lennon

lennon

Rabu, 14 Maret 2012

Jakarta, oh Jakarta… Macetmu Membuat Gila!

Indahnya pagi ini ketika kubuka mata selepas tidur nyenyak semalam. Setelah shalat subuh, seperti biasa aku lari pagi mengelilingi kompleks perumahan yang diapit para pencakar langit ibukota. Biarpun tidak sejernih di desa, udara Jakarta pagi cukup membuatku segar untuk memulai aktifitas seharian penuh. Sembari berlari aku memandangi beton-beton angkuh yang mengapit kampungku ini. Sekilas terbersit aktifitas pekerjaan yang hendak kulakukan nanti di kantor. Semoga hari ini menjadi indah, kuawali hari ini dengan semangat yang menggebu.
Tuntas sudah kewajibanku ini pada tubuh yang kadang kala teraniaya karena segudang aktifitas setiap harinya. Badan yang segar pun menjadi semakin segar setelah aku mandi dan bersiap menuju tempat kerja. Kuda besi kunyalakan, kupanaskan mesinnya agar ia mampu menjadi kuda yang paling tangguh di arena balap nanti. Jalanan di Jakarta ketika pagi dan sore memang mirip arena balap liar, berjejal kendaraan yang satu sama lain berlomba untuk secepatnya mencapai tujuan.
Setelah berpamitan pada wanita tercantik sejagad, aku memacu kuda besiku dengan ceria. Dari kaca spion kulihat Istriku itu melambaikan tangan indahnya sembari menggendong jagoan kecilku. Indah betul rasanya dunia ini, merantau ke Jakarta, punya pendamping yang anggun seperti putri raja, apalagi sekarang ditemani putra terbaik yang kelak akan menjadi pemimpin besar. Rumah kontrakan dan motor kreditan pun jadi tidak terasa karena itu.
Laju kuda besiku rupanya menjadi beringas tak lama ketika ia berlari di jalan besar. Mungkin ia sadari bahwa jikalau ia menjadi kuda yang lamban, sepanjang jalan ia akan di klakson oleh seisi jalan yang hobinya ngebut itu. Beginilah hidup di Jakarta, semuanya harus serba cepat, semuanya harus serba sigap. Ditengah lajunya itu, akhirnya mesti melambat juga karena di depan sudah menanti perempatan sial yang saban hari membuat kami bersabar untuk bisa melewatinya. Kami para pengguna sepeda motor harus ekstra kreatif memilih celah agar bisa cepat menuju barisan terdepan. Tak jarang kami pun perang klakson, dan keceriaan yang kurasakan seperti di rumah tadi pun acapkali tiada karenanya.
Akhirnya perempatan itu berhasil kulalui. Namun baru saja roda motorku ini melaluinya, dari arah belakang ada sepeda motor lain yang memotong jalanku. Aku pun kaget dan menginjak rem tiba-tiba. Dengan refleks mulutku menjadi tidak sopan dengan mengucapkan sumpah serapah kepada orang itu. Rusak sudah suasana hati yang tadinya baik. Tapi sesegera mungkin aku berusaha megendalikannya dengan berfikir positif.
Dalam fikiranku, aku menyadari bahwa pengendara motor yang memotong jalanku tadi itu juga punya tekanan yang semua warga Jakarta alami. Mungkin ia stres karena setiap hari kena macet dan dikejar absensi kantornya. Masalah transportasi memang masalah yang tak kunjung tuntas di kota kita ini. Kemacetan malah diakal-akali dengan sistem 3 in 1 yang menurutku tidak menjawab persoalan dengan mendasar.
Karena persoalannya adalah jalan yang ada tidak memadai untuk menampung jumlah kendaraan yang tumpah ruah itu. Kendaraan yang segudang itu tidak bisa dibatasi dengan sistem akal-akalan tersebut. Semestinya Pemda DKI membenahi sistem transportasi kita yang mampu bersaing dengan sistem kredit kendaraan bermotor. Sehingga masyarakat lebih memilih kendaraan umum dari pada kredit kendaraan bermotor. Sistem yang harus dibentuk itu haruslah menempatkan transportasi umum sebagai wahana yang murah, mudah, nyaman dan aman. Begitu pikiranku melayang dari pada menjadi senewen karena menjadi korban kemacetan Ibukota.
Tuhan memang maha adil, usaha untuk mengendalikan perasaan dan fikiran itu terbalaskan dengan sampainya aku di kantor dengan tidak terlambat. Sekalipun sudah 1 jam lebih aku berada di jalan hanya untuk menempuh tanah abang dari kebayoran lama. Aku selalu berusaha berfikir positif, semenjak peristiwa tahun lalu yang tak terlupakan itu.
Tahun lalu aku menabrak seorang kakek karena selalu pening ketika naik motor di Jakarta. Setelah membawa kakek itu ke rumah sakit, aku dinasehati oleh seorang teman untuk memeriksakan keanehan itu. Hasilnya, dokter menilai aku mengalami depresi ringan karena tuntutan hidup di Jakarta, dan hal itu semakin menjadi ketika berada di jalan raya. Syukurlah setelah terapi kini aku pulih kembali dan berharap jalan di Jakarta bisa lancar setiap hari.***

3 komentar:

  1. Mantaaaaap, ngalir sejernih kopi di cangkir, haha

    BalasHapus
  2. Ajaib, baru kali ini saya baca tulisan ente yang renyah..
    hehehe
    keren banget, seriusan dah

    BalasHapus
  3. Ajaib, baru kali ini saya baca tulisan ente yang renyah..
    hehehe
    keren banget, seriusan dah

    BalasHapus