lennon

lennon

Jumat, 25 Mei 2012

Hakikat Pendidikan Tinggi


25

05
2012

“Jangan Putuskan Harapan Mereka”, demikian yang ditulis oleh Yuliarti Rezeki, SE pada Rabu, 9 Mei 2012 01:13 wita di harian Bpost. Lebih jelasnya tulisan yang dikirim oleh warga Jalan Kelayan, Kelurahan Murung Raya Banjarmasin berbunyi.
Usai UN tingkat SMA dan sederajat banyak pelajar berharap dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan sejuta harapan dan impian mereka masuk perguruan tinggi. Namun harapan mereka sedikit terganjal karena sebagian perguruan tinggi mematok biaya relatif  mahal sesuai jalur seperti mandiri dan sebagainya. Mungkin alasan PT beragam kenapa hal demikan terjadi mulai dari subsidi silang antara mahasiswa kaya dengan yang kurang mampu, ataupun bantuan pemerintah kurang sedangkan biaya operasional sangat tinggi ataupun yang lainnya sehingga terciptalah jalur-jalur tersebut.Tapi alangkah bijaksananya sebuah PT, tidak menjadikan hal tersebut sebagai lahan  bisnis karena secara tidak sengaja mencetak generasi yang mengandalkan materi. Jangan putuskan harapan dan cita cita mereka hanya karena biaya yang Tinggi. (*)
Inilah fakta pendidikan di daerahku dan suara harapan akan kondisi yang lebih baik. Setelah mencoba mengamati, ternyata fakta mahalnya biaya masuk perguruan tinggi tidak hanya di Kalsel, tapi hampir di seluruh Indonesia. Melihat kenyataan ini semakin pilu hati ini. Maka mulai mengamati lebih jauh, apa penyebab kondisi yang menegara ini? Adakah jalan keluarnya? Sehingga harapan banyak orang dapat terwujud.

Hakikat Pendidikan Tinggi
Seperti yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, salah satu fungsi Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, perguruan tinggi sebagai badan pusat ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah sepatutnya menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang pada hakikatnya berorientasi pada terjaminnya hak-hak asasi warga negara dalam pemenuhan pendidikan dan keilmuannya. Namun, bagaimanakah format awal tujuan pendidikan yang diamendemenkan dalam RUU PT tersebut? Pada bagian “menimbang”, terlihat bahwa pendidikan tinggi memiliki peran yang strategis baik itu dalam pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ada satu hal pokok yang dirasa dapat menjadi blunder dalam pelaksanaan pendidikan tinggi tersebut, yaitu pelayanan pendidikan yang secara eksplisit diorientasikan pada daya saing bangsa dalam era globalisasi. Begitu baik visi pendidikan tinggi yang diarahkan pada daya saing bangsa, namun hal ini dapat menyimpang dari tujuan besar pelayanan pendidikan sesuai hakikatnya, yaitu pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara. Sebab, pada kenyataannya belum semua daerah di Indonesia dapat disetarakan kualitas pendidikan tingginya maupun kuantitas perguruan tingginya. Kita harus membenahi “pendidikan tinggi” itu sendiri, sebelum akhirnya menuju visi besar pendidikan tinggi sebagai daya saing bangsa pada era globalisasi.

Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik? Ya, segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang kami simpulkan dapat menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar kami artikan sebagai pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus. Kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan.

Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Dalam pasal 44 dan 45 Otonomi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Otonomi dalam artian mengelolah akademik (kurikulum, sistem pengajaran) dan non akademik (inftrastrutur, prasarana, keuangan) Sehingga tidak ada bedanya dengan UU BHP yang dibatalkan Mahkamah konstitusi subtasi sama kulitnya berbeda.  PTN dan PTN khusus berbadan hukum memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan non akademik (pengelolaan keuangan) seperti 9 PTN yang masuk bekas BHP  (UI, IPB, ITB, UGM, UNAIR dll). PTN dan PTN khusus mandiri memiliki otonomi mengelolah akademik (kuriukulum dll) dan tidak memeliki wewenang mengelolah non akademik (keuangan). Termasuk PTN diluar bekas BHP.

Perananan Asing dengan membolehkan Perguruan Tinggi Asing berdiri di Indonesia
Dalam draft RUU PT ini, dijelaskan pula mengenai keterlibatan perguruan tinggi asing baik pendirian dan kerjasama dalam pendidikan tinggi di Indonesia (bab V, pasal 73 – 74). Pada dasarnya bisa menjadi masalah masuknya perguruan tinggi asing di Indonesia, adanya transfer nilai yang negatif dari adanya perguruan tinggi asing akan menjadi buruk bagi mahasiswa terutama kurikulum sebagai software khususnya program studi politik, ekonomi, sosial, budaya, ideology merupakan hadarah walapaun kemajuan teknologi, MIPA tidak ada masalah dari transfer ilmu merupakan madaniyah tapi sisi riset merugikan pihak Indonesia sudah banyak kejadian penemuan teknologi khususnya bidang biologi, obat farmasi, pertanian, perikanan dipatenkan diluar negeri atas nama perguruan tinggi asing bahkan ada tidak mencantumkan lembaga pendidikan Indonesia. Namun hal ini kami sebut sebagai lampu kuning bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Berkaca dari adanya sekolah berstandar internasional setingkat sekolah dasar dan sekolah menengah, secara filosofi ada beberapa tujuan pendidikan yang harus diatur dan dijamin oleh pemerintah melalui turunan undang-undang (PP atau Permen). Lampu kuning yang kami maksud adalah standard pendidikan asing yang berbeda dengan standard pendidikan Indonesia. Bukan standard dalam arti standard kualitas pendidikannya, melainkan standard filosofis penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan. Penanaman nilai falsafah ideologi dalam pendidikan sangatlah penting. Tidak hanya belajar sebagai investasi pribadi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, namun belajar sebagai investasi bangsa yang bertujuan memperkaya anak muda calon pemimpin bangsa, membangun bangsa, dan memakmurkan bangsa serta masyarakatnya di masa depan.
Fakta-fakta dan analisis di atas telah memberikan pandangan yang jelas bagi kita, bahwasanya pendidikan kita tengah menghadapi permaslahan yang kompleks, tidak hanya masalah mahalnya biaya masuk perguruan tinggi, tapi lebih parah lagi perguruan-perguruan tinggi yang mahal tersebut ternyata tidak menjanjikan akan mampu mewujudkan hasil yang signifikan dengan kemajuan dan kemandirian bangsa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa. Maka usaha untuk penyelesaiannya haruslah tersistematis.
Islam telah menjadi model pelaksanaan Negara dengan pendidikan yang mampu menjamin seluruh masyarakat Negara (warga Daulah Islam) baik Muslim maupun Nonmuslim untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Nah maka, jika Negara kita ingin mewujudkan cita-cita memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, Negara haruslah merujuk kepada cara pengurusan ummat sebagai mana yang dicontohkan oleh Daulah Islamiyah dulu.Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar