lennon

lennon

Senin, 25 Juni 2012

RUU Pendidikan Tinggi dan Banalitas Intelektual: Sebuah Kritik Epistemik


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Kepala Departemen Kajian Strategis BEM KM UGM

Sudah tiga bulan terakhir ini, kita tak mendengar kabar mengenai RUU Pendidikan Tinggi. Kabar terakhir awal April lalu, pemerintah mengajukan usulan perbaikan kepada DPR, dan diterima. Pengesahan pun, yang sempat kami tolak di mana-mana karena tidak representatif dan banyakngawur-nya, akhirnya ditunda.

Sekarang, sudah tiga bulan draft itu mengendap di ruang wakil rakyat yang sesungguhnya tak mewakili kita. Tapi, sikap saya masih sama dan tegas: menolak pengesahan itu. Beberapa argumentasi sudah saya kemukakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dan mungkin ini menegaskan kembali argumen-argumen tersebut.

Tanggung Jawab Pendidikan
Semangat dari banyak pasal dari RUU Pendidikan Tinggi adalah memindahkan tanggung jawab pendidikan dari negara ke masyarakat atas dalih otonomi. 'Pemindahan' tanggung jawab negara ke masyarakat itu, misalnya, tercermin dari pemilahan bentuk-bentuk badan hukum pendidikan tinggi (Pasal 66), wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi” (Pasal 69), memungkinkan perguruan tinggi asing menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (pasal 94), dan lain sebagainya.


Dalam kajian BEM KM UGM akhir Maret lalu, istilah yang banyak digunakan adalah 'liberalisasi pendidikan'. Diskursus tentang ini sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade Organization) pada tahun 1994. Liberalisasi pendidikan tinggi mentransformasikan pendidikan menjadi “komoditas” yang memungkinkan siapapun untuk berinvestasi di dalamnya.

Konsekuensinya, pendidikan akan dilepaskan dari sentralitas negara. Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi private goods –komoditas— proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas. Artinya, pemerintah tidak lagi terbebani dalam membiayai pendidikan tinggi.

Bentuk 'otonomi' atau 'badan hukum', yang mengimplikasikan adanya penarikan tanggung jawab negara pada pendanaan universitas, tidak hanya berimplikasi pada 'komersialisasi' -dalam definisi Mahmood Mamdani, "subversi institusi publik oleh kepntingan privat"- tetapi juga berimplikasi pada munculnya praktik-praktik kekuasaan baru di universitas, yang seharusnya menjadi arena berpengetahuan.

Praktik-praktik kekuasaan baru itu semakin mengarah pada peneguhan "kekuasaan pasar" yang, menurut Vedi Hadiz dan Richard Robison, muncul kembali pasca-keruntuhan Orde Baru. Konsekuensi paling nampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi atas pendidikan tinggi atas dalih otonomi kampus.

Otonomi semakin disalah-artikan menjadi 'ditariknya peran negara dan dibebaskannya kampus mencari sumber dana- pendanaan universitas, terutama yang berkaitan dengan riset atau sejenisnya. Poinnya, dalam hal ini, bukan hanya apakah universitas akan menarik dana dari masyarakat, tetapidari mana sumber dana universitas untuk membiayai riset-risetnya. Jika otonomi dimaknai sebagai independensi kampus dari tarik-menarik kekuasaan politik, hal ini bisa diterima. Tetapi lain halnya jika otonomi ditafsirkan seperti ini. Konsekuensinya bakal menjadi lebih luas.

Universitas jelas berbeda dengan SMA, di mana kewajiban guru hanya mengajar dan kewajiban siswahanya mempelajari apa yang diberikan guru. Universitas adalah tempat 'pengetahuan diproduksi'. Konsekuensinya, aktivitas di universitas juga akan mencakup riset, diskusi, atau seminar, penulisan jurnal, atau aktivitas lain yang melahirkan sebuah kerangka teoretik baru dan mengembangkan pengetahuan dengan kebaruan yang terus-menerus direproduksi, sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat. Universitas, secara lebih sederhana, berarti arena berpengetahuan.

Dengan demikian, universitas memerlukan pendanaan untuk mendukung aktivitasnya tersebut. Selama ini, negara mengalokasikan dananya untuk mendanai aktivitas-aktivitas semacam itu. Akan tetapi, kita patut mengkritisi, apakah sebenarnya negara sadar peran penting universitas sebagai arena produksi pengetahuan, atau justru sekadar tempat untuk memberi kesempatan mahasiswa untuk bisa melakukan mobilitas sosial, yang berarti hanya menjadikan universitas sebagai tempat pelatihan kerjaalih-alih memproduksi pengetahuan.

Jika yang terjadi adalah praktik yang kedua, jelas terjadi reduksi makna yang sangat besar dari arti penting pendidikan tinggi, yang berarti terjadi cacat epistemologis yang begitu besar dari kebijakan pendidikan kita saat ini. Sebab, universitas hanya menjadi sarana untuk membebaskan negara dari kewajiban memberi pekerjaan bagi warganya. Tidak ada dimensi 'produksi dan reproduksi pengetahuan' di dalamnya.

Padahal, universitas berfungsi lebih dari sekadar itu. Oleh sebab itulah kita perlu mengupas terlebih dulu, mengapa pengetahuan itu penting bagi sebuah bangsa.

Peran Pengetahuan
Dalam tingkat maknanya yang paling sederhana, pengetahuan adalah sistematisasi dari informasi yang didapatkan. Agar tidak terkesan menyederhanakan, pengetahuan dalam perspektif Foucaldian dapat dimaknai "the deployment of force and the establishment of truth". Pengetahuan beruntai dengan kekuasaan, dalam relasi bawah-sadarnya. Teori kritis menambahkan dimensi emansipatoris: pengetahuan yang membebaskan manusia dan membangun kesadaran-kritisnya tentang realitas.

Bagi seorang invididu, pengetahuan mengkonstruksi pandangan-mengenai-realitas. Perspektif konstruktivisme memandang bahwa setiap realitas sosial dibangun dari bagaimana seorang subjek mengkonstruksinya. Pengetahuan bukan sesuatu yang ada-dengan-sendirinya, melainkan bertaut dengan konstruksi-konstruksi sosial di sekelilingnya.

Mengapa pengetahuan itu penting bagi suatu negara? Pengetahuan mendeterminasi konstruksi individu atas realitasnya. Dengan demikian, struktur pengetahuan di suatu negara akan mendeterminasi struktur kebijakan suatu negara, sebab konstruksi atas realitas akan menentukan bagaimana sebuah kebijakan itu dirumuskan dalam berbagai tingkatannya. Oleh sebab itulah, kampus sebagai arena produksi pengetahuan punya peran yang sangat sentral dalam menentukan arah-arah perubahan yang terjadi di suatu negara.

Saking pentingnya, sampai-sampai seorang Susan Strange memasukkan pengetahuan sebagai salah satu bagian penting dari structural power dan relasi-relasi kuasa antar-bangsa pada level internasional. Hegemoni ditentukan oleh bagaimana struktur pengetahuan dikuasai, atau, meminjam istilah post-kolonial, pengetahuan menentukan bagaimana proses-proses kolonialisasi itu beroperasi.

Kampus adalah arena berpengetahuan. Oleh sebab itu, kampus lebih dari sekadar 'lembaga-pendidikan', melainkan juga tempat untuk memproduksi pengetahuan. Konsekuensinya, peran-peran kampus juga tak boleh direduksi sekadar tempat dosen memberikan kuliahnya kepada mahasiswa secara satu-arah, tetapi juga tempat untuk melahirkan pengetahuan baru. Oleh sebab itu, aktivitas-aktivitas di kampus semestinya juga merupakan aktivitas dalam kerangka praktik berpengetahuan, semisal riset, diskusi, penerbitan jurnal atau publikasi buku, seminar, atau kajian-kajian ilmiah yang steril dari praktik-kekuasaan tertentu.

Di sinilah lokasi strategis kampus atau universitas bagi konstruksi sebuah bangsa. Akan tetapi, kampus ternyata lebih dari sekadar arena memproduksi pengetahuan. Alih-alih menjadi tempat yang paling vital dalam pembentukan karakter bangsa, banyak yang menyalah-gunakan pengetahuan untuk kepentingan proyek-proyek kekuasaan.

Di sinilah kritik dari teoretisi kritis masuk. Praktik-praktik berpengetahuan justru menjadi legitimasi dari kepentingan tertentu dengan kedok-kedok proyek, kerjasama, atau bahkan, yang lebih banal, praktik untuk merebut kekuasaan politik yang terjadi pada event-event semisal Pemilihan Rektor dan sejenisnya. Inilah yang terjadi ketika kampus sebagai arena berpengetahuan terserimpung oleh praktik-praktik mencari kekuasaan, baik politis maupun ekonomis.

Situasi demikian tentu tidak kita inginkan terjadi di negara kita. Sayangnya, dalam RUU Pendidikan Tinggi yang baru, hal-hal semacam ini sangat rawan terjadi.

Liberalisasi Pendidikan: Pengalaman Uganda
Bangunan RUU PT tak bisa kita lepaskan dari kejadian-kejadian yang mendahuluinya, yaitu pencabutan RUU PT, penandatanganan GATS, hingga upaya-upaya untuk meliberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia. RUU PT, dengan ruh memindahkan tanggung jawab pendidikan dari negara ke pasar, tak lain adalah bentuk yang lebih baru dari komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Tinggi di Indonesia.

Mahmood Mamdani menulis sebuah buku bagus yang memuat penelitiannya di Universitas Makarere, Uganda. Buku berjudul "Scholars in the Marketplace" ini menceritakan bahwa proses liberalisasi pendidikan tinggi sebagai bentuk neoliberal reform di Uganda tidak hanya mengubah kerangka bentuk pendidikan tinggi di negara tersebut, tetapi juga praktik berpengetahuan yang lahir dari proses tersebut.

Mamdani melihat di Universitas Makarere, Uganda -yang letaknya antah-berantah di Afrika sana- bahwa reformasi pendidikan gaya neoliberal- memberi implikasi kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh sederhana, ia melihat fenomena 'the winners and the losers': Departemen dan Fakultas yang tidak memiliki kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang sifatnya practice-industrial ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan.

Hal ini, menurut Mamdani, ditopang oleh kebijakan-kebijakan universitas pada bidang kurikulum yang sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur kurikulum dengan mudah diubah menjadi lebih friendly dengan kepentingan pasar. Akibatnya, kebijakan menjadi sangat desentralistik. Hal ini secara otomatis mengubah cara universitas dalam memproduksi pengetahuan di berbagai bidang studi yang ada.

Belajar dari pengalaman Uganda ini, liberalisasi pendidikan tinggi bukan sekadar subversi kepentingan modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital: kampus. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk dan mewujud dalam praktik berpengetahuan.

Praktik Berpengetahuan yang Banal
Kita bisa lihat contoh sederhana. Ketika pemerintah menarik pendanaan riset dari pendidikan tinggi, sebagai konsekuensi atas otonomi pendanaan kampus, dari mana kampus mendanai riset-riset, apalagi publikasi dari penelitian yang dilakukan oleh kampus? Jawabnya sederhana. Pertama, mencari dana dari masyarakat melalui biaya-biaya kuliah yang semakin tinggi. Kedua, dari proyek-proyek kerjasama dengan lembaga-lembaga di luar sana.

Dampak pertama sudah banyak dijelaskan dalam tulisan saya sebelumnya, yang juga berawal dari kajian-kajian BEM KM UGM. Dalam konteks pengetahuan, hal ini punya implikasi serius. Karena dana universitas ditarik dari mahasiswa, pendidikan akan semakin mahal. Dampaknya,  mahasiswa akan semakin dituntut untuk cepat lulus, berpenghasilan (karena dana yang digunakan untuk kuliah besar), serta berorientasi kerja. 'Praktik berpengetahuan' tereduksi hanya sekadar ruang kuliah, tugas, dan nilai-nilai yang dituju.

Kita bisa melihat hal ini pada stagnasi intelektual yang begitu hebat, tercermin dari jarangnya muncul karya-karya penelitian mahasiswa yang membangun konstruksi keilmuan baru. Sebab, praktik berpengetahuan di-luar-kampus untuk memperkaya konstruksi pengetahuan yang telah didapat tidak sempat dilakukan. Skripsi atau Tugas akhir di-nawaitu-kan hanya sekadar pelengkap kelulusan. Pendidikan kian pragmatis, alih-alih berupaya memperbarui kajian-kajian keilmuan yang sudah ada.

Sementara itu, dampak kedua perlu disoroti lebih banyak. Jika subsidi pendidikan tinggi ditarik dan 'pasar' dibebaskan masuk, proyek-proyek riset bertitel 'kerjasama pendanaan' akan semakin marak. Sebabnya, banyak kepentingan yang memerlukan 'legitimasi ilmiah' yang hanya bisa dilakukan oleh akademisi-akademisi kampus.

Sehingga, dengan minimnya pendanaan riset dari universitas, proyek-proyek semacam ini jelas sangat menggiurkan. Belum lagi jika muncul entitas yang namanya 'lembaga donor' yang menawarkan dana penelitian atau proyek dengan persyaratan-persyaratan tertentu.  Kondisi yang sangat memungkinkan terjadi dengan konstruksi RUU PT yang liberalistik.

Artinya, aktivitas-aktivitas ilmiah di kampus menjadi 'tercampur-baur' dengan kepentingan-kepentingan yang berada di luar dirinya. Prof. Heru Nugroho dalam pidato pengukuhannya di UGM menyebutnya sebagai banalitas intelektual. Akademisi (mahasiswa, dosen, peneliti, dll) akan menjadi ''intelektual pengasong' yang menjajakan pengetahuan yang dimiliki untuk kepentingan finansial semata. Tidak akan ada lagi discourse yang diperdebatkan secara serius. Pengetahuan hanya akan menjadi alat legitimasi kepentingan politik maupun ekonomi tertentu!

Hal ini akan semakin nampak jika RUU PT disahkan. Dengan kondisi objektif sekarang ini, RUU PT hanya akan menyuburkan praktik banalitas intelektual  sebagaimana kritik Prof Heru Nugroho tersebut. Dalih otonomi hanya akan melahirkan dependensi-dependensi baru dunia akademik terhadap proyek-proyek yang punya tendensi ekonomis maupun politis tertentu, baik yang dinampakkan maupun yang tidak.

Sekali Lagi: Tolak Pengesahan!
Oleh sebab itu, jika masih peduli terhadap masa depan bangsa dan menginginkan adanya purifikasi terhadap praktik-praktik berpengetahuan agar tidak terkooptasi oleh kuasa pasar maupun kuasa politik, tidak ada kata lain selain menolak draft RUU Pendidikan Tinggi yang sedang dibahas oleh DPR-RI. Jika disahkan, implikasi yang mengerikan bisa terjadi: rakyat miskin tak dapat kuliah, sementara civitas akademika berlomba memperebutkan sumber daya atas dalih 'pengetahuan'.

Jika ingin disahkan juga, Rumusan RUU PT yang ada saat ini harus dirombak ulang dengan nafas yang benar-benar murni. Pertama, murni sebagai upaya menyelamatkan masa depan bangsa melalui pendidikan tinggi. Kedua, murni dari kepentingan-kepentingan tertentu yang rawan meng-kooptasi dunia akademik dengan tawaran-tawarannya yang menggiurkan.

Kita patut pula mengkritisi perumusan RUU PT: Siapa sebenarnya yang bermain dan kepentingan apa yang ia bawa? Semoga saja, mereka yang bermain di balik ini bukan intelektual-intelektual yang banal,yang hanya mendapatkan keuntungan dari praktik berpengetahuan yang ia lakukan. Mari bergerak, kawan-kawan mahasiswa, untuk masa depan bangsa!

Referensi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. "RUU Pendidikan Tinggi: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Gaya Baru?"Kertas Kerja. Yogyakarta: BEM KM UGM, 2012.

Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM KM UGM. "Hasil Uji Publik RUU Pendidikan Tinggi".Risalah. Yogyakarta: BEM K UGM, 2012.

F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Gary Gutting, "Michel Foucault", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.) <http:></http:>.

Heru Nugroho. "Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam". Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2012. 

Mahmood Mamdani. Scholars in The Marketplace: The Dilemmas of Neo-Liberal Reform at Makerere University,. 1989–2005. Cape Town: HRSC Press, 2007.

Richard Robison dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge, 2004.

Robert W. Cox dan Timothy J. Sinclair. 2006. Approaches to World Order. Cambridge: Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar