lennon

lennon

Senin, 18 Juni 2012

PAHAM KEDAULATAN RAKYAT DALAM BINGKAI KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Andy Wiyanto


Tahun 1908 menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia karena pada tahun ini tujuan bersama telah dirumuskan oleh pemudi-pemuda yang memiliki latar belakang yang sama dalam kongres pemuda pertama. Adanya kesadaran yang demikian sebagai titik nadir dari perjalanan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Artinya kita beranjak tidak dari golongan tertentu dan kemerdekaan merupakan cita-cita bersama.

Indonesia dirumuskan sebagai negara yang menyerahkan pemerintahnya kepada masyarakat (baca: republik), dengan demikian pemerintahan tidak didasarkan atas satu orang atau bahkan satu golongan manapun. Pemerintahan Republik Indonesia didirikan oleh “semua buat semua”, sehingga kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Berbicara mengenai kedaulatan rakyat setidaknya ada dua persoalan yang perlu untuk diuraikan.

Pertama, kondisi masyarakat yang majemuk dengan tingkat pemahaman bernegara yang umumnya tidak cukup mumpuni pada akhirnya dapat menimbulkan tirani mayoritas. Dalam hal ini para perumus negri kita telah mengambil langkah antisipatif dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Ketentuan ini mengesankan bahwa negara hukum Indonesia adalah negara hukum berdasarkan rechtsstaat, sudah pada tempatnya untuk memaknai ketentun ini bahwa negara Indonesia bukanlah negara kekuasaan yang bersifat absolut.

Setidaknya ada dua tradisi besar gagasan mengenai negara hukum di dunia, yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut rechtsstaat dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut rule of law.[1] Indonesia yang dalam sejarah ketatanegaraannya pernah menjadi bagian dari kolonialisme Belanda bukan berarti merupakan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam rechtsstaat. Politik hukum Indonesia tentang konsepsi negara hukum Indonesia menganut unsur-unsur yang baik dalam rechtsstaat dan rule of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.[2] Dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut UUD 1945 ialah negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum yang memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan yaitu nilai fundamental dari Pancasila.[3] Hal inilah yang mengilhami amandemen Undang-Undang Dasar dalam Pasal 1 ayat (3) yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (tanpa embel-embel rechtsstaat). Meminjam perkataan Mahfud MD, bahwa dalam hal ini demokrasi Indonesia dipadukan (bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi.[4]

Kedua, tidaklah mungkin pemerintahan Indonesia diserahkan secara langsung kepada rakyat yang berjumlah dua ratus juta orang lebih. Untuk itulah kita menganut sistem perwakilan dalam pemerintahan[5], sehingga pemilihan umum merupakan jembatan antara kedaulatan rakyat dengan pemerintah yang mewakili rakyat. Mengenai sistem pemilihan umum langsung ada sesuatu yang menggelitik, yakni suara setiap rakyat memiliki nilai yang sama satu sama lain. Padahal senyatanya tidak semua pendapat rakyat dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tergantung pada tingkat pemahaman masing-masing rakyat. Untuk itulah diperlukan batasan dalam sistem pemilihan kita, termasuk didalamnya adalah persyaratan Wakil Rakyat (baik eksekutif maupun legislatif)[6]. Batasan-batasan tersebut merupakan suatu keniscayaan untuk meminimalisir segala kekurangan yang terjadi akibat berbedanya tingkat pemahaman itu. Sehingga menjadi amat vital persyaratan-persyaratan yang harus diakomodir dalam kaidah pemilihan umum, sebab mekanisme ini harus diposisikan sebagai media penyaring orang-orang yang nantinya akan mewakili rakyat dalam pemerintahan.

Pemerintahan yang baik setelah melalui mekanisme menjewantahan wewenang tersebut juga hendaknya tidak terporos dalam satu badan tertentu, apalagi dipegang oleh satu orang. Harus ada pembagian kekuasaan atau setidak-tidaknya pemisahan kekuasaan agar tiap-tiap cabang kekuasaan dapat saling mengimbangi dan mengawasi satu sama lain. Pendek kata, kekuasaan harus dibatasi. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely[7].



[1]Andy Wiyanto, Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Proposal Skripsi, Fakultas Hukum UMJ), Jakarta. hlm. 11.
[2]Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 51.
[3]Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 86.
[4]Mohammad Mahfud MD, op.cit hlm. xvi.
[5]Hal ini dilandasi oleh sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
[6]Sependek pengetahuan penulis, tidak masuknya pemilihan umum dalam ranah yudikatif dikarenakan ranah yudikatif memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh ranah eksekutif maupun legislatif yakni adanya tuntutan yang lebih akan pemahaman hukum guna menegakkan keadilan sebagaimana hakikat dari ranah yudikatif itu sendiri. Selain itu ranah yudikatif juga bukan merupakan representasi dari kedaulatan rakyat.
[7]Lord Acton

Tidak ada komentar:

Posting Komentar