lennon

lennon

Minggu, 24 Juni 2012

Kontroversi Berulang di RUU PT


d


Menurut rencananya, Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 10 April 2012 lalu. Namun, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar pengesahan RUU PT ditunda. Alasannya, ada tiga hal yang perlu ditambahkan dalam RUU tersebut, yaitu peran pendidikan tinggi untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban.
Kepada wartawan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh menjelaskan bahwa pengetahuan manusia yang semakin hari semakin luas harus bisa diantisipasi oleh perguruan tinggi. Untuk itu, diperlukan peradaban bangsa yang kuat sehingga dalam proses pembauran menjadi peradaban dunia, warna khas bangsanya masih muncul. “Untuk mengantisipasi, perguruan tinggi disiapkan menyambut konvergensi,” ujarnya.
Secara kronologis, Utut Adianto, anggota Komisi X DPR RI menyatakan, latar belakang inisiatif DPR menyusun RUU PT karena UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK menilai, UU tersebut bertentangan dengan UU 1945. “RUU PT dilatarbelakangi oleh pembatalan UU BHP oleh MK,” ujarnya pada seminar dengan LBH di Yogyakarta.

Namun kenyataannya, draf RUU PT tidak jauh berbeda dengan UU BHP. Menurut Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Kepala Departemen Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gajah Mada (BEM KM UGM), draf RUU PT masih memuat pasal yang semangatnya tidak jauh berbeda dari UU BHP yang sudah dibatalkan MK.
Bisa dibilang, semangat RUU PT tidak terlepas dari upaya untuk memindahkan tanggung jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat terutama dalam hal pendanaan.
“Kita khawatir, RUU PT akan menjadi bagian dari skema besar liberalisasi pendidikan yang akarnya bermula dari ratifikasi perjanjianGeneral Agreement on Trade and Services (GATS) pada tahun 1994,” jelasnya.
Sebagai anggota WTO, Indonesia juga ikut serta menyepakati liberalisasi 12 sektor jasa yang tertuang dalam GATS. Salah satunya adalah sektor perguruan tinggi. Secara otomatis, Indonesia menerima internasionalisasi perguruan tinggi, di mana akan membuka ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan perguruan tinggi.
Jika sektor pendidikan masuk pasar bebas, maka perguruan tinggi asing bisa membuka cabang di Indonesia. Dosennya bisa orang Indonesia, staf-staf lainnya pun orang Indonesia, mahasiswanya juga orang Indonesia, tetapi dengan biaya pendidikan yang tentu cukup tinggi. Secara otomatis, hanya orang-orang kaya saja yang memiliki kesempatan kuliah di perguruan tinggi yang notabenenya adalah perguruan tinggi yang ternama.
Padahal, secara tegas UUD 1945 menyebutkan, demi mencerdaskan kehidupan bangsa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. “Terlalu banyak celah yang dapat dimanipulasi dalam RUU PT ini sehingga ada baiknya pengesahan RUU ini ditunda agar bisa dikaji lagi secara lebih mendalam,” tulis Iqbal Akhmad Ghufron, Direktur Jenderal Pewacanaan Kementerian Sosial Politik BEM Institut Teknologi Surabaya.
Di sisi lain, liberalisasi pendidikan sebenarnya bukan sekadar otonomisasi pengelolaan atau “investasi bisnis”. Ia juga menjadi “investasi ideologi”. Bukan tidak mungkin, liberalisasi akan memungkinkan perilaku peserta didik menjadi abai dengan nilai-nilai keindonesiaan karena tidak mendapatkan nilai yang cukup ketika kuliah.
Risky menambahkan, pengalaman Uganda cukup untuk menjelaskan bahwa liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi bukan hanya problem “otonomi” atau “akses”. Peraturan itu menjadi alat agenda institusi keuangan internasional untuk membajak pendidikan dengan agenda neoliberal yang sarat kepentingan asing.
Padahal, pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter. Tanpa adanya proteksi nilai dalam klausul ini, pendidikan tidak hanya berpotensi untuk dikomersialisasi oleh kekuatan pemodal asing, tetapi juga rawan terhadap penanaman ideologi landasan pemikiran dari luar ke Indonesia.
Menanggapi hal itu, Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR RI, mengkritik definisi internasionalisasi yang dinilai masih multitafsir karena bisa diartikan bahwa sampai sekarang posisi perguruan tinggi nasional masih belum sejajar, sehingga perlu disejajarkan dalam pergaulan internasional. Draf tersebut juga menimbulkan sebuah asumsi, jika ingin sejajar dengan dunia pendidikan internasional, maka perguruan tinggi nasional harus mengikuti standar internasional.
Pertanyaannya, apakah pemerintah memang harus menyejajarkan perguruan tinggi, mengikuti standar yang ditetapkan secara internasional? Bukankah Indonesia memiliki karakteristik tersendiri sehingga tidak harus disamakan dengan standar yang dibuat berdasarkan kacamata global? Atau, apakah justru kita sendiri yang seharusnya menyebarluaskan nilai-nilai dan karakteristik kita ke tengah-tengah masyarakat global?
Internasionalisasi pendidikan akan semakin sulit untuk memfilter budaya asing yang masuk ke Indonesia sehingga semakin membuat pendidikan nasional tidak terkontrol dari segi etik dan budaya. “Apalagi, kemungkinan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, mau tidak mau harus diantisipasi, manfaat dan dampak negatifnya,” paparnya.

Penolakan RUU PT
Sebagai respons atas beberapa persoalan mendasar di atas, mahasiswa di sejumlah daerah menggelar aksi penolakan terhadap RUU PT. Di antaranya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Semarang menggelar aksi penolakan dengan membakar naskah RUU PT. Mahasiswa menuntut pemerintah membatalkan RUU PT yang dinilai akan memberatkan biaya pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu.
Aksi serupa juga terjadi di Bandung, Jawa Barat, yang dilakukan aliansi BEM SI Jawa Barat. Mereka menuntut pembatalan RUU PT dan menghapuskan komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan di Indonesia.
“Aliansi BEM SI wilayah Jabar akan terus mengawal dan menindaklanjuti kebijakan ini sampai pendidikan Indonesia berpihak kepada rakyat Indonesia tanpa diskriminasi,” ujar koordinator aksi Hamdan Ardiansyah.
Menurut Fajri Nursyamsi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), RUU PT tidak layak menjadi sebuah produk hukum karena banyak materi pengaturan yang sudah diatur oleh peraturan sebelumnya, seperti UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.66 2010.
Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan pendidikan tinggi pun sebenarnya sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yang sempat direvisi dalam PP No 66 Tahun 2010, karena Putusan MK yang menyatakan UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. “Lagi pula dalam UU Sisdiknas mengamanatkan pengaturan pendidikan tinggi cukup melalui peraturan pemerintah saja,” ujarnya.
Di antara pasal-pasal yang bermasalah adalah pasal 77 (1) yang mengatur penjaringan mahasiswa, disebutkan mengenai kuota paling sedikitnya 20 persen untuk calon mahasiswa yang memiliki potensi, namun kurang mampu secara ekonomi. Pertanyaannya, apakah 20 persen tersebut benar merepresentasikan aksesibilitas mahasiswa kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi? Atau sekadar untuk meredam shock masyarakat terkait kebijakan yang sarat liberalisme.
Kemudian, ada beberapa pasal dalam draf RUU PT yang dinilai saling kontradiktif satu dan lainnya. Pasal 8 ayat 1-3 memuat secara umum mengenai 3 hal penting, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Namun, pada pasal 10 disebutkan memuat 6 rumpun ilmu dan teknologi perguruan tinggi. Di satu sisi, pemerintah melegalkan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sisi lain, rumpun ilmu perguruan tinggi yang merupakan manifestasi dari kebebasan tersebut telah diatur sejak dari awal.
Untuk itu, BEM KM UGM memberikan dua rekomendasi langkah bagi Komisi X DPR RI agar lebih mengedepankan semangat pendidikan untuk rakyat dan hak rakyat atas pendidikan. Pertama, segera melakukan perubahan atas beberapa pasal yang bermasalah di draf RUU Pendidikan Tinggi, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan (3), Pasal 58 ayat (2) dan (4), pasal 59 ayat (3). Pasal 77 ayat(1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 90 ayat (2) huruf c, ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 91 ayat (1) dan (2),Pasal 107 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 111 ayat (1) huruf c dan ayat (2).
Kedua, melakukan penundaan pembahasan RUU Pendidikan Tinggi agar kajian dan masukan masyarakat bisa diterima secara lebih serius. Penundaan ini penting dilakukan agar pengesahan tidak dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR selaku pemangku kepentingan rakyat.
Sementara itu, Darmaningtyas, Penulis Buku Manipulasi Kebijakan Pendidikan, menyatakan setuju dengan RUU PT, dengan syarat RUU tersebut menjamin akses pendidikan tanpa diskriminasi dan juga memberikan fleksibilitas kepada PTN tanpa mengubah lembaganya.
“Saya mendukung penuh RUU PT jika mampu menjamin akses pendidikan bagi semua warga tanpa diskriminasi, memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan kepada pengelola PTN tanpa mengubah kelembagaan, serta meningkatkan kualitas pendidikan tinggi,” paparnya.
Dan memang, perancangan UU secara sembrono hanya akan menghasilkan generasi masa depan yang liberal, tanpa etika dan nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, BEM KM UGM menyerukan kepada segenap elemen mahasiswa untuk bersama-sama mengkritisi draf RUU PT dari DPR dan menolak unsur liberalisasi pendidikan dalam RUU PT. “Jika tidak ada kritik yang signifikan atas RUU PT saat ini, bisa dipastikan episode UU BHP akan terulang kembali,” terang Rizky Mardhatillah.
Ketua MK Mahfud MD menegaskan, ada tiga alasan UU PT bisa dibatalkan. Pertama, jika produk hukum itu memberikan aturan penyeragaman bentuk pada seluruh tingkatan seperti terjadi pada UU BHP. Kedua, aturan yang dibuat membebankan biaya pendidikan kepada masyarakat dan menimbulkan persaingan tidak sehat dalam hal biaya pendidikan PT karena bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, peraturan dapat dibatalkan jika menimbulkan liberalisasi pendidikan. (Muhajir/Salim/MG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar