lennon

lennon

Rabu, 23 Mei 2012

MEWASPADAI KAPITALISME PENDIDIKAN


6c31df275aacb5e3d4071f28af879b17_bukuyyyyy

Sejak tanggal 31 Maret 2010 kalangan praktisi di dunia pendidikan indonesia serasa mendapat payung yang sangat teduh, karena dimulai tanggal itu MK telah menyatakan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tidak berlaku lagi sejak putusan dibacakan. Seperti kita ketahui Undang undang tersebut menjadi landasan hukum bagi PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan berubahnya PTN menjadi BHMN merupakan bentuk privatisasi Perguruan Tinggi yang diharapkan Perguruan Tinggi bisa mengelola dirinya sendiri baik dari segi pembiayaan maupun program programnya. Hal ini tentu saja membuka pintu kompetisi antar Perguruan Tinggi. Sisi positifnya adalah perguruan tinggi bisa meningkatkan mutu pendidikannya. Tapi di sisi lain, sisi negatifnya berimbas pada masyarakat pada umumnya. Karena dengan dalih untuk peningkatan mutu, maka akan diberlakukan biaya biaya yang tidak sedikit. Dan itu semua adalah bukan tanggungan pemerintah. Tetapi sepenuhnya dari pihak intern Perguruan Tinggi. Ujung ujungnya adalah mengambil biaya dari para mahasiswanya. Berbagai macam biaya akan dikenakan. Tentu saja itu mimpi buruk bagi kalangan yang tidak mampu.Sehingga ungkapan orang miiskin tidak boleh kuliah pun terasa ada benarnya. Kita patut bersyukur karena MK bisa jeli melihat kelemahan kelemahan yang ada pada UU BHP ini.
Tapi sayangnya, angin segar akan terhindarnya dunia pendidikan dari aksi komersialisasi tidak terlalu lama. Beberapa waktu kemaren DPR sedang menggodok Rancangan Undang Undang Perguruan Tinggi. Yang jika kita simak lebih jauh ternyata itu hanyalah baju baru dari UU BHP. Sungguh mengherankan, hal hal yang sudah jauh hari di tolak mentah mentah tetap saja dipaksakan untuk kembali menjadi undang undang. Apakah yang terpikir oleh para anggota dewan di Senayan sana. Juga oleh para birokrat di pemerintahan. Apakah yang ada di hati mereka berpikir kemajuan pendidikan hanya dilihat secara kasat mata dengan tidak menghiraukan unsur keadilan bagi semua warga negara yang sama derajat haknya untuk mendapatkan pendidikan?
Mungkin saja mereka penggagas RUU PT yang juga merupakan pendukung UU BHP yang dulu, berdalih bahwa itu demi memajukan Perguruan Tinggi di Indonesia agar bisa dapat berdaya saing dengan Perguruan Tinggi dari luar negeri. Karena dengan itu Perguruan Tinggi dapat meningkatkan mutunya dengan lebih progresif dan kreatif. Selain itu juga dengan alasan bahwa negara tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai pendidikan Perguruan Tinggi. Kedua alasan tersebut sekilas memang benar. Untuk memajukan mutu pendidikan perguruan tinggi dibutuhkan banyak dana untuk kepentingan program, riset ataupun pengadaan sarana dan prasarana. Kita lihat Perguruan Tinggi di negara maju yang telah diprivatisasi misalnya Universitas Havard, Universitas Yale ataupun Universitas Cambridge. Perguruan Tinggi tersebut seperti kita ketahui merupakan Perguruan Tinggi yang sudah mempunyai fasilitas riset yang bisa memproduksi berbagai sains baru serta inovasi teknologi yang mampu membuka bisnis dan market baru ditingkat global. Bahkan bisa bersaing dengan sebuah negara dalam hal partisipasi menggerakkan perekonomian dunia. Tetapi yang lupa atau mungkin tidak diperhitungkan para pendukung UU BHP juga RUU PT adalah kesiapan dari perguruan tinggi yang akan diprivatisasi. Universitas Havard dan lainnya itu sudah mempunyan kesiapan dana abadi sendiri yang nilainya bahkan lebih besar dari dana yang berasal dari mahasiswanya. Sehingga sangat logis mereka bisa maju berkembang. Sedangkan di negara kita ini Perguruan Tinggi yang ada belum ada yang siap dan mampu. Sehingga ketika diterapkannya UU BHP dulu banyak PTS yang gulung tikar. Karena persaingan yang ada lebih cenderung ke persaingan bagaimana bisa mengumpulkan dana yang terbanyak, yang akan tetap eksis. Untuk PTN pun, yang dulu diasumsikan sebagai Perguruan Tinggi terjangkaupun berganti dengan Perguruan tinggi yang mahal sama dengan PTS.
Jika dikatakan, justru dengan privatisasi akan mendorong Perguruan Tinggi di dalam negeri seperti yang di luar negeri, itu juga tidak tepat. Karena kita punya falsafah dan konstitusi tersendiri yang salah satunya adalah menjamin setiap warga negara mendapat pendidikan. Terus bagaimana solusi untuk masalah pembiayaan pendidikan di indonesia? Untuk pendidikan tingkat dasar, menengah dan atas pemerintah sudah tepat dengan UU sisdiknasnya meskipun masih banyak juga yang harus dibenahi. Sedang untuk tingkat perguruan tinggi, tidak semestinya pemerintah berlepas tangan. Jika dangan alibi bahwa pembiayaan negera tidak mampu. Pertanyaannya, mengapa? Jika jawabannya adalah APBN yang minim itu sebenarnya tidak masuk akal. Seharusnya APBN kita mampu untuk mengalokasikan dana 40% APBN ke pendidikan asalkan saja tidak banyak yang bocor. Maka yang harus dipermasalahkan adalah mengapa masih saja banyak terjadi kebocoran di APBN.
RUU PT yang rencananya akan disahkan oleh DPR bulan desember ahun 2011 lalu jika dikupas tuntas sebenarnya adalah dari liberalisasi pendidikan yang membawa racun racun kapitalisme dalam sistem pendidikan kita. RUU PT ini jika diteliti sama dengan UU BHP. Hanya istilah-istilahnya yang diganti namun makna dan isinya sama dengan UU BHP yaitu, perguruan tinggi berhak mengelola keuangannya sendiri atau disebut otonomi kampus dan negara lepas tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan negara. Dalam pasal 86 ayat 2 RUU PT berbunyi, bahwa mahasiswa menanggung 1/3 biaya pendidikan operasional pendidikan. Artinya mahasiswa yang akan menanggung biaya operasional kampus yang besarnya sesuai dengan keinginan dari pengelola perguruan tinggi. Selain itu di dalam RUU PT juga ada pasal 91 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. Ini sama saja dengan membuka gerbang liberalisasi dan internasionalisasi pendidikan. Jika kita melihat sisi positifnya dan ini yang banyak didengungkan penggagas RUU PT, masyarakat bisa bebas memilih perguruan tinggi yang disukai. Dan dikatakan bahwa untuk biaya perkuliahan, akan ditentukan kisaran kisarannya sesuai dengan program studi yang diambil. Manis memang, tetapi bila dirangkai dengan adanya otonomi khusus. Maka biaya perkuliahan tadi akan membengkak dengan adanya tanggungan biaya operasional kampus yang dibebankan pada para mahasiswa. Dengan adanya internasionalisasi pendidikan, itu juga mengancam bagi eksistensi pendidikan indonesia terutama PTS. Memang itu adalah wujud dari sebuah kompetisi sebagai konsekwensi dari era keterbukaan. Tetapi yang lebih ditekankan adalah eksistensi karakteristik pendidikan indonesia. Kita punya karakteristik sendiri yang merupakan ciri khas kita sebagai bangsa. Jika agar kita bisa sejajar dengan negara lain, bukanlah sebuah keharusan menjadikan kita berstandar yang sama dalam kacamata global.
Di lihat dari dua hal di atas tadi, saya kira itu sudah cukup untuk menjadi bahan pertimbangan yang esensial bagi para penggagas RUU PT. Tetapi jika disimak perkembangan yang ada, bahwa RUU itu rencananya akan disahkan bulan desember kemarin, artinya RUU itu hampir bisa dipastikan akan dijadikan Undang undang yang dicatat di lembar negara. Hanya menunggu soal waktu. Tetapi sebelum itu terjadi, agar tidak terjadi komersialisasi dan kapitalisme pendidikan di negara tercinta kita ini menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan kita bersama.
Pertama, bagi para penggagas RUU PT sangat diharapkan kebesaran hati mereka untuk mempertimbangkan berbagai masukan yang datang dari masyarakat khususnya para praktisi pendidikan. Karena merekalah yang lebih mengerti bagaimana seluk beluknya. Sedangkan para anggota DPR tidak lebih dari sekumpulan politisi yang lebih banyak beretorika. Jikapun mereka mengerti akan dunia pendidikan itu lebih karena adanya staf ahli pribadi. Sedangkan pemikiran staf ahli itu adalah satu diantara sekian banyak pemikiran yang berkembang di dunia pendidikan. Bila mereka beralasan telah melakukan dengar pendapat dengan para ahli. Nyatanya masih sangat kurang mengakomodasi lebih banyak pemikiran pemikiran yang ada.
Yang kedua,bagi para praktisi pendidikan, semoga tidak pantang menyerah dalam menyuarakan aspirasi menolak RUU yang nyata nyata adalah bagian dari agenda liberalisasi di sektor pendidikan. Agenda liberalisasi yang merupakan pesanan dari barat sebagai konsekwensi pembiayaan hutang luar negeri. Selain itu selalu mengawal RUU agar RUU itu ditinjau kembali untuk bisa direvisi jika memang para anggota dewan tetap ngotot untuk mengesahkan RUU tersebut. Agar tidak berefek buruk bagi masyarakat khususnya dunia pendidikan.
Yang ketiga, bagi para penyelenggara negara yang masih punya hati nurani, sangat diharapkan kiprahnya untuk kiprahnya dengan dasar bahwa ketidakmampuan negara saat ini untuk membiayai pendidikan, bukan berarti harus mengorbankan warga negara untuk memikul beban biaya yang lebih berat lagi serta dengan alasan tersebut membabat karakerisitik identitas pendidikan bangsa dengan atas nama globalisasi. Karena bila pendapatan negara dikelola dengan benar sebenarnya bisa mengatasi beberapa permasalahan pokok pengalokasian anggaran untuk kebutuhan esensi warga negara. Untuk hal ini tentu tidak bisa lepas dari sisi ekonomi dan politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran negara kita sangat banyak yang hilang untuk kepentingan yang tidak jelas atau untuk sekelompok orang.
Yang keempat, bagi Mahkamah Konstitusi sebagai senjata pamungkas rakyat dalam mencari keadilan dan kebenaran regulasi yang ada. Sehingga undang undang dan peraturan yang ada sudah benar benar sesusai dengan aspirasi warga negara.
Yang kelima, diharapkan pemerintah mendorong dengan maksimal usaha usaha yang mendukung perguruan tinggi mempunyai sumber daya tersendiri selain dari memeras keringat para orangtua mahasiswa. Misalnya memberi dana modal awal investasi di suatu bidang.Sehingga untuk kedepan pemerintah tidak terlalu berat menanggung biaya pendidikan dan masyarakatpun bisa menikmati pendidikan dengan biaya yang terjangkau semua kalangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar