lennon

lennon

Minggu, 24 Juni 2012

RUU PT Bermasalah


     Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Pemerintah mempunyai kewajiban memberikan pendidikan kepada rakyatnya. Itu artinya, pemerintah mesti berupaya memberikan pendidikan berkualitas dengan biaya semurah-murahnya –bahkan gratis—kepada seluruh rakyatnya. Namun, fakta yang terjadi saat ini, pendidikan sulit dijangkau rakyat, kendati anggaran pendidikan sudah 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dan biaya pendidikan itu makin melambung tinggi manakala nanti RUU Pendidikan Tinggi (PT) disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) Pendidikan Tinggi. Pasalnya, RUU ini meliberalisasikan pendidikan tinggi di Indonesia.

Menurut Ahmad Rizky Mardhatillah Umar dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, RUU PT memiliki tujuh masalah. Ketujuh masalah ini akan menimbulkan dampak negatif bagi dunia pendidikan jika RUU itu disahkan menjadi UU.
Pertama, perguruan tinggi bebas menyewakan aset miliknya. Pasal 80 RUU PT membolehkan perguruan tinggi otonom mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Dengan demikian, kata Ahmad, kampus akan berubah menjadi perusahaan yang mencari dana operasional sendiri karena negara mengurangi subsidinya.
Kedua, perguruan tinggi asing boleh mendirikan cabang di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 114. Pada ayat pertama pasal ini tersurat, perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Penjelasannya dijabarkan pada ayat 2 yakni prosesnya dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi Indonesia dan mengangkat dosen serta tenaga kependidikan dari warga negara Indonesia. “Jadi jangan heran jika nanti akan ada Universitas Harvard cabang Indonesia, Universitas Oxford cabang Yogyakarta, dan lain sebagainya. Sementara mahasiswanya adalah pelajar Indonesia,” ujar Ahmad.
Ketiga, Pasal 90 ayat 2 huruf c menyebutkan, pemerintah akan memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Pinjaman ini diberikan tanpa atau dengan bunga, dan dilunasi setelah mahasiswa lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan. Itu artinya, pemerintah mendorong mahasiswa tidak mampu untuk berhutang. Padahal mestinya, mahasiswa yang tidak mampu mesti dibantu oleh pemerintah, misalnya dengan cara memberikan beasiswa.
Keempat, ada tiga pasal dalam RUU ini yang mengatur mahasiswa, yaitu Pasal 14, 15, dan Pasal 91 ayat 6. “Akan ada tumpang tindih dalam pengaturan organisasi kemahasiswaan di kampus, sebab yang mengatur organisasi mahasiswa adalah menteri,” tandas Ahmad.
Kelima, RUU PT merupakan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) ‘jilid kedua’ yang akan membuat rakyat kecil makin susah menempuh pendidikan tinggi karena tidak mempunyai biaya. Pasalnya, RUU PT menyiratkan pemerintah akan mencabut pembiayaan mereka dari semua perguruan tinggi, tidak hanya kampus berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Imbasnya, rakyat kecil tidak bisa sekolah, biaya akan makin mahal sehingga pendidikan akan menjadi ladang bisnis. Kampus menjadi pasar, hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati pendidikan tinggi.
Keenam, dari sisi perguruan tinggi swasta (PTS). Menurut BEM KM UGM, kisruh antara PTS dengan yayasan pendirinya akan makin sering terjadi karena status mereka yang sama-sama berbadan hukum. Seperti tercantum pada Pasal 70 ayat 3, PTS merupakan badan hukum yang bersifat nirlaba.
Ketujuh, RUU PT berpotensi melahirkan banyak RUU baru karena semua jenis pendidikan akan diatur pemerintah. Dampaknya adalah pemborosan anggaran negara karena pembahasan satu UU menghabiskan dana miliaran rupiah.
“RUU PT hanya akan melahirkan banyak kekacauan. BEM KM UGM menyerukan: Gagalkan pengesahan RUU PT di DPR RI dan tolak liberalisasi pendidikan,” tandas Ahmad. 
Direktur Pascasarjana Universitas Islam As-syafiiyyah(UIA), Prof Dr Satori Ismail, juga menolak kehadiran perguruan tinggi asing di Indonesia. Alasannya, perguruan tinggi di Tanah Air belum siap bersaing. “Kalau pendidikan kita masih seperti ini, ya jangan,” tandasnya.
Namun, tentang pinjaman dana untuk mahasiswa, Satori tidak mempersoalkannya. “Pinjaman dana itu sah-sah saja asal tidak pakai bunga,” paparnya kepada Majalah Gontor
Mengutip sebuah kaidah ushul fiqh, menutup sesuatu yang lebih membahayakan akan lebih baik, Satori mengatakan, “Sebaiknya RUU ini tidak usah disahkan karena mengundang banyak mudharat daripada manfaatnya.”(Febri/Rusdiono/MG)

Lahan bisnis
Sebagaimana BEM KM UGM, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menilai RUU PT memiliki sejumlah kelemahan. Di antaranya, pertama, Pasal 1 ayat 9 menyebutkan PTN berbadan hukum adalah PTN yang memiliki otonomi dalam bidang akademik dan nonakademik melalui pendirian badan hukum oleh pemerintah. Menurut HTI pasal ini berarti pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan tinggi. Dan ini sama dengan ketentuan dalam UU BHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua, Pasal 35 menyebutkan pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan prinsip: nirlaba, otonomi, efektivitas dan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan penjaminan mutu. Sedangkan Penjelasan Pasal 35 menyebutkan: Yang dimaksud dengan “bidang akademik” antara lain kurikulum, metode pembelajaran, kompetensi dosen, akreditasi, dan sistem penjaminan mutu. Dan yang dimaksud dengan “bidang non-akademik” antara lain sarana dan prasarana, keuangan, organisasi dan tata kelola, kepegawaian, dan sistem penjaminan mutu.
Mengenai Pasal ini HTI menyebutkan: Nirlaba berarti bersifat sosial bukan komersial. Tapi faktanya masuk perguruan tingggi masih dipungut biaya tinggi. Unsur komersialisasi masih lengket dengan penerimaan mahasiswa. Selain itu, otonomi yang memisahkan pengelolaan PT akademik dan non-akademik akan membuat carut marut pendidikan tinggi.
Ketiga, Pasal 42 tentang statuta menyebutkan, (1) Setiap PTN dan PTN Khusus menyusun dan menetapkan Statuta sebagai dasar pelaksanaan kegiatan akademik dan nonakademik. (2) Statuta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai peraturan dasar dalam penyusunan peraturan bidang akademik dan nonakademik, serta prosedur operasional di perguruan tinggi. HTI menyebutkan, penyusunan statuta diserahkan ke perguruan tinggi walaupun disahkan oleh Menteri. Akibatnya, unsur otonomi masih bisa ditonjolkan.
Keempat, masih soal statuta, Pasal 43 RUU PT menyebutkan: (1) Statuta PTN dan PTN Khusus berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Statuta PTN dan PTN Khusus mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas usul Senat Akademik. (3) Statuta PTN dan PTN Khusus unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik. Atas pasal ini HTI mengatakan: Dua hal yang dapat menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku. Pertama, sistem portofolio (Pasal 85), yaitu investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar yang dimaksudkan di sini yaitu pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. HTI mengkhawatirkan hal ini karena politik dekat dengan kekuasaan, dan kekuasaan dekat dengan uang. “Dengan adanya kekuasaan dan uang, sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat ‘masuk’ ke dalam kampus. Apalagi, yang kedua, dengan tidak terdefinisikannya dengan jelas ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superiornya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan,” demikian HTI.
Kelima, soal perguruan tinggi asing. Pasal 73 menyebutkan: (1) Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terakreditasi di negaranya, (3) Penyelenggara Perguruan Tinggi Asing wajib: a) bekerjasama dengan penyelenggara pendidikan tinggi Indonesia; dan b) mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia, (4) Perguruan Tinggi Asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan dikenai sanksi administratif berupa: a) peringatan tertulis; b) pembekuan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian; atau c) pencabutan izin, (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
HTI menyebutkan, kelemahan Pasal ini adalah tidak adanya aturan tentang asas dan standar perguruan tinggi asing yang bisa berdiri di Indonesia sehingga ada kecenderungan budaya asing akan masuk di PT di Indonesia baik ideologi maupun perilaku civitas akademik.
Keenam, Pasal 85 RUU PT menyebutkan: (1) PTN dan PTN Khusus berbadan hukum dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan PTN dan PTN Khusus. (3) Dalam menyelenggarakan badan udaha atau portofolio usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PTN dan PTN Khusus dilarang menggunakan aset dan kekayaan perguruan tingginya sebagai jaminan bagi hutang badan usaha atau portofolio usaha yang didirikannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio usaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal ini menyebutkan: Bagi PTN badan hukum yang akan mendirikan badan usaha, agar aset dan kekayaan PTN badan hukum tersebut tidak menjadi jaminan bagi hutang badan usaha yang didirikan apabila badan  usaha tersebut dinyatakan pailit, maka sebaiknya dipilih badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum yang mendirikannya. Badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Sedangkan yang dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. Dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
Atas Pasal ini HTI mengatakan: Pasal ini membuat PTN berfungsi ganda yaitu sebagai lembaga badan usaha dan sekaligus badan sosial. Dan hal ini tidak jauh berbeda dengan UU BHP yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Jadi, jika sudah demikian, lebih baik pembahasan RUU Pendidikan Tinggi dihentikan saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar