Oleh: Rusdianto Adit Amoersetya
Pendidikan Berwatak Pasar
Pelaksanaan
Pendidikan Indonesia semakin jauh dari harapan, bahkan cenderung
inkonsistensi terhadap tujuan dari UUD 1945, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa. Perbaikan dan peningkatan kualitas Pendidikan adalah
syarat utama yang harus terpenuhi dalam mewujudkan tujuan pembangunan,
khususnya pembangunan manusia Indonesia.
Ditengah,
rendahnya tingkat kualitas pendidikan, pemerintah bukannya malakukan
langkah penyelamatan pendidikan nasional, tetapi cenderung membawa
pendidikan nasional kearah kehancuran.
Watak
sistem pendidikan Indonesia telah berganti jubah meskipun esensinya
tidaklah berbeda dengan sistim pendidikan ala Kolonial di jaman Hindia
Belanda. Pendidikan nasional hanya “benar-benar mampu” di nikmati oleh
golongan berekonomi menengah dan menengah ke atas. Model pendidikan
nasional yang sangat kapitalistik, mengakibatkan peran pendidikan
nasional semakin berubah haluan menjadi institusi pendidikan yang
berwatak mencari keuntungan (Profit). Kondisi ini sangat bertolak
belakang dari peranan pendidikan yakni pendidikan yang memanusiakan.
Pendidikan
yang rasional kritis dan berkarakter kepribadian nasional hanya akan
dapat kita selenggarakan dengan sistim pendidikan yang lebih mengabdi
pada kepentingan kemanusian dan pembangunan manusia. Sistim pendidikan
yang memanusiakan tentunya bukan sistim yang selama ini di praktekan
oleh Negara melalui Pemerintah. Sistem Pendidikan yang berwatak pasar
seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU
Badan Hukum Pendidikan (BHP) secara subtansinya mengakomodir
kepentingan keterlibatan modal asing dalam pendidikan yang berkat
perlawanan banyak pihak berhasil di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK). Sekarang pemerintah sedang menggodok sebuah Rancangan
Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), subtansinya tetap sama dengan
Undang-Undang Sebelumnya (BHP) yakni komersialisasi pendidikan.
Komersialisasi
pendidikan nasional bertujuan membebaskan tanggung jawab Negara dalam
bidang pendidikan. Komersialisasi ini mendorong adanya otonomi di
lembaga-lembaga Pendidikan seperti Universitas untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Upaya pengalihan ini di lakukan untuk mengurangi
beban financial pemerintah dan menyerahkan sector pendidikan dalam arena
pasar. Sejak era reformasi bergulir atas desakan IMF dan Bank Dunia
pemerintah semakin massif menyerahkan pendidikan nasional ke ruang
privatisasi pendidikan yang salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang
Perguruan Tinggi. Secara filosofi, RUU PT mengandung beberapa hal pokok
yakni mendorong Otonomi Kampus, Internasionalisasi Pendidikan dan
Otonomi Kurikulum.
Pertama : Semangat otonomi kampus
Neoliberalisme semakin mencengkeram pendidikan nasional. Sistem pendidikan sepenuhnya sudah di sesuaikan dengan mekanisme pasar, hal ini di tandai dengan semakin kuatnya dominasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Sedangkan pemerintah maupun
DPR begitu konsisten menelurkan kebijakan di bidang pendidikan yang
berorientasi bisnis menyebabkan Perguruan Tinggi saat ini, cenderung
beroperasi sebagai perusahaan.
Kemudian konsep BHMN yang digagas oleh pemerintah di tahun 1998 yang pada awalnya untuk membebaskan kampus dari kungkungan birokrasi seperti Orde Baru. Belakangan konsep ini bergulir ke
arah otonomi Universitas. Syarat utama bagi komersialisasi pendidikan
adalah keharusan negara melepaskan peranan dan tanggung jawabnya dalam
mengurusi pendidikan. Peranan ini
terutama sekali dalam urusan anggaran atau biaya operasional pendidikan.
Bantuan pemerintah yang semakin mengecil mengharuskan Universitas
mencari inovasi baru dalam memenuhi anggaran operasional pelaksanaan
pendidikan. Oleh karena itu pengelola perguruan tinggi harus berfikir
ekonomis dalam meningkatkan spesialisasi pemasaran dan perencanaan
strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan
memusatkan perhatian pada bidang ilmu yang mempunyai keuntungan
komperatif.
Setelah
UU BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka lahirlah anggapan
bahwa terjadi kekosongan payung hukum dalam menyelanggarakan pendidikan
terutama bagi PT. BHMN. Padahal kenyataannya tidaklah demikian karena
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional begitu eksis di
laksanakan oleh pemerintah. Meskipun selalu dikatakan oleh pemerintah
bahwa RUU Perguruan Tinggi bukan pengganti UU Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP) tapi pada kenyataannya isi kandungan RUU Perguruan Tinggi tidak
ubahnya UU BHP. Kenyataan ini dapat kita lihat dari isi RUU Perguruan
Tinggi Itu Sendiri.
Pertama: Perguruan Tinggi kembali di klasifikasikan
ke bentuk semula, yakni: Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan
Tinggi Swasta (PTS). PTN masih diklasifikasikan lagi menjadi PTN Otonom,
Semi otonom dan otonom terbatas.
Melalui klasifikasi semacam ini pemerintah memberikan mandat
penyelengaraan pendidikan dalam bentuk status badan hukum. Hal yang
membedakan hanyalah pada cara pengelolaan keuangan. Akan tetapi secara
prinsipil pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam pengelolaan
pendidikan.
Kedua
: Hilangnya peranan pemerintah dalam dunia pendidikan semakin berwujud
nyata dalam pengaturan pendanaan pendidikan. Bahkan dalam RUU PT
pemerintah tidak tanggung-tanggung melepaskan beban biaya operasional
pendidikan kepada mahasiswa. Mahasiswa harus menanggung sepertiga (1/3)
biaya operasional pendidikan. Bisa dibayangkan, dengan beban tangungan
yang begitu berat, Perguruan Tinggi akan semakin sulit diakses dan
potensi mahasiswa yang tidak sangup malanjutkan masa studi di Perguruan
Tinggi akan semakin terbuka lebar.
Ketiga: Perguruan Tinggi baik PTN maupun PTS akan memaksimalkan perolehan anggaran pengelolaan perguruan tinggi lewat penerimaan mahasiswa baru. Jalur peneriman mahasiswa baru di buat beragam (SNPTN, Jalur Undangan, bahkan “jalur
KKN” dalam penerimaan mahasiswa baru dari keluarga mampu) dengan
tingkat nilai pembayaran yang berdeda. Dalam tahun ajaran 2011/2012
untuk registrasi setelah melewati ujian SNMPTN maupun ujian mandiri,
setiap peserta didik harus membayar nilai yang cukup tinggi yakni Rp.7,5
juta bahkan bisa sampai nilai ratusan juta rupiah. Pembayaran ini
diluar biaya pendaftaran mahasiswa baru yang juga jenis pembayarannya sangat beragam tergantung jenis ujian yang di ikuti.
Kedua : internasionalisasi pendidikan
Ada
berbagai alasan yang di kemukakan oleh pemerintah terkait dengan agenda
internasionalisasi pendidikan, di antaranya adalah penyelengaraan
pembelajaran bertaraf internasional yang akan di lakukan melalui
pengintergrasian dimensi internasional dan lintas budaya. Usaha
pemerintah menginternasionalisasikan pendidikan sudah di lakukan jauh
hari sebelumnya. Perintisan sekolah-sekolah bertaraf internasional adalah salah satu wujudnya. Pemahaman pemerintah yang sangat neoliberalistik melahirkan pikiran-pikiran dan
analisis pembangunan pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan
semangat UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika memang
alasan pemerintah masih berdasarkan bahwa internasionalisasi pendidikan bertujuan
membentuk masyarakat intelektual mandiri, maka ini salah kaprah, karena
syarat pembangunan pendidikan nasional haruslah berakar pada
nilai-nilai kepribadian bangsa, bukan dengan jalan mengglobalisasikan
pendidikan nasional. Di sisi lain internasionalisasi pendidikan akan semakin membuka ruang kapitalisasi pendidikan.
Otonomi
Universitas telah melahirkan persaingan liar antar perguruan tinggi
dalam negeri. Hal ini akan semakin diperparah dengan dibukanya ruang
bagi lembaga-lembaga pendidikan asing beroperasi didalam negeri.
Sementara, dilain sisi Pendidikan nasional sangat berorientasi pasar.
Akibatnya Internasionalisasi pendidikan akan melahirkan persaingan baru
antara modal asing dan nasional. Ironisnya, lagi-lagi calon ataupun
peserta didik jadi korban persaingan kapital yang bergerak dibidang
pendidikan yang berlomba-lomba menggali keuntungan dibidang pendidikan.
Ketiga: Otonomi Kurikulum
Konsep
pendidikan nasional yang berwatak dagang, pendidikan hanya di posisikan
sebagai penyedia Sumber Daya Manusia murah. Sebagai syarat Sumber Daya
Manusia murah ini dapat terpakai di pasar tenaga kerja maka pendidikan
harus menyediakan pengetahuan yang berkesesuaian dengan logika dan
kebutuhan pasar. Hal ini akan mendorong lembaga-lembaga pendidikan
menyediakan kurikulum yang memiliki nilai jual dan menghapuskan semua
kurikulum pendidikan yang tidak produktif bagi pasar.
Cerminan tingkat kemajuan suatu bangsa adalah pada tingkat kualitas pengetahuan
suatu bangsa, membangun manusia Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dengan membangun pendidikan nasional. Oleh karena itu pembangunan
pendidikan nasional harus mampu menterjermahkan nilai-nilai kepribadian,
pengetahuan dan sejarah bangsa dalam bentuk kurikulum pendidikan.
Kewajiban Pemerintah Terhadap Pendidikan
Tujuan
dari perjuangan panjang bangsa untuk memerdekakan diri dari jajahan
imperialisme adalah mencapai Indonesia yang kehidupan masyarakatnya adil
dan makmur. Seperti yang selalu di katakan oleh Bung Karno, kemerdekaan
politiklah yang akan menjadi jembatan emas mencapai masyarakat
indonesia adil dan makmur. Masyarakat adil dan makmur yang dimaksudkan
Soekarno tidak cukup hanya sebatas sandang dan pangan akan tetapi juga
akses masyarakat terhadap pendidikan. Sehingga kemerdekaan bangsa dalam
menentukan arah pembangunan pendidikan nasional akan sangat berpengaruh.
Kemerdekaan inilah yang tidak di miliki oleh pemerintah dan
lembaga-lembaga pendidikan nasional saat ini. Kepentingan Neoliberalisme
yang dijalankan oleh pemerintah menghilangkan kemerdekaan Negara dalam
menentukan sikap terhadap pengalokasian anggaran pendidikan dan
perlindungan terhadap pembangunan pendidikan nasional.
Lempar
tanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan semakin terlihat dalam
Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang memberikan ruang
semakin luas kepada swasta dalam mengelola pendidikan akan berakibat
semakin hancurnya karakter pendidikan nasional. Tangung jawab pendidikan
yang di serahkan pada swasta akan menyebabkan tanggungan beban
pendidikan akan semakin menyengsarakan peserta didik, pendidikan
akan semakin menjadi barang komoditi yang diperjualbelikan. Tingginya
biaya pendidikan dan tanpa adanya perlindungan dari pemerintah, akses
pendidikan bagi mayoritas masyarakat miskin Indonesia akan semakin
sulit. Pembukaan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat dalam mengenyam
pendidikan adalah prioritas utama yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan nasional.
Ketika Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) tetap akan disahkan dan dijalankan oleh pemerintah, maka keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan
yang sama secara nasional akan menjadi mustahil untuk diwujudkan.
Terutama bagi kaum miskin yang mayoritas menghuni bangsa indonesia.
Tujuan
pendidikan yang berkepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan
terwujud dalam pendidikan yang berorientasi pada kepentingan profit
modal. Pendidikan tidak membawa transformasi sosial dalam masyarakat,
justru menjadi sumber utama eksploitasi kemanusian. Hal ini terbukti
dengan anggaran pendidikan yang sangat minim. Anggaran pendidikan yang
dialokasikan pemerintah pada tahun ini juga tidak ada perubahan
signifikan dalam membiayai pendidikan. tahun ini pemerintah hanya
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp. 289,9 Triliun.
Alokasi anggaran pendidikan meskipun dalam logika pemerintah sudah cukup besar. Tetapi
tetap saja alokasi anggaran pendidikan ini sangat minim dan begitu
kontradiktif dengan tingginya angka putus sekolah atau jika dibandingkan
dengan kesuksesan pendidikan di Negara-Negara Amerika Latin, misalkan,
Venezuela yang menggratiskan pendidikan di semua jenjang pendidikan.
Pendidikan
nasional berbasis kurikulum pasar akan menghalangi peserta didik untuk
mengasah pikiran dan mewujudkan potensi, hanya akan merenggut kebebasan
belajar anak didik. Sehingga kita tidak dapat membiarkan sistem
pendidikan yang menghancurkan nilai-nilai luhur dan persatuan bangsa.
Pemerintah sudah sewajibnya melakukan hal-hal berikut:
- Menggratiskan pendidikan di semua jenjang, dengan jalan pembiayaan dari Alokasi anggaran APBN yang lebih Besar serta mencabut semua perundangan-undangan (neoliberal) yang memberikan ruang komersialisasi pendidikan seperti UU Sisdiknas, RUU Perguruan Tinggi dll, untuk mewujudkan Pendidikan Nasional yang Gratis, Ilmiah dan Demokratis
- Memperbaiki dan menambah infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesia sampai memenuhi standar kualitas yang memadai, lengkap dan modern.
- Mengubah Kurikulum pendidikan dengan kurikulum yang lebih demokratis, humanis, produktif, dan Modern sebagai jalan Industrialisasi Nasional (penciptaan lapangan kerja) untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar