Oleh : Andy Wiyanto
Tahun 1908 menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia karena pada tahun
ini tujuan bersama telah dirumuskan oleh pemudi-pemuda yang memiliki latar
belakang yang sama dalam kongres pemuda pertama. Adanya kesadaran yang demikian
sebagai titik nadir dari perjalanan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Artinya
kita beranjak tidak dari golongan tertentu dan kemerdekaan merupakan cita-cita
bersama.
Indonesia dirumuskan sebagai negara yang menyerahkan pemerintahnya kepada
masyarakat (baca: republik), dengan demikian pemerintahan tidak didasarkan atas
satu orang atau bahkan satu golongan manapun. Pemerintahan Republik Indonesia
didirikan oleh “semua buat semua”, sehingga kekuasaan tertinggi berada ditangan
rakyat. Berbicara mengenai kedaulatan rakyat setidaknya ada dua persoalan yang
perlu untuk diuraikan.
Pertama, kondisi masyarakat
yang majemuk dengan tingkat pemahaman bernegara yang umumnya tidak cukup
mumpuni pada akhirnya dapat menimbulkan tirani mayoritas. Dalam hal ini para
perumus negri kita telah mengambil langkah antisipatif dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa “Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Ketentuan ini mengesankan bahwa negara
hukum Indonesia adalah negara hukum berdasarkan rechtsstaat, sudah pada
tempatnya untuk memaknai ketentun ini bahwa negara Indonesia bukanlah negara
kekuasaan yang bersifat absolut.
Setidaknya ada dua tradisi besar gagasan mengenai negara hukum di dunia,
yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut rechtsstaat
dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut rule of law.[1]
Indonesia yang dalam sejarah ketatanegaraannya pernah menjadi bagian dari
kolonialisme Belanda bukan berarti merupakan negara hukum sebagaimana dimaksud
dalam rechtsstaat. Politik hukum Indonesia tentang konsepsi negara hukum
Indonesia menganut unsur-unsur yang baik dalam rechtsstaat dan rule
of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.[2] Dapat
dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut UUD 1945 ialah negara
hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum yang memenuhi kriteria dari konsep
negara hukum pada umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan
yaitu nilai fundamental dari Pancasila.[3]
Hal inilah yang mengilhami amandemen Undang-Undang Dasar dalam Pasal 1 ayat (3)
yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (tanpa embel-embel rechtsstaat).
Meminjam perkataan Mahfud MD, bahwa dalam hal ini demokrasi Indonesia dipadukan
(bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi.[4]
Kedua, tidaklah mungkin
pemerintahan Indonesia diserahkan secara langsung kepada rakyat yang berjumlah dua
ratus juta orang lebih. Untuk itulah kita menganut sistem perwakilan dalam
pemerintahan[5], sehingga pemilihan umum
merupakan jembatan antara kedaulatan rakyat dengan pemerintah yang mewakili
rakyat. Mengenai sistem pemilihan umum langsung ada sesuatu yang menggelitik, yakni
suara setiap rakyat memiliki nilai yang sama satu sama lain. Padahal senyatanya
tidak semua pendapat rakyat dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
tergantung pada tingkat pemahaman masing-masing rakyat. Untuk itulah diperlukan
batasan dalam sistem pemilihan kita, termasuk didalamnya adalah persyaratan
Wakil Rakyat (baik eksekutif maupun legislatif)[6].
Batasan-batasan tersebut merupakan suatu keniscayaan untuk meminimalisir segala
kekurangan yang terjadi akibat berbedanya tingkat pemahaman itu. Sehingga
menjadi amat vital persyaratan-persyaratan yang harus diakomodir dalam kaidah
pemilihan umum, sebab mekanisme ini harus diposisikan sebagai media penyaring
orang-orang yang nantinya akan mewakili rakyat dalam pemerintahan.
Pemerintahan yang baik setelah melalui mekanisme menjewantahan wewenang
tersebut juga hendaknya tidak terporos dalam satu badan tertentu, apalagi
dipegang oleh satu orang. Harus ada pembagian kekuasaan atau setidak-tidaknya
pemisahan kekuasaan agar tiap-tiap cabang kekuasaan dapat saling mengimbangi
dan mengawasi satu sama lain. Pendek kata, kekuasaan harus
dibatasi. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely[7].
[1]Andy Wiyanto, Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam
Proses Impeachment Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Proposal Skripsi, Fakultas Hukum UMJ), Jakarta. hlm. 11.
[2]Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata
Negara: Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 51.
[3]Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum
(Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 86.
[4]Mohammad Mahfud MD, op.cit hlm. xvi.
[5]Hal ini dilandasi oleh sila keempat Pancasila
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”.
[6]Sependek pengetahuan penulis, tidak masuknya pemilihan
umum dalam ranah yudikatif dikarenakan ranah yudikatif memiliki kekhususan yang
tidak dimiliki oleh ranah eksekutif maupun legislatif yakni adanya tuntutan
yang lebih akan pemahaman hukum guna menegakkan keadilan sebagaimana hakikat
dari ranah yudikatif itu sendiri. Selain itu ranah yudikatif juga bukan
merupakan representasi dari kedaulatan rakyat.
[7]Lord Acton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar