lennon

lennon

Rabu, 06 Juni 2012

Tolak RUU Perguruan Tinggi Wujudkan Pendidikan Nasional yang Gratis, Ilmiah dan Demokratis


Oleh: Rusdianto Adit Amoersetya

Pendidikan Berwatak Pasar
Pelaksanaan Pendidikan Indonesia semakin jauh dari harapan, bahkan cenderung inkonsistensi terhadap tujuan dari UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbaikan dan peningkatan kualitas Pendidikan adalah syarat utama yang harus terpenuhi dalam mewujudkan tujuan pembangunan, khususnya pembangunan manusia Indonesia.

Ditengah, rendahnya tingkat kualitas pendidikan, pemerintah bukannya malakukan langkah penyelamatan pendidikan nasional, tetapi cenderung membawa pendidikan nasional kearah kehancuran.

Watak sistem pendidikan Indonesia telah berganti jubah meskipun esensinya tidaklah berbeda dengan sistim pendidikan ala Kolonial di jaman Hindia Belanda. Pendidikan nasional hanya “benar-benar mampu” di nikmati oleh golongan berekonomi menengah dan menengah ke atas. Model pendidikan nasional yang sangat kapitalistik, mengakibatkan peran pendidikan nasional semakin berubah haluan menjadi institusi pendidikan yang berwatak mencari keuntungan (Profit). Kondisi ini sangat bertolak belakang dari peranan pendidikan yakni pendidikan yang memanusiakan.

Pendidikan yang rasional kritis dan berkarakter kepribadian nasional hanya akan dapat kita selenggarakan dengan sistim pendidikan yang lebih mengabdi pada kepentingan kemanusian dan pembangunan manusia. Sistim pendidikan yang memanusiakan tentunya bukan sistim yang selama ini di praktekan oleh Negara melalui Pemerintah. Sistem Pendidikan yang berwatak pasar seperti UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) secara subtansinya mengakomodir kepentingan keterlibatan modal asing dalam pendidikan yang berkat perlawanan banyak pihak berhasil di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sekarang pemerintah sedang menggodok sebuah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT), subtansinya tetap sama dengan Undang-Undang Sebelumnya (BHP) yakni komersialisasi pendidikan.

Komersialisasi pendidikan nasional bertujuan membebaskan tanggung jawab Negara dalam bidang pendidikan. Komersialisasi ini mendorong adanya otonomi di lembaga-lembaga Pendidikan seperti Universitas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Upaya pengalihan ini di lakukan untuk mengurangi beban financial pemerintah dan menyerahkan sector pendidikan dalam arena pasar. Sejak era reformasi bergulir atas desakan IMF dan Bank Dunia pemerintah semakin massif menyerahkan pendidikan nasional ke ruang privatisasi pendidikan yang salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi. Secara filosofi, RUU PT mengandung beberapa hal pokok yakni mendorong Otonomi Kampus, Internasionalisasi Pendidikan dan Otonomi Kurikulum.

Pertama : Semangat otonomi kampus
Neoliberalisme semakin mencengkeram pendidikan nasional. Sistem pendidikan sepenuhnya sudah di sesuaikan dengan mekanisme pasar, hal ini di tandai dengan semakin kuatnya dominasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Sedangkan pemerintah maupun DPR begitu konsisten menelurkan kebijakan di bidang pendidikan yang berorientasi bisnis menyebabkan Perguruan Tinggi saat ini, cenderung beroperasi sebagai perusahaan. 

Kemudian konsep BHMN yang digagas oleh pemerintah di tahun 1998 yang pada awalnya untuk membebaskan kampus dari kungkungan birokrasi seperti Orde Baru. Belakangan konsep ini bergulir ke arah otonomi Universitas. Syarat utama bagi komersialisasi pendidikan adalah keharusan negara melepaskan peranan dan tanggung jawabnya dalam mengurusi pendidikan. Peranan ini terutama sekali dalam urusan anggaran atau biaya operasional pendidikan. Bantuan pemerintah yang semakin mengecil mengharuskan Universitas mencari inovasi baru dalam memenuhi anggaran operasional pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu pengelola perguruan tinggi harus berfikir ekonomis dalam meningkatkan spesialisasi pemasaran dan perencanaan strategisnya. Dalam rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif. 

Setelah UU BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka lahirlah anggapan bahwa terjadi kekosongan payung hukum dalam menyelanggarakan pendidikan terutama bagi PT. BHMN. Padahal kenyataannya tidaklah demikian karena UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional begitu eksis di laksanakan oleh pemerintah. Meskipun selalu dikatakan oleh pemerintah bahwa RUU Perguruan Tinggi bukan pengganti UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tapi pada kenyataannya isi kandungan RUU Perguruan Tinggi tidak ubahnya UU BHP. Kenyataan ini dapat kita lihat dari isi RUU Perguruan Tinggi Itu Sendiri.

Pertama: Perguruan Tinggi kembali di klasifikasikan ke bentuk semula, yakni: Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). PTN masih diklasifikasikan lagi menjadi PTN Otonom, Semi otonom dan otonom terbatas. Melalui klasifikasi semacam ini pemerintah memberikan mandat penyelengaraan pendidikan dalam bentuk status badan hukum. Hal yang membedakan hanyalah pada cara pengelolaan keuangan. Akan tetapi secara prinsipil pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam pengelolaan pendidikan. 

Kedua : Hilangnya peranan pemerintah dalam dunia pendidikan semakin berwujud nyata dalam pengaturan pendanaan pendidikan. Bahkan dalam RUU PT pemerintah tidak tanggung-tanggung melepaskan beban biaya operasional pendidikan kepada mahasiswa. Mahasiswa harus menanggung sepertiga (1/3) biaya operasional pendidikan. Bisa dibayangkan, dengan beban tangungan yang begitu berat, Perguruan Tinggi akan semakin sulit diakses dan potensi mahasiswa yang tidak sangup malanjutkan masa studi di Perguruan Tinggi akan semakin terbuka lebar. 

Ketiga: Perguruan Tinggi baik PTN maupun PTS akan memaksimalkan perolehan anggaran pengelolaan perguruan tinggi lewat penerimaan mahasiswa baru. Jalur peneriman mahasiswa baru di buat beragam (SNPTN, Jalur Undangan, bahkan “jalur KKN” dalam penerimaan mahasiswa baru dari keluarga mampu) dengan tingkat nilai pembayaran yang berdeda. Dalam tahun ajaran 2011/2012 untuk registrasi setelah melewati ujian SNMPTN maupun ujian mandiri, setiap peserta didik harus membayar nilai yang cukup tinggi yakni Rp.7,5 juta bahkan bisa sampai nilai ratusan juta rupiah. Pembayaran ini diluar biaya pendaftaran mahasiswa baru yang juga jenis pembayarannya sangat beragam tergantung jenis ujian yang di ikuti. 

Kedua : internasionalisasi pendidikan
Ada berbagai alasan yang di kemukakan oleh pemerintah terkait dengan agenda internasionalisasi pendidikan, di antaranya adalah penyelengaraan pembelajaran bertaraf internasional yang akan di lakukan melalui pengintergrasian dimensi internasional dan lintas budaya. Usaha pemerintah menginternasionalisasikan pendidikan sudah di lakukan jauh hari sebelumnya. Perintisan sekolah-sekolah bertaraf internasional adalah salah satu wujudnya. Pemahaman pemerintah yang sangat neoliberalistik melahirkan pikiran-pikiran dan analisis pembangunan pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan semangat UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika memang alasan pemerintah masih berdasarkan bahwa internasionalisasi pendidikan bertujuan membentuk masyarakat intelektual mandiri, maka ini salah kaprah, karena syarat pembangunan pendidikan nasional haruslah berakar pada nilai-nilai kepribadian bangsa, bukan dengan jalan mengglobalisasikan pendidikan nasional. Di sisi lain internasionalisasi pendidikan akan semakin membuka ruang kapitalisasi pendidikan. 

Otonomi Universitas telah melahirkan persaingan liar antar perguruan tinggi dalam negeri. Hal ini akan semakin diperparah dengan dibukanya ruang bagi lembaga-lembaga pendidikan asing beroperasi didalam negeri. Sementara, dilain sisi Pendidikan nasional sangat berorientasi pasar. Akibatnya Internasionalisasi pendidikan akan melahirkan persaingan baru antara modal asing dan nasional. Ironisnya, lagi-lagi calon ataupun peserta didik jadi korban persaingan kapital yang bergerak dibidang pendidikan yang berlomba-lomba menggali keuntungan dibidang pendidikan.

Ketiga: Otonomi Kurikulum
Konsep pendidikan nasional yang berwatak dagang, pendidikan hanya di posisikan sebagai penyedia Sumber Daya Manusia murah. Sebagai syarat Sumber Daya Manusia murah ini dapat terpakai di pasar tenaga kerja maka pendidikan harus menyediakan pengetahuan yang berkesesuaian dengan logika dan kebutuhan pasar. Hal ini akan mendorong lembaga-lembaga pendidikan menyediakan kurikulum yang memiliki nilai jual dan menghapuskan semua kurikulum pendidikan yang tidak produktif bagi pasar.

Cerminan tingkat kemajuan suatu bangsa adalah pada tingkat kualitas pengetahuan suatu bangsa, membangun manusia Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dengan membangun pendidikan nasional. Oleh karena itu pembangunan pendidikan nasional harus mampu menterjermahkan nilai-nilai kepribadian, pengetahuan dan sejarah bangsa dalam bentuk kurikulum pendidikan.

Kewajiban Pemerintah Terhadap Pendidikan
Tujuan dari perjuangan panjang bangsa untuk memerdekakan diri dari jajahan imperialisme adalah mencapai Indonesia yang kehidupan masyarakatnya adil dan makmur. Seperti yang selalu di katakan oleh Bung Karno, kemerdekaan politiklah yang akan menjadi jembatan emas mencapai masyarakat indonesia adil dan makmur. Masyarakat adil dan makmur yang dimaksudkan Soekarno tidak cukup hanya sebatas sandang dan pangan akan tetapi juga akses masyarakat terhadap pendidikan. Sehingga kemerdekaan bangsa dalam menentukan arah pembangunan pendidikan nasional akan sangat berpengaruh. Kemerdekaan inilah yang tidak di miliki oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan nasional saat ini. Kepentingan Neoliberalisme yang dijalankan oleh pemerintah menghilangkan kemerdekaan Negara dalam menentukan sikap terhadap pengalokasian anggaran pendidikan dan perlindungan terhadap pembangunan pendidikan nasional. 

Lempar tanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan semakin terlihat dalam Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang memberikan ruang semakin luas kepada swasta dalam mengelola pendidikan akan berakibat semakin hancurnya karakter pendidikan nasional. Tangung jawab pendidikan yang di serahkan pada swasta akan menyebabkan tanggungan beban pendidikan akan semakin menyengsarakan peserta didik, pendidikan akan semakin menjadi barang komoditi yang diperjualbelikan. Tingginya biaya pendidikan dan tanpa adanya perlindungan dari pemerintah, akses pendidikan bagi mayoritas masyarakat miskin Indonesia akan semakin sulit. Pembukaan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat dalam mengenyam pendidikan adalah prioritas utama yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan nasional. 

Ketika Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) tetap akan disahkan dan dijalankan oleh pemerintah, maka keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama secara nasional akan menjadi mustahil untuk diwujudkan. Terutama bagi kaum miskin yang mayoritas menghuni bangsa indonesia.

Tujuan pendidikan yang berkepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan terwujud dalam pendidikan yang berorientasi pada kepentingan profit modal. Pendidikan tidak membawa transformasi sosial dalam masyarakat, justru menjadi sumber utama eksploitasi kemanusian. Hal ini terbukti dengan anggaran pendidikan yang sangat minim. Anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah pada tahun ini juga tidak ada perubahan signifikan dalam membiayai pendidikan. tahun ini pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp. 289,9 Triliun.

Alokasi anggaran pendidikan meskipun dalam logika pemerintah sudah cukup besar. Tetapi tetap saja alokasi anggaran pendidikan ini sangat minim dan begitu kontradiktif dengan tingginya angka putus sekolah atau jika dibandingkan dengan kesuksesan pendidikan di Negara-Negara Amerika Latin, misalkan, Venezuela yang menggratiskan pendidikan di semua jenjang pendidikan.

Pendidikan nasional berbasis kurikulum pasar akan menghalangi peserta didik untuk mengasah pikiran dan mewujudkan potensi, hanya akan merenggut kebebasan belajar anak didik. Sehingga kita tidak dapat membiarkan sistem pendidikan yang menghancurkan nilai-nilai luhur dan persatuan bangsa.

Pemerintah sudah sewajibnya melakukan hal-hal berikut:
  1. Menggratiskan pendidikan di semua jenjang, dengan jalan pembiayaan dari Alokasi anggaran APBN yang lebih Besar serta mencabut semua perundangan-undangan (neoliberal) yang memberikan ruang komersialisasi pendidikan seperti UU Sisdiknas, RUU Perguruan Tinggi dll, untuk mewujudkan Pendidikan Nasional yang Gratis, Ilmiah dan Demokratis

  2. Memperbaiki dan menambah infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesia sampai memenuhi standar kualitas yang memadai, lengkap dan modern.

  3. Mengubah Kurikulum pendidikan dengan kurikulum yang lebih demokratis, humanis, produktif, dan Modern sebagai jalan Industrialisasi Nasional (penciptaan lapangan kerja) untuk kesejahteraan rakyat.
Sumber:  http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/06/tolak-ruu-perguruan-tinggi-wujudkan-pendidikan-nasional-yang-gratis-ilmiah-dan-demokratis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar