lennon

lennon

Jumat, 04 Januari 2013

STATUS QUO DAN REZIM OTORITARIAN DALAM DINAMIKA KEPEMIMPINAN DAN KELEMBAGAAN

Oleh: Andy Wiyanto

Secara etimologis status quo dapat diartikan sebagai keadaan tetap pada suatu saat tertentu[1]. Pengertian ini dalam konteks kepemimpinan dan kelembagaan dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan ketika elit dalam suatu lembaga berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Harus dipahami bahwa dalam mempertahankan kekuasaan yang dimaksud bisa dengan tetap mempertahankan diri sebagai seorang pemimpin ataupun mempersiapkan pihak-pihak lain asalkan sejalan dengan tujuan elit itu. Upaya tersebut dengan itikad tulus bisa menjadi baik ketika masyarakat yang dipimpin masih belum siap untuk berdemokrasi (ber-“republik”)[2]. Sebaliknya hal ini akan menjadi keliru ketika diposisikan sebagai upaya meredam fungsi kontrol oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan agenda elit tersebut, terlebih jika pihak-pihak yang tidak sejalan itu memiliki kompetensi untuk meregenerasi suatu kepemimpinan.
Keputusan untuk mempertahankan kekuasaan dengan alasan ingin menciptakan pemerintahan yang stabil (baca: superbody) guna perubahan yang lebih baik bukanlah hal yang diharamkan. Namun kecenderungan akan adanya penyimpangan dalam hal ini adalah besar. Bukankah Lord Acton pernah mengingatkan kita bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup dan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan korup? Untuk itulah diperlukan pemisahan kekuasaan agar antara cabang kekuasaan tersebut dapat saling mengadakan check and balances system dalam menjalankan pemerintahan.

Kita tidak akan berbicara lebih jauh mengenai pembagian kekuasaan, sebab sering kali karena berbagai macam alasan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi dalam suatu pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Menghadapi hal yang demikian regenerasi dalam suatu kepemimpinan menjadi suatu kewajiban guna membentuk kelembagaan yang lebih baik dan berdinamika, karena pihak yang tadinya berkuasa dapat dengan leluasa memposisikan dirinya sebagai pengontrol penguasa baru yang notabene “masih belajar”. Apalagi mengingat pemimpin yang baru ini juga memiliki kemampuan yang sepadan setelah melewati berbagai macam ujian!
***



[1]   Lihat Kamus Inggris Indonesia terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama
[2]   Menurut Niccolo Machiavelli karakter utama pemerintahan republik adalah kemerdekaan, dan kemerdekaan itu harus dipersiapkan. Kemerdekaan tidak mungkin terbina dalam suatu masyarakat yang kacau, tidak tertib dan terpecah belah. Sangat berbahaya memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang belum bisa menggunakannya. (Niccolo Machiavelli - Penguasa Arsitek Masyarakat, oleh St. Sularto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar