Rakyat
tertindas! Rakyat disiksa dengan metode yang sistematis. Para pembuat kebijakan
yang seharusnya melayani rakyat, dengan semena-mena justru merampas dan
menginjak-injak hak rakyat melalui mekanisme legislasi. Kini, rakyat yang
miskin, kurang gizi dan bodoh ini, tengah menantikan munculnya alat penyiksa
baru yang akan memenjarakan mereka dalam kemiskinan dan kebodohan. Alat
penyiksa itu tersusun dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP). Rancangan Undang-Undang (BHP) sebagai konsekuensi dari pasal 53 ayat (1)
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan segera
diajukan ke DPR. Naskah tersebut kini berada di Sekretariat Negara dan proses
pengajuannya ke DPR tinggal menunggu amanat dari Presiden. DPR sudah memasukkan
RUU BHP ini menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2007, sehingga ditargetkan 2007 selesai (Media Indonesia, 27/01/07). RUU ini
mengatur badan hukum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Jika di amati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi
pendidikan nasional. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas,
Mansyur Ramly (Kompas, 03/10/06), menegaskan substansi RUU tersebut, antara
lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada
lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta
(PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Pengelolaan PTN model
privatisasi merupakan bentuk liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Pakar
pendidikan, H.A.R Tilaar, menilai RUU BHP sebagai bagian representasi neo
liberalisme dalam dunia pendidikan. “Jelas agenda neo liberalisme, pemerintah
terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan,”
ujar H.A.R Tilaar (Tempo,12/4/2005). Menurut Tilaar, Pemerintah secara
terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara bagi pendidikan. Untuk melepaskan tanggung jawab
tersebut, pemerintah memandang pentingnya otonomi pada perguruan tinggi.
Pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi menjadi dasar pembentukan RUU
BHP ini. Konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh PTN (UI, UGM, ITB, IPB,
USU, UPI dan Unair) pada perjalanannya akan senanfas dan “disempurnakan” oleh
RUU BHP. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah
tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Dalam status BHMN, pemerintah masih
bertanggung jawab walaupun BHMN diberikan otonomi sendiri untuk mengelolanya.
Namun, ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka konsekuensinya adalah
pemerintah melepaskan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya
terhadap pihak pengelola pendidikan dan masyarakat itu sendiri.
Liberalisasi
dan Kapitalisasi dalam RUU BHP
Nuansa
privatisasi sebagai bentuk liberalisasi dan kapitalisasi semakin nyata di dunia
pendidikan kita. Upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam
menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, sudah terlihat dalam legalitas
pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selaku ibu
kandung RUU BHP, UU Sisdiknas menunjukkan adanya penurunan derajat “kewajiban”
pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat,
menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU
Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “”masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang
memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan. Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan,
terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara
nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada
masyarakat. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi,
“Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom”. Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1),
secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai
investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah
(BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Contoh lain dari kapitalisasi dan liberalisasi yang terkandung dalam RUU BHP,
misalnya dalam Pasal 2 RUU BHP, ada beberapa prinsip BHP yang kelihatannya
manis namun penuh kebusukan. Seperti prinsip nirlaba, sebenarnya lebih
cenderung menjadikan lembaga pendidikan seperti LSM/NGO. Dengan prinsip ini,
PTN misalnya, akan mendapat dana dan program dari orang-orang Kapitalis yang
sarat dengan kepentingan pribadi yang cenderung mencari keuntungan. Hal ini sejalan
dengan prinsip Partisipatif, masih dalam pasal yang sama, yaitu melibatkan
“para pihak yang berkepentingan” dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga
penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama “para pihak yang
berkepentingan”. Pihak yang berkepentingan (kapitalis) akan diberi kebebasan
mengobok-obok pendidikan negeri ini. Prinsisp otonom, yaitu kewenangan dan
kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, sehingga mampu menjalankan
fungsinya secara kreatif. Sesungguhnya prinsip ini hanya akan membuka
intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan
kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui Rektor. Selain itu, Dalam
pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau
yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama
dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia”. Pasal ini
memberikan kebebasan kepada sekolah internasional untuk beroperasi tanpa batas,
dan disesuaikan dengan pemikiran dan nilai-nilai mereka. Dengan demikian,
proses sekularisme/liberalisme akan semakin subur dan bertambah cepat di negeri
ini. Dalam RUU BHP, BHP memiliki Majelis Wali Amanat (MWA). MWA adalah lembaga
tertinggi yang menetapkan dan mengesahkan kebijakan dalam BHP. Tentu, MWA ini
akan gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Ajang bisnis kapitalis
melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba akan menjadi subur.
Nuansa pengendalian kampus oleh pihak kapitalis semakin dikukuhkan dengan adanya
aturan dalam pasal 10, ayat (8), yang mengharuskan ketua MWA berasal dari
masyarakat (yang sejatinya para kapitalis),bukan dari pihak kampus. Bukan itu
saja, menurut mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Munarman, SH, berbagai program pendidikan yang terkandung dalam BHP diduga
merupakan proyek Dikti melalui IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for
Relevance and Efficiency). Pendanaan program ini melalui pinjaman dari Bank
Dunia yang tentunya, arah pendidikan bisa jadi bakal tidak selaras lagi dengan
kebutuhan pendidikan di Indonesia (Jawa Pos, 11/03.07). Dengan demikian, kita
bisa melihat dengan jelas, BHP adalah perangkat undang-undang yang akan semakin
memantapkan liberalisme dan kapitalisme di lembaga-lembaga pendidikan di
Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun
swasta. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan
nilai-nilai kebebasan di mana negara tak lagi berfungsi sebagai pelayan.
Kapitalisasi, akan berimplikasi pada semakin mahal pendidikan. Pendidikan akan
lebih berorientasi pasar, berpegang pada hukum supply-demand, dan cenderung
berburu rente (rent seeking). Pendidikan hanya bisa diakses oleh kelompok
bermodal. Orang miskin, akan tetap berada di tempatnya, terpenjara oleh
kemiskinannya.
Jika
Kurang dana, Jangan Jual Negeri Tercinta!
Pendidikan
gratis untuk tingkat dasar saja, pemerintah belum sanggup. Apalagi untuk
tingkat menengah dan tinggi. Hal ini ternyata sudah diakui pemerintah sendiri
akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum
mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman
IV.26-4), (Kompas,18/04/05). Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah
mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap
pada Pasal 13 Ayat (3), “Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan
penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat”. Inilah
yang kemudian mendasari pemerintah untuk berlepas dari tanggung jawab
pembiayaan pendidikan nasional. APBN kita defisit. Anggaran pendidikan yang
seharusnya 20 % APBN, ternyata hanya 9,1 % saja. Indonesia miskin di tengah
limpahan kekekayaan alam. Sesungguhnya, negeri ini akan makmur jika
pemerintahnya tidak tunduk dan mau menjadi budak para imperialis-kapitalis yang
dikomandoi oleh AS dan konco-konconya. Tambang emas, batu bara, minyak bumi,
hutan, kekayaan alam lainnya, jika tidak dipersembahkan kepada para penjajah,
akan menjadikan kas negara surplus. Dengan demikian, Indonesia akan mampu
menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Pendidikan gratis di
Indonesia bukanlah mimpi. Ini bisa terwujud tanpa harus menjual negeri kita
kepada pihak asing dan para kapitalis.
Peran
Negara dalam Pendidikan Umat
Dalam
pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah
kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk
rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan
kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu
tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada
rakyat. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang
kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan,
sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian,
negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang
memadai lagi gratis. Sudah saatnya seluruh kaum muslimin berbicara kepada
penguasa di negeri ini, menyampaikan nasihat yang benar. Bahwa pendidikan
seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah
seseorang yang diberi jabatan mengurusi rakyat muslim lalu dia mati dalam
keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga darinya. (H.R.
Bukhari dan Muslim) Mari Bergerak, Lawan Penindasan! Penindasan oleh
kapitalisme global melalui bonekanya, yakni penguasa negeri ini, harus dilawan
oleh rakyat dengan penuh keberanian.
Mari
bergerak, lawan penindasan!
Kita
bongkar setiap konspirasi busuk yang bertujuan menjajah negeri muslim.
Sesungguhnya, bau busuk dari rencana jahat mereka akan segera terbongkar. Mari
kita bersatu, dalam membumikan aturan Allah yang akan mampu memecahkan setiap
persoalan. Totalitas hukum Allah dalam naungan Khilafah Islamiyah akan menjadi
pembebas kita dari tangan-tangan penjajah. Janganlah kita buta mata, sehingga
untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini saja, kita harus menjual negeri ini.
Kembalilah kepada hukum Allah. Tidakkah kita mengetahui keagungan aturan Islam
yang sempurna? Apakah kita lebih rela dijajah dengan aturan kapitalisme,
daripada harus kembali pada Islam? Allah berfirman: Apakah hukum jahiliah yang
mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
orang-orang yang yakin. (TQS. al-Maidah [5]: 20).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar