lennon

lennon

Senin, 02 Juli 2012

RUU PT dan Ancaman Komersialisasi


Maret 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP karena dianggap hendak mengiring pendidikan ke ranah korporasi. Sejak
tolak
tolak
itulah terjadi kekosongan payung hukum bagi kampus yang berstatus BHMN (UI, UGM, ITB, IPB, UPI, UNAIR, dan USU). Lantas pemerintah mengeluarkan PP No. 66 tahun 2010 yang berlaku per tgl 28 September 2010 sebagai talangan atas kebutuhan hukum sekaligus langkah akomodasi terhadap kritik dan penolakan UU BHP. Dalam PP tersebut dijelaskan pula bahwa Perguruan Tinggi BHMN harus kembali ke status PTN dengan masa transisi tiga tahun. Tapi tampaknya para pimpinan PT BHMN keberatan terhadap amanat tersebut sehingga mendesak kepada Pemerintah untuk menyusun UU baru mengenai PT BHMN. Maka lahirlah kemudian rancangan undang-undang PT atau RUU PT yang sekarang sedang ramai dibicarakan.

Menarik ketika kita mengamati reaksi publik terhadap RUU PT. Berbagai spekulasi mengudara, pro dan kontra berterbangan. Resistensi terkuat justru muncul terutama dari berbagai PT yang tidak berstatus BHMN dan para akademisi. Bahkan sekitar tiga ribu PT negeri dan swasta seluruh Indonesia menyatukan sikap menolak RUU PT yang masih dibahas di parlemen. Berbagai tulisan para akademisi terkait kontroversi RUU PT bertaburan di media. Dan aksi-aksi mahasiswa dijalan melengkapi pasangnya arus penolakan terhadap RUU PT.
Setidaknya, dari berbagai arus penolakan, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita inventarisir.Pertama RUU PT dituding hanya ganti baju dari UU BHP. Disinyalir hanya mengakomodasi kepentingan sesaat sekelompok institusi sebagai dampak dibatalkanya UU BHP. Meskipun pemerintah membantah bahwa RUU PT ini bukan pengganti UU BHP, realitasnya semangat RUU PT ini mengatur tentang tata kelola yang sama dengan semangat UU BHP, terlebih pasal-pasal di dalamnya juga banyak mencomot dari UU BHP.
Kedua adanya kerancuan yuridis. RUU PT dituding kontradiksi dengan UU Sisdiknas. Dimana aturan lanjutan dari turunan UU Sisdiknas seharusnya dieksekusi dalam PP, bukan merancang UU baru lagi macam RUU PT yang kekuatan hukumnya selevel sehingga terjadi dualisme serta tumpang tindih aturan.
Ketiga adanya nuansa kapitalisme dan liberalisasi. “Pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya” (Pasal 89 ayat 2 RUU PT). Artinya mahasiswa, orang tua, atau pihak wali harus ikut serta menanggung biaya pendidikan untuk operasional perguruan tinggi. PT mempunyai otonomi untuk mengelola lembaganya baik dalam bidang keuangan. Otonomi pada bidang keuangan memungkinkan kampus mengatasi kebutuhan finansialnya sendiri. Dukungan anggaran pemerintah perlahan berkurang. Apalagi jika kampus tersebut berbentuk otonomi penuh, komersialisasi kampus mempunyai legitimasi. Semakin membuka peluang bagi para elit kapital untuk menjadikan PT BHMN sebagai tambang uang, bukan lagi sebagai institusi pendidikan. Dampaknya akses pendidikan rakyat kecil terhadap PT semakin sulit. Hal ini merupakan wujud lepas tangan negara terhadap peerguruan tinggi. Belum lagi otonomi akademik dan pemberian kewenangan kepada pihak asing untuk membuka PT di Indonesia tanpa proteksi yang jelas kepada PT lokal, ini akan sangat mengundang ancaman masuknya paham-paham asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila. Jelas ini tidak sesuai dengan semangat tujuan pendidikan nasional.
Idealnya, aturan sekaliber undag-undang negara, tentu haruslah mengakomodir kepentingan umum, sesuai dengan nilai-nilai ideologi bangsa, bersinergi dengan aturan-aturan lain dan independen atau bersih dari setingan kepentingan tertentu. Berbagai arus penolakan terhadap RUU PT, harus dapat menjadikan parlemen dan pemerintah bersikap secara kooperatif, menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan dasar bertindak. Namun Jika pemerintah memaksa untuk melanjutkan serta acuh terhadap berbagai kritik dan penolakan, maka ada kecenderungan adanya prediksi pengulangan sejarah, yaitu RUU ini akan bernasib sama seperti UU BHP, sudah pasti cost-nya besar serta menguras energi, kerugian besar pada rakyat. Namun kerugian lebih besar lagi yang dialami bangsa ini bila RUU PT itu tetap disahkan.
Begitu penting pendidikan, seperti sepenggal pepatah “to build nation build school”, untuk membangun sebuah bangsa maka bangunlah pendidikan. Bukan sembarang pendidikan, namun pendidikan yang berkarakter dan terjaga orientasinya, yang tentu harus bebas dari muatan kapitalisme, liberalisme, komersialisasi dan emosi kepentingan golongan. Itulah pendidikan sebenarnyamencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dan Perguruan Tinggi (PT) merupakan bagian berkesinambungan dari jenjang pendidikan nasional yang wajib kita kawal keberlangsungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar