lennon

lennon

Rabu, 30 Mei 2012

RUU PT, Investasi Sosial dan Ancaman Doktrin Ideologi Ala Neo Liberal



“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.” (Pramoedya Ananta Toer)

"Apa lagi yang bisa dibanggakan dari menteri pendidikan kita? Sekolah saja semakin mahal, mana mungkin rakyat bisa sekolah, apalagi minta rakyat cerdas ?" cetus salah satu teman, dicelah obrolan siang kemarin.. Wajahnya terlihat begitu muram, tangannya meremas-remas kertas yang ada digenggamannya lantas dilemparkannya jauh-jauh. Aku ambil kertas itu, setelah ku pelototi ternyata kertas tersebut berisi draft Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang yang sedang ramai diperdebatkan oleh pelbagai kalangan. Batinku berkata, “pantaslah kalau dia marah”. Tiba-tiba teman tadi berteriak keras sambil mengacungkan jari telunjuknya kelangit  “Hanya satu kalimat pak menteri, jangan komersilkan pendidikan Indonesia, berpihaklah pada rakyat miskin". Letupnya.
 
Setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). berhasil digagalkan oleh mahkamah konstitusi melalui judicial review pada tanggal 31 Maret 2010, Kini dunia pendidikan Indonesia kembali digegerkan oleh Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT). Sebuah Rancangan Undang-Undang yang direncanakan sebagai pengganti UU BHP, untuk dijadikan payung hukum dari pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia.
 
Namun, RUU PT juga bernasib sama dengan UU BHP. Banyak kalangan dari berbagai elemen masyarakat yang menggugatnya. Secara substansial, penolakan tersebut dikaitkan dengan isu proyek neoliberalisasi pendidikan nasional, yang digerakan oleh para pemodal  multinasional. Kepentingannya jelas yaitu ingin menjajah dan menghancurkan pembangunan jangka panjang SDM Indonesia, sekaligus menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan.
  
Isu privatisasi (liberalisasi) pendidikan kembali menyeruak ketika beberapa point dalam pasal dan klausul RUU PT masih kembar makna dengan UU BHP. Beberapa pasal bermasalah yang dianggap paling krusial tersebut adalah di pasal 69, tentang otonomi yang diberikan kepada PT Badan Hukum, yakni “wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi” (ayat 3e), pasal 79, tentang ajaran konyol dari pemerintah, agar rakyat membudayakan tradisi berhutang pada negara, yaitu adanya “pinjaman dana” sebagai hak mahasiswa jika ia tidak sanggup membiayai pendidikannya, pasal 94, tentang diperbolehkannya perguruan tinggi asing untuk menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan cabang di Indonesia, dan sejumlah pasal lainnya yang dikhawatirkan mengancam keberlanjutan pendidikan kita.

Bahkan, dipekirakan draft RUU PT yang mengatur sekitar 95 pasal tersebut banyak yang bersifat teknis dan berpotensi melahirkan banyak UU baru. Cara pandang pendidikan daripemangku kebijakan yang masih terpilah-pilah yaitu pendidikan berdasarkan pendidikan tinggi, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan kedokteran, dan lain sebagainya hal itulah yang menjadi kambing hitamnya. Padahal, semestinya bangsa ini memiliki satu kesatuan peraturan yang utuh dalam pendidikan, yaitu UU Pendidikan & Kebudayaan.
Secara substansial b
eberapa pasal yang dipersoalkan dalam RUU PT tersebut, jauh sebelumnya sudah menjadi isu yang terus bergulir dan sudah jamak diketahui oleh masyarakat. Semenjak dibuat dan digulirkannya proyek Undang-undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN)sebagai payung hukum pendidikan Indonesia. Seruan untuk menolak privatisasi dan komersialisasi kampuspun, keras sering terlontar dan dikoarkan oleh banyak kalangan tatkala itu.

Namun, dalam RUU PTada pasal-pasal yang harus disikapi secara serius. Salah satunya adalah tentang diperbolehkannya perguruan tinggi asing untuk menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan cabang di Indonesia. Dengan adanya pasal ini, hal yang paling ditakutkan adalah ketika perguruan tinggi asing diberikan kebebasan dalam pengembangan dan merancang kegiatan belajar mengajarterlebih pengembangan kurikulum pendidikannya. Sehingga bisa saja perguruan asing tersebut membawa misi dakwah untuk menyebarkan paham ideologi liberalnya kedalam negeri. Investasi sosial yang didapatkan tentunya sangat besar sekali. Sudah jelas pelajar yang dapat duduk dibangku perkuliahan tersebut pasti hanyalah orang-orang tajir dan anak para pejabat eselon. Maka jangan kagum, jika dikemudian hari banyak para pekerja diperusahaan bankir internasional semacam “IDB, WTO, dan IMF” yang berasal dari pribumi. Ketika hegemoni dan jaringan yang dibangun oleh kedua pihak tersebut sudah memiliki hubungan emosional yang sangat lekat, maka dengan model “link n match” para pemuda jebolan universitas asing itu akan disuplai secara terus menerus untuk menjadi antek dan agen kapitalis yang berkaliber internasional. Tanpa adanya proteksi nilai kebangsaan dalam klausul ini, pendidikan tidak hanya berpotensi untuk dikomersialisasi oleh kekuatan pemodal asing saja, tetapi juga rawan dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi liberal sebagai landasan pemikiran dari luar ke Indonesia.

Jerat Neoliberalisme
Munculnya privatisasi (liberalisasi) pendidikan tinggi adalah konsekwensi dari perjanjian yang telah disepakati oleh pemerintah dengan organisasi perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO). Pemerintah RI telah meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994, yang menganggap bahwa pendidikan tinggi adalah salah satu jasa dari 12 sektor jasa lainnya yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Dengan demikian, sejak saat itu Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya. Sedangkan mekanismenya diatur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services),.

Melihat fakta tersebut, jelas, bahwa pendidikan di indonesia sudah terjerat dalam jejaring proyek neoliberalisme internasional. Dalam hal ini kapitalisme, selalu ingin menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang dapat dijual untuk mendapatkan keuntungan, maka kampus pun dilirik menjadi target tempat untuk dibisniskan. Proyek privatisasi kampus, yang dalam banyak hal adalah keinginan para pemilik modal (kapitalis) yang hendak dijalankan melalui status kampus menjadi RUU PT, merupakan upaya nyata untuk meradikalisasi kapitalisme (neo-liberal) ke dalam dunia pendidikan. Model bisnis pendidikan seperti ini tentunya menimbulkan persoalan yang begitu sistemik. Mahalnya biaya pendidikan, ekslusivisme pendidikan dan elitisme pendidikan, adalah beberapa ekses yang tidak dapat dihindari lagi. Bahwa nanti hanya orang-orang kaya yang hanya bisa menempati bangku pendidikan itu sangat mungkin terjadi.
 
Kini pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pelayanan dari negara terhadap warga negara yang sifatnya wajib, tetapi menjadi sektor jasa yang layak diperjual belikan. Kini kapitalis benar-benar ingin menguasai pendidikan dengan cara melakukan pengambilalihan, bukan sekedar mengintervensi. Nantinya pendidikan benar-benar akan menjadi lembaga untuk memperjual belikan jasa proses pembelajaran ,materi dan pengetahuan , hingga sertifikat. Karena tidak dibiayai oleh pemerintah maka mahalnya akan minta ampun.

Liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi bukan hanya problem “otonomi” atau “akses”. Ia juga menjadi agenda institusi keuangan internasional untuk membajak pendidikan dengan agenda neoliberal yang sarat-kepentingan asing. Pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter. Tanpa adanya proteksi nilai kebangsaan maka adalah sebuah ancaman besar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Kesadaran pengambil kebijakan negara terhadap tanggung jawab untuk memikul amanat fundamental UUD 1945 dalam hal “mencerdaskan kehidupan bangsa” dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi segenap warganya. Ini sangat diharapkan oleh semua elemen masyarakat. Hal itu bisa dianggap sebagai pengingkaran terhadap tujuan Proklamasi 1945 apabila RUU PT benar-benar disahkan.

Sampai sekarang pemerintah tetap bersikukuh pada argumentasi bahwa hanya dengan meng-RUU PT-kan dunia pendidikan, maka pendidikan nasional akan maju dan bisa bersaing didunia internasional, khususnya perguruan tinggi yang sedang berakselerasi menuju World Class University, terutama UNS. Namun, argumentasi ini ditolak mentah-mentah oleh berbagai kelompok dan elemen masyarakat. RUU PT sebagai bukti lepas tanggung jawabnya pemerintah untuk membiayai pendidikan nasional, sekaligus merupakan proyek liberalisasi dan privatisasi pendidikan,  yang sangat menyengsarakan rakyat kecil dalam memperoleh akses pendidikan yang layak, maka harus “digagalkan”.

Qodri Rahmanto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar