lennon

lennon

Selasa, 17 Juli 2012

UU PT Masih Undang Kontroversi



Setelah mendulang polemik panjang selama dua tahun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Tinggi (PT) menjadi Undang-Undang, Jumat (13/7) lalu.
Namun, hal itu masih tetap menjadi ganjalan bagi sejumlah kalangan. Seperti apa? Berikut laporannya.

PERASAAN kecewa begitu kentara dalam diri mantan ketua Forum Rektor Prof Ir Eko Budihardjo MSc pada Jumat (13/7), begitu jarum jam menunjuk pada angka 11.15. Pasalnya, DPR telah menyetujui RUU PT. Padahal Eko melihat, masih ada sejumlah persoalan yang mestinya dituntaskan, sebelum palu diketuk.

’’Isi dari UU PT itu masih jauh dari kata sempurna,’’ ungkapnya dalam nada berat.

Menurut dia, masih ada pro-kontra dan kesenjangan dalam isi regulasi tersebut. Dijelaskan, saat menjadi RUU, seharusnya regulasi ini dibahas lebih komprehensif. ’’Artinya, pihak-pihak yang terkena UU ini harus diajak bicara bersama, baik itu PTN dan PTS. Apalagi, di Indonesia ada sekitar 87 PTN dan 32.000 PTS dengan kondisi yang berbeda-beda.’’

Lebih lanjut mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini menjelaskan, jika UU tersebut untuk membangkitkan perguruan tinggi dalam negeri, maka keberadaan PT luar negeri jangan diberi kebebasan. Karena ini akan menimbulkan kesenjangan, sekaligus ketergantungan masyarakat terhadap PT asing itu, sebab dianggap lebih mampu memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mahasiswa. Padahal, pendidikan asing ini akan membidik individualisme yang kurang baik.

Tidak hanya beberapa poin itu yang menjadi persoalan dalam UU PT tersebut, tapi masih banyak hal lain yang perlu dibenahi. Setali tiga uang, Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof Drs Edy Yuwono PhD menilai senada. Dikatakan, UU ini tidak mengakomodir sejumlah bidang pengajaran. Misalnya, dengan adanya pengkategorisasian rumpun ilmu pada Pasal 10 Ayat (2).

“Pasal itu menyebut rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan. Lalu bagaimana dengan ilmu yang lain. Apakah tidak bisa masuk dalam kelompok ini,” kata Edy, akhir pekan lalu.

Dia menduga, proses pengelompokan ini tentu tidak jelas dasar epistemologis dan ontologis. Jika diterapkan, Edy khawatir pasal ini akan mengerdilkan watak ilmu yang berkembang dinamis. Hal ini menandakan pembuat UU tidak memahami bagaimana ilmu itu berproses.

Menurutnya, rumpun ini justru akan memberi batasan karena dalam pengelompokannya tidak bisa digunakan secara komprehensif atau multidisipliner. ’’Contohnya, ilmu kesehatan, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu kesenian, ilmu pendidikan, yang jelas sulit masuk dalam kategori tersebut. Padahal ilmu itu setiap saat berkembang,” ungkap rektor yang memiliki latar belakang peneliti ini.

Dia juga menyoroti ilmu agama yang dimasukkan sebagai salah satu rumpun. Hal itu masih bisa diperdebatkan karena benarkah agama bisa masuk ke dalam salah satu rumpun yang diundangkan. Selain itu, UU ini tidak memberi ruang khusus untuk ilmu seni.

Hal ini, imbuh dia, pernah dipaparkan saat berdiskusi pada Forum Rektor beberapa waktu lalu di Semarang. Meski secara keseluruhan para rektor menyoroti masalah pendanaan dan pengelolaan PTN. “Tidak seperti UU nomor 20 Sisdiknas tahun 2003, UU yang baru disahkan ini tidak menyinggung mengenai pengajaran kesenian masuk dalam sistem pendidikan. Tak ada lagi istilah Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks),” ucapnya. 

Sementara itu, Rektor Universitas Wijayakusuma Purwokerto, H Kaboel Soewardi SH MM menilai, UU PT versi terbaru memperlihatkan upaya-upaya pemindahan tanggung jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat, terutama dalam hal pendanaan dan pembiayaan. Dicontohkan, pada Pasal 69 tentang Wewenang Mendirikan Badan Usaha dan Mengembangkan Dana Abadi.

“Ayat ini mengandung arti perguruan tinggi berhak untuk melakukan praktik komersialisasi, misalnya fasilitas kampus. Hal ini tentu berakibat aset-aset yang dimiliki universitas akan bebas dipakai oleh pihak non-kampus,”  ujar dia. 

Akibatnya, PTS semakin tertekan karena dengan adanya otonomi maka PTN bisa dengan bebas membuka program studi. Mau tidak mau, PTS harus ikut bertarung mati-matian untuk mencari mahasiswa.

Sementara itu, Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi SH MHum memberi catatan soal pembiayaan yang diberikan pemerintah kepada perguruan tinggi swasta ada pembedaan, padahal menurut regulasi lain tidak ada. Selain itu, izin program studi dan otonomi perguruan tinggi, hendaknya jangan terlalu terbelenggu karena swasta didanai sendiri.

’’Jangan buat PT sulit untuk mengembangkan diri,’’ ujarnya.

Akan Dikaji

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sekaligus Ketua  Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, (Aptisi) Prof Edy Suandi Hamid mengaku masih akan mengkaji UU PT.

“Kami sangat menghargai kerja DPR dan pemerintah dalam masalah ini. Saat ini kami terus berdiskusi dengan sesama anggota Aptisi,” katanya, saat dihubungi Jumat (13/7).

Edi sebenarnya tidak menolak sepenuhnya UU PT tersebut. Tetapi memang diakuinya, ada beberapa substansi yang kurang sesuai. Hal terpenting menurut dia adalah UU PT tidak memberikan dikotomi yang mencolok antara PTN dan PTS. Bukan berarti, PTS minta disamakan posisinya dengan PTN, tetapi undang-undang tersebut  harus bisa memberikan hak secara proporsional. “PTS itu kan juga menjalankan konsitusi untuk penyelenggaraan pendidikan, karena pemerintah tidak bisa memenuhi semuanya. Oleh sebab itu, jangan sampai ada dikotomi, karena PTS juga memberi sumbangan besar,” kata Edy.

Pada masa mendatang ia juga meminta tim pembahas UU yang punya implikasi luas harus melibatkan seluruh stakeholder. Pasalnya, dalam pembahasan kemarin ia merasa keterlibatan PTS sangat minim.

Sementara itu, Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM, Prof Sofian Effendi melihat, sebenarnya ada niat baik dalam RUU PT ini, yakni untuk membuat semacam arsitektur baru untuk perguruan tinggi. Saat ini komposisi pendidikan akademis dan vokasi adalah 80% dibanding 20%. Padahal kebutuhan nyata di lapangan, hanya membutuhkan 30% lulusan pendidikan akademisi dan 70% lulusan pendidikan vokasi.

Pembantu Rektor II Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof Jamal Wiwoho menilai penolakan aktivis mahasiswa atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perguruan Tinggi dinilai tak relevan. Prof Jamal mengakui, dia tak sepakat jika UU tersebut dijadikan alasan untuk melabeli sistem pendidikan tinggi menjadi liberal. (09)



Sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/07/16/192841/UU-PT-Masih-Undang-Kontroversi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar