lennon

lennon

Kamis, 07 Juni 2012

Kekuatan Pemerintah Memasung Kebebasan Kampus


Beberapa akademisi menyebut beberapa pasal dalam RUU Perguruan Tinggi yang menggambarkan besarnya kewenangan pemerintah. Dalam Pasal 73 ayat 5, misalnya, disebutkan bahwa dosen dapat dirotasi pada PTN yang berbeda. Kewenangan merotasi itu ada di tangan menteri. Aturan ini, menurut Imam, berpotensi memberi wewenang kepada menteri untuk membungkam dosen-dosen yang kritis. "Jangan harap nanti ada dosen kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ini akan terjadi. Academic freedom benar-benar terancam," ujarnya.
RUU itu juga memberikan kewenangan besar kepada menteri dalam hal pemberian dan pencabutan izin penyelenggaraan program studi (Pasal 7 ayat 4 huruf e). Menteri pun diberi kewenangan mengatur hasil penelitian (Pasal 46 ayat 4), pengabdian kepada masyarakat (Pasal 48 ayat 5), sampai urusan kemahasiswaan (Pasal 13 ayat 7). Wajar kalau anggapan bahwa dunia pendidikan tinggi akan dikembalikan ke era NKK/BKK muncul.
Di awal era Orde Baru, kekuatan pemerintah yang besar memang telah memasung kebebasan di kampus. Puncaknya adalah terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Era tersebut menjadi masa-masa yang traumatik bagi kehidupan kampus. "Saya termasuk yang berada dalam era traumatik waktu masuk UI," kata Imam.
Ia masih ingat, ketika itu betapa besar intervensi pemerintah terhadap kehidupan akademik di kampus. "Pak Juwono Sudarsono waktu itu sempat salah bicara. Statement-nya kira-kira, pemerintah yang dalam proses pembusukan tidak usah didemo. Dia akan jatuh sendiri. Akhirnya ada surat dari menteri melarang dia mengajar," tutur Imam mengenang era traumatik itu. Wajar jika para akademisi tersebut tidak ingin masa-masa seperti itu terjadi lagi. (MAG)

Jaminan Bergeser Menjadi Kewenangan


Awalnya, tema besar RUU PT adalah memberikan jaminan terhadap otonomi perguruan tinggi dalam rangka penjaminan mutu. Saat itu, dari Komisi X DPR yang banyak terlibat adalah Herry Akhmadi dan Rully Chairul Azwar. DPR juga menunjuk Profesor Johannes Gunawan, guru besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, sebagai pendamping ahli.
Entah siapa yang menginisiasi, tema itu kemudian bergeser, dan RUU itu mulai memberikan kewenangan besar kepada menteri. Peran Herry Akhmadi dan kawan-kawan, termasuk Prof. Johannes Gunawan, pun dikurangi. Herry Akhmadi dipindahkan ke Komisi I, sedangkan Johannes Gunawan digantikan Prof. Anwar Arifin, mantan anggota DPR yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar.
Belakangan, Johannes Gunawan mengundurkan diri karena draf yang disusun kemudian melenceng dari semangat awal. Sempat beredar kabar di kalangan pendidikan tinggi, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Djoko Santoso, juga berperan besar dalam menyusun draf RUU PT yang membatasi otonomi kampus ini. Mereka kabarnya didukung Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Mendikbud Muhammad Nuh. (MAG)

Baju BHMN Berganti BLU


RUU PT sendiri dirancang untuk menggantikan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Untuk mengisi kekosongan hukum pasca-pembatalan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 pada 28 September 2010. Namun beleid ini dianggap sebagai langkah mundur pelaksanaan otonomi perguruan tinggi.
PP itu mengatur, perguruan tinggi yang bestatus badan hukum milik negara (BHMN) secara bertahap harus menyesuaikan status menjadi badan layanan umum (BLU) atau satuan kerja (satker) di bawah kementerian. "PP 66 itu membuat perguruan tinggi kembali di bawah Mendikbud. Politik masuk lagi ke dalam perguruan tinggi," kata Siti Adiprigandari Adiwoso dari UI.
Guru besar Institut Teknologi Bandung Satryo Sumantri Brodjonegoro menilai, jika PT-BHMN menerima kembali menjadi satker atau BLU, akan berbahaya. Sebab akan terjadi legitimasi bahwa konsep BHMN gagal. "Ini memang diharapkan para birokrat karena mereka tidak berniat mengubah Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Kepegawaian Negara," ujarnya.
Jika PTN otonom, menurut Satryo, pengelolaan keuangan dan kepegawaian juga harus otonom. Hal ini memang bisa jadi urusan rumit karena harus mengubah beberapa poin dalam dua undang-undang tadi. Masalahnya, jika PTN tetap menjadi satker atau BLU, ada rumitnya juga. Sebab setiap penerimaan PTN dari SPP mahasiswa harus digolongkan sebagai penerimaan negara. "Apakah tepat jika penerimaan itu digolongkan menjadi penerimaan negara bukan pajak?" katanya.
Masalah pendanaan memang menjadi salah satu urusan krusial dalam RUU ini. Ada kesan, setiap PTN yang diberi status badan hukum harus bisa berdiri sendiri menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi tanpa adanya subsidi pemerintah. Hal ini dikhawatirkan banyak kalangan akan membuat status PTN tak ubahnya perguruan tinggi swasta (PTS).
Pasal 87 ayat 1 RUU PT memang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam pendanaan pendidikan tinggi lewat APBN. Hanya saja, Pasal 88 ayat 1 dan Pasal 89 ayat 1 juga mengatur soal peran masyarakat dan perguruan tinggi dalam urusan pembiayaan ini. Dikhawatirkan, PTN yang diberi status badan hukum menjadi PTN yang mahal lantaran pemerintah tak sepenuhnya mendanai.(MAG)

Alat Membungkam Akademisi?


Sumber GATRA menyebutkan, ada kepentingan tertentu di balik penyusunan RUU PT ini. "Otonomi perguruan tinggi sengaja dibungkam agar tidak ada suara kritis dari kampus. Suara kampus, terutama dosen, akan mudah diarahkan untuk kepentingan partai tertentu di Pemilu 2014," kata sumber itu. Sejak RUU ini dibahas di Dewan Pendidikan Tinggi pada September 2010 hingga menjadi hak inisiatif DPR, banyak kejanggalan yang terjadi.
Jika RUU PT jadi disahkan DPR, kata sumber tadi, maka suara-suara kritis kampus, terutama dosen, bisa dibungkam dengan cara mutasi yang menjadi kewenangan menteri atau kampus terancam tidak diberi dana oleh pemerintah. Menurut sumber GATRA pula, Djoko Santoso disebut-sebut berambisi menjadi Menteri Pendidikan pada 2014 jika mereka dianggap "berjasa" meloloskan RUU ini menjadi undang-undang.
Menurut versi sang sumber, itu sebabnya, lewat PP 66/2010, pemerintah menekan Mendikbud untuk segera "membenahi" ketujuh kampus eks BHMN itu agar segera beralih status menjadi BLU atau satker di bawah Kemendikbud. Jika sudah beralih status, akan sulit bagi ketujuh perguruan tinggi eks PT BHMN itu menjadi otonomi. "Pasalnya, nanti dalam RUU PT, ketujuh eks PT-BHMN ini tidak otomatis menjadi perguruan tinggi badan hukum. Semua tergantung penilaian menteri," ujar sumber tadi.
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Djoko Santoso, membantah anggapan adanya kepentingan pribadi, apalagi ambisi menjadi menteri. "Selentingan dari siapa? Memangnya presidennya Anda?" kata Djoko sambil tertawa kepada GATRA. Ia menilai RUU itu tidak memberi kewenangan besar kepada pemerintah yang mengekang perguruan tinggi. "Paling mungkin hanya menempatkan dalam jabatan pimpinan. Tidak sampai pada tataran operasional," ujarnya.
Soal mutasi dosen dan pencabutan gelar, lanjut Djoko, akan tetap menjadi kewenangan perguruan tinggi. Kewenangan menteri, menurut dia, tetap harus ada dalam otonomi perguruan tinggi. "Jangan sampai lepas betul karena ketika ada masalah, bisa dibantu langsung oleh pemerintah. Pemerintah, lewat peraturan pemerintah, memberikan otonomi. Tidak bisa bebas sebebas-bebasnya," Djoko menambahkan.
Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, juga menanggapi dingin tudingan itu. "Tidak benar. Itu informasi ngawur," katanya melalui pesan pendek kepada GATRA. Soal substansi RUU PT, Dipo menyatakan, itu sepenuhnya urusan Mendikbud. Sekretariat Kabinet (Setkab) tidak berurusan dengan penyusunan RUU, melainkan Sekreteriat Negara (Setneg). "Saya dan jajaran Setkab tidak urus RUU. Setneg yang urus RUU," ujarnya. (MAG)

Otonomi Kampus Terancam Diberangus


RUU Pendidikan Tinggi mendapat banyak kritik pedas. Dituding memberangus otonomi perguruan tinggi. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk ikut campur dalam tata kelola perguruan tinggi dinilai kelewat besar. NKK/BKK model baru? ---

Para profesor juga manusia, jadi bisa galau juga. Mencurahkan isi hati pun jadi jalan keluarnya. Kamis pekan lalu, rombongan guru besar yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Tujuh Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) mendadak bertandang ke kantor majalah GATRA.

Mereka datang untuk mencurahkan kerisauan hati mereka terhadap isi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang rencananya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu dekat ini.
RUU itu, dalam pandangan para akademisi tadi, berpotensi memberangus kemandirian atau otonomi perguruan tinggi. "RUU ini berpotensi menjadi NKK/BKK jilid kedua, bahkan lebih kejam," kata sosiolog dari Univesitas Indonesia (UI), Imam B. Prasodjo, yang ikut hadir dalam acara itu. Ia melihat, RUU PT memberikan kewenangan terlalu besar bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Bagaimana reaksi para petinggi pendidikan? Mendikbud Muhammad Nuh tegas membantah semua tudingan itu. "Saya jujur, nggak ada kepentingan politik. Menurut saya, RUU ini jauh dari intervensi politik berkaitan dengan 2014. Nggak tahu, ya, kalau ada yang baca seperti itu," katanya kepada GATRA. Ia menilai RUU ini malah akan menjadi RUU yang pro-rakyat karena menjamin akses 20% masyarakat miskin terhadap pendidikan tinggi.
Dari kalangan DPR, Herry Akhmadi tidak mau berkomentar banyak soal penyusunan RUU ini. Soal kepindahannya ke Komisi I, menurut Herry, itu murni rotasi biasa. "Saya tidak digusur, tetapi memang harus pindah komisi karena 11 tahun itu sudah terlalu lama di Komisi Pendidikan," tuturnya. Herry menilai, draf RUU PT banyak memuat hal positif dan tak bakal memberangus otonomi perguruan tinggi. "Karena otonomi itu dalam bidang apa dulu. Jangan lupa, pembatalan Undang-Undang BHP juga karena hal pembatasan otonomi," katanya.
Sementara itu, para rektor dari tujuh universitas BHMN tampaknya tak mau berkomentar soal ini. Rektor UI, Gumilar Rosliwa Sumantri, menolak menanggapi masalah ini. "Saya tak ada waktu," ujarnya kepada Muhammad Gufron Hidayat dari GATRA. Rektor Universitas Sumatera Utara, Syahril Pasaribu, juga tak merespons pertanyaan yang dilontarkan GATRA. Syahril sempat mengangkat telepon dari GATRA. Namun ia enggan menjawab. "Saya sedang sibuk," katanya kepada Averos Lubis dari GATRA.
Hanya Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, yang memberikan tanggapan. Lewat Sekretaris Universitas, M. Hadi Subhan, pihak Unair menyatakan dukungannya terhadap RUU PT. "Harapannya, akan ada perubahan yang lebih baik bagi kampus untuk melaksanakan tugas sosial-akademiknya," ujarnya kepada Arief Sujatmiko dari GATRA. Namun, ia menegaskan, Unair juga mengkritisi kewenangan menteri dalam urusan mutasi dosen. "Justru inilah yang membelenggu kami," ujarnya lagi.
Pengamat pendidikan Dharmantingtyas mengatakan, RUU ini tidak jauh berbeda dengan UU BHP. "Beberapa pasal dalam UU BHP masih dikutip dalam RUU PT dengan menggunakan istilah berbeda, tetapi dengan semangat sama," katanya kepada Ade Faizal Alami dari GATRA. Jika tak ada perubahan ketika disahkan nanti, Dharmaningtyas menyatakan akan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. "Pasti ada pengajuan itu. Sudah siap-siap semua," ujarnya.
M. Agung Riyadi, Haris Firdaus, Sandika Prihatnala, dan Birny Birdieni
(Lapuran Utama majalah GATRA edisi 18/31, terbit Kamis 7 Juni 2012)

Rabu, 06 Juni 2012

Tolak RUU Perguruan Tinggi Wujudkan Pendidikan Nasional yang Gratis, Ilmiah dan Demokratis


Oleh: Rusdianto Adit Amoersetya

Pendidikan Berwatak Pasar
Pelaksanaan Pendidikan Indonesia semakin jauh dari harapan, bahkan cenderung inkonsistensi terhadap tujuan dari UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbaikan dan peningkatan kualitas Pendidikan adalah syarat utama yang harus terpenuhi dalam mewujudkan tujuan pembangunan, khususnya pembangunan manusia Indonesia.

Ditengah, rendahnya tingkat kualitas pendidikan, pemerintah bukannya malakukan langkah penyelamatan pendidikan nasional, tetapi cenderung membawa pendidikan nasional kearah kehancuran.

Watak sistem pendidikan Indonesia telah berganti jubah meskipun esensinya tidaklah berbeda dengan sistim pendidikan ala Kolonial di jaman Hindia Belanda. Pendidikan nasional hanya “benar-benar mampu” di nikmati oleh golongan berekonomi menengah dan menengah ke atas. Model pendidikan nasional yang sangat kapitalistik, mengakibatkan peran pendidikan nasional semakin berubah haluan menjadi institusi pendidikan yang berwatak mencari keuntungan (Profit). Kondisi ini sangat bertolak belakang dari peranan pendidikan yakni pendidikan yang memanusiakan.

Pendidikan yang rasional kritis dan berkarakter kepribadian nasional hanya akan dapat kita selenggarakan dengan sistim pendidikan yang lebih mengabdi pada kepentingan kemanusian dan pembangunan manusia. Sistim pendidikan yang memanusiakan tentunya bukan sistim yang selama ini di praktekan oleh Negara melalui Pemerintah. Sistem Pendidikan yang berwatak pasar seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) secara subtansinya mengakomodir kepentingan keterlibatan modal asing dalam pendidikan yang berkat perlawanan banyak pihak berhasil di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sekarang pemerintah sedang menggodok sebuah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), subtansinya tetap sama dengan Undang-Undang Sebelumnya (BHP) yakni komersialisasi pendidikan.

Komersialisasi pendidikan nasional bertujuan membebaskan tanggung jawab Negara dalam bidang pendidikan. Komersialisasi ini mendorong adanya otonomi di lembaga-lembaga Pendidikan seperti Universitas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Upaya pengalihan ini di lakukan untuk mengurangi beban financial pemerintah dan menyerahkan sector pendidikan dalam arena pasar. Sejak era reformasi bergulir atas desakan IMF dan Bank Dunia pemerintah semakin massif menyerahkan pendidikan nasional ke ruang privatisasi pendidikan yang salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi. Secara filosofi, RUU PT mengandung beberapa hal pokok yakni mendorong Otonomi Kampus, Internasionalisasi Pendidikan dan Otonomi Kurikulum.

Pertama : Semangat otonomi kampus
Neoliberalisme semakin mencengkeram pendidikan nasional. Sistem pendidikan sepenuhnya sudah di sesuaikan dengan mekanisme pasar, hal ini di tandai dengan semakin kuatnya dominasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Sedangkan pemerintah maupun DPR begitu konsisten menelurkan kebijakan di bidang pendidikan yang berorientasi bisnis menyebabkan Perguruan Tinggi saat ini, cenderung beroperasi sebagai perusahaan. 

Kemudian konsep BHMN yang digagas oleh pemerintah di tahun 1998 yang pada awalnya untuk membebaskan kampus dari kungkungan birokrasi seperti Orde Baru. Belakangan konsep ini bergulir ke arah otonomi Universitas. Syarat utama bagi komersialisasi pendidikan adalah keharusan negara melepaskan peranan dan tanggung jawabnya dalam mengurusi pendidikan. Peranan ini terutama sekali dalam urusan anggaran atau biaya operasional pendidikan. Bantuan pemerintah yang semakin mengecil mengharuskan Universitas mencari inovasi baru dalam memenuhi anggaran operasional pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu pengelola perguruan tinggi harus berfikir ekonomis dalam meningkatkan spesialisasi pemasaran dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif. 

Setelah UU BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka lahirlah anggapan bahwa terjadi kekosongan payung hukum dalam menyelanggarakan pendidikan terutama bagi PT. BHMN. Padahal kenyataannya tidaklah demikian karena UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional begitu eksis di laksanakan oleh pemerintah. Meskipun selalu dikatakan oleh pemerintah bahwa RUU Perguruan Tinggi bukan pengganti UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tapi pada kenyataannya isi kandungan RUU Perguruan Tinggi tidak ubahnya UU BHP. Kenyataan ini dapat kita lihat dari isi RUU Perguruan Tinggi Itu Sendiri.

Pertama: Perguruan Tinggi kembali di klasifikasikan ke bentuk semula, yakni: Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTN masih diklasifikasikan lagi menjadi PTN Otonom, Semi otonom dan otonom terbatas. Melalui klasifikasi semacam ini pemerintah memberikan mandat penyelengaraan pendidikan dalam bentuk status badan hukum. Hal yang membedakan hanyalah pada cara pengelolaan keuangan. Akan tetapi secara prinsipil pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam pengelolaan pendidikan. 

Kedua : Hilangnya peranan pemerintah dalam dunia pendidikan semakin berwujud nyata dalam pengaturan pendanaan pendidikan. Bahkan dalam RUU PT pemerintah tidak tanggung-tanggung melepaskan beban biaya operasional pendidikan kepada mahasiswa. Mahasiswa harus menanggung sepertiga (1/3) biaya operasional pendidikan. Bisa dibayangkan, dengan beban tangungan yang begitu berat, Perguruan Tinggi akan semakin sulit diakses dan potensi mahasiswa yang tidak sangup malanjutkan masa studi di Perguruan Tinggi akan semakin terbuka lebar. 

Ketiga: Perguruan Tinggi baik PTN maupun PTS akan memaksimalkan perolehan anggaran pengelolaan perguruan tinggi lewat penerimaan mahasiswa baru. Jalur peneriman mahasiswa baru di buat beragam (SNPTN, Jalur Undangan, bahkan “jalur KKN” dalam penerimaan mahasiswa baru dari keluarga mampu) dengan tingkat nilai pembayaran yang berdeda. Dalam tahun ajaran 2011/2012 untuk registrasi setelah melewati ujian SNMPTN maupun ujian mandiri, setiap peserta didik harus membayar nilai yang cukup tinggi yakni Rp.7,5 juta bahkan bisa sampai nilai ratusan juta rupiah. Pembayaran ini diluar biaya pendaftaran mahasiswa baru yang juga jenis pembayarannya sangat beragam tergantung jenis ujian yang di ikuti. 

Kedua : internasionalisasi pendidikan
Ada berbagai alasan yang di kemukakan oleh pemerintah terkait dengan agenda internasionalisasi pendidikan, di antaranya adalah penyelengaraan pembelajaran bertaraf internasional yang akan di lakukan melalui pengintergrasian dimensi internasional dan lintas budaya. Usaha pemerintah menginternasionalisasikan pendidikan sudah di lakukan jauh hari sebelumnya. Perintisan sekolah-sekolah bertaraf internasional adalah salah satu wujudnya. Pemahaman pemerintah yang sangat neoliberalistik melahirkan pikiran-pikiran dan analisis pembangunan pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan semangat UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika memang alasan pemerintah masih berdasarkan bahwa internasionalisasi pendidikan bertujuan membentuk masyarakat intelektual mandiri, maka ini salah kaprah, karena syarat pembangunan pendidikan nasional haruslah berakar pada nilai-nilai kepribadian bangsa, bukan dengan jalan mengglobalisasikan pendidikan nasional. Di sisi lain internasionalisasi pendidikan akan semakin membuka ruang kapitalisasi pendidikan. 

Otonomi Universitas telah melahirkan persaingan liar antar perguruan tinggi dalam negeri. Hal ini akan semakin diperparah dengan dibukanya ruang bagi lembaga-lembaga pendidikan asing beroperasi didalam negeri. Sementara, dilain sisi Pendidikan nasional sangat berorientasi pasar. Akibatnya Internasionalisasi pendidikan akan melahirkan persaingan baru antara modal asing dan nasional. Ironisnya, lagi-lagi calon ataupun peserta didik jadi korban persaingan kapital yang bergerak dibidang pendidikan yang berlomba-lomba menggali keuntungan dibidang pendidikan.

Ketiga: Otonomi Kurikulum
Konsep pendidikan nasional yang berwatak dagang, pendidikan hanya di posisikan sebagai penyedia Sumber Daya Manusia murah. Sebagai syarat Sumber Daya Manusia murah ini dapat terpakai di pasar tenaga kerja maka pendidikan harus menyediakan pengetahuan yang berkesesuaian dengan logika dan kebutuhan pasar. Hal ini akan mendorong lembaga-lembaga pendidikan menyediakan kurikulum yang memiliki nilai jual dan menghapuskan semua kurikulum pendidikan yang tidak produktif bagi pasar.

Cerminan tingkat kemajuan suatu bangsa adalah pada tingkat kualitas pengetahuan suatu bangsa, membangun manusia Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dengan membangun pendidikan nasional. Oleh karena itu pembangunan pendidikan nasional harus mampu menterjermahkan nilai-nilai kepribadian, pengetahuan dan sejarah bangsa dalam bentuk kurikulum pendidikan.

Kewajiban Pemerintah Terhadap Pendidikan
Tujuan dari perjuangan panjang bangsa untuk memerdekakan diri dari jajahan imperialisme adalah mencapai Indonesia yang kehidupan masyarakatnya adil dan makmur. Seperti yang selalu di katakan oleh Bung Karno, kemerdekaan politiklah yang akan menjadi jembatan emas mencapai masyarakat indonesia adil dan makmur. Masyarakat adil dan makmur yang dimaksudkan Soekarno tidak cukup hanya sebatas sandang dan pangan akan tetapi juga akses masyarakat terhadap pendidikan. Sehingga kemerdekaan bangsa dalam menentukan arah pembangunan pendidikan nasional akan sangat berpengaruh. Kemerdekaan inilah yang tidak di miliki oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan nasional saat ini. Kepentingan Neoliberalisme yang dijalankan oleh pemerintah menghilangkan kemerdekaan Negara dalam menentukan sikap terhadap pengalokasian anggaran pendidikan dan perlindungan terhadap pembangunan pendidikan nasional. 

Lempar tanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan semakin terlihat dalam Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang memberikan ruang semakin luas kepada swasta dalam mengelola pendidikan akan berakibat semakin hancurnya karakter pendidikan nasional. Tangung jawab pendidikan yang di serahkan pada swasta akan menyebabkan tanggungan beban pendidikan akan semakin menyengsarakan peserta didik, pendidikan akan semakin menjadi barang komoditi yang diperjualbelikan. Tingginya biaya pendidikan dan tanpa adanya perlindungan dari pemerintah, akses pendidikan bagi mayoritas masyarakat miskin Indonesia akan semakin sulit. Pembukaan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat dalam mengenyam pendidikan adalah prioritas utama yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan nasional. 

Ketika Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) tetap akan disahkan dan dijalankan oleh pemerintah, maka keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama secara nasional akan menjadi mustahil untuk diwujudkan. Terutama bagi kaum miskin yang mayoritas menghuni bangsa indonesia.

Tujuan pendidikan yang berkepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan terwujud dalam pendidikan yang berorientasi pada kepentingan profit modal. Pendidikan tidak membawa transformasi sosial dalam masyarakat, justru menjadi sumber utama eksploitasi kemanusian. Hal ini terbukti dengan anggaran pendidikan yang sangat minim. Anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah pada tahun ini juga tidak ada perubahan signifikan dalam membiayai pendidikan. tahun ini pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp. 289,9 Triliun.

Alokasi anggaran pendidikan meskipun dalam logika pemerintah sudah cukup besar. Tetapi tetap saja alokasi anggaran pendidikan ini sangat minim dan begitu kontradiktif dengan tingginya angka putus sekolah atau jika dibandingkan dengan kesuksesan pendidikan di Negara-Negara Amerika Latin, misalkan, Venezuela yang menggratiskan pendidikan di semua jenjang pendidikan.

Pendidikan nasional berbasis kurikulum pasar akan menghalangi peserta didik untuk mengasah pikiran dan mewujudkan potensi, hanya akan merenggut kebebasan belajar anak didik. Sehingga kita tidak dapat membiarkan sistem pendidikan yang menghancurkan nilai-nilai luhur dan persatuan bangsa.

Pemerintah sudah sewajibnya melakukan hal-hal berikut:
  1. Menggratiskan pendidikan di semua jenjang, dengan jalan pembiayaan dari Alokasi anggaran APBN yang lebih Besar serta mencabut semua perundangan-undangan (neoliberal) yang memberikan ruang komersialisasi pendidikan seperti UU Sisdiknas, RUU Perguruan Tinggi dll, untuk mewujudkan Pendidikan Nasional yang Gratis, Ilmiah dan Demokratis

  2. Memperbaiki dan menambah infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesia sampai memenuhi standar kualitas yang memadai, lengkap dan modern.

  3. Mengubah Kurikulum pendidikan dengan kurikulum yang lebih demokratis, humanis, produktif, dan Modern sebagai jalan Industrialisasi Nasional (penciptaan lapangan kerja) untuk kesejahteraan rakyat.
Sumber:  http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/06/tolak-ruu-perguruan-tinggi-wujudkan-pendidikan-nasional-yang-gratis-ilmiah-dan-demokratis/