetap mempertahankan diri sebagai seorang
pemimpin ataupun mempersiapkan pihak-pihak lain asalkan sejalan dengan tujuan
elit itu. Upaya tersebut dengan itikad tulus bisa menjadi baik ketika
masyarakat yang dipimpin masih belum siap untuk berdemokrasi (ber-“republik”)[2].
Sebaliknya hal ini akan menjadi keliru ketika diposisikan sebagai upaya meredam
fungsi kontrol oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan agenda elit tersebut,
terlebih jika pihak-pihak yang tidak sejalan itu memiliki kompetensi untuk meregenerasi
suatu kepemimpinan.
Keputusan untuk
mempertahankan kekuasaan dengan alasan ingin menciptakan pemerintahan yang
stabil (baca: superbody) guna perubahan yang lebih baik bukanlah hal
yang diharamkan. Namun kecenderungan akan adanya penyimpangan dalam hal ini
adalah besar. Bukankah Lord Acton pernah mengingatkan kita bahwa kekuasaan
memiliki kecenderungan untuk korup dan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan
korup? Untuk itulah diperlukan pemisahan kekuasaan agar antara cabang kekuasaan
tersebut dapat saling mengadakan check and balances system dalam
menjalankan pemerintahan.
Kita tidak akan
berbicara lebih jauh mengenai pembagian kekuasaan, sebab sering kali karena
berbagai macam alasan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi dalam suatu
pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Menghadapi hal yang demikian
regenerasi dalam suatu kepemimpinan menjadi suatu kewajiban guna membentuk
kelembagaan yang lebih baik dan berdinamika, karena pihak yang tadinya berkuasa
dapat dengan leluasa memposisikan dirinya sebagai pengontrol penguasa baru yang
notabene “masih belajar”. Apalagi mengingat pemimpin yang baru ini juga
memiliki kemampuan yang sepadan setelah melewati berbagai macam ujian!
***
[1] Lihat Kamus Inggris Indonesia terbitan PT.
Gramedia Pustaka Utama
[2] Menurut Niccolo Machiavelli karakter utama
pemerintahan republik adalah kemerdekaan, dan kemerdekaan itu harus
dipersiapkan. Kemerdekaan tidak mungkin terbina dalam suatu masyarakat yang
kacau, tidak tertib dan terpecah belah. Sangat berbahaya memberikan kemerdekaan
kepada rakyat yang belum bisa menggunakannya. (Niccolo Machiavelli - Penguasa
Arsitek Masyarakat, oleh St. Sularto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar